IBLIS ternyata hinggap di ubun-ubun Lexi Lumingkewas. Ia tega menyebadani putri kandungnya. Karena aib itu diketahui Sience Bolung, 34 tahun, leher dan perut bininya itu lalu digorok dengan sebilah keris. Semula tak masuk akal bahwa maksiat itu dilakoni Lexi. Selama ini dia dikenal suka menasihati orang dan sebagai pembaca Injil yang khusyuk, di Desa Malalayang, pinggir selatan Kota Manado. "Tapi rupanya dia seorang pembunuh berdarah dingin," ujar Paulina Rorong, 64 tahun, ibu Sience pada TEMPO. Petugas Polresta Manado datang bersama tim dokter ke desa itu, untuk menggali kubur ibu tiga anak itu. Tatkala mayat korban diangkat dari lubang setengah meter, hari itu, Paulina tak kuasa menahan emosinya. "Lexi pantas dihukum mati, dan biarkan mayatnya dimakan anjing," pekik perempuan ini. Suatu pagi, empat tahun lalu, ia mengendap-endap ke rosbang Nona (begitu saja namanya disebut). Anak bungsunya yang cantik itu tinggal sendiri, karena dua kakaknya sejak SMP mengikuti paman dan bibinya di Jakarta. Dan Lexi, 36 tahun, benar-benar merasa aman setelah istrinya pergi berbelanja ke kota. Ketika gadis cilik itu terbangun, Lexi lalu mengajak anaknya itu berhubungan badan. Nona, yang saat itu masih duduk di kelas III SD, mulanya meronta dan menolak. Tapi ancaman belati di lehernya membikin ia tak berdaya melawan nafsu iblis ayahnya. Maka, sejak itu, masa depan Nona berubah gelap, sepekat malam -- karena hubungan terkutuk yang selalu dibarengi ancaman maut itu berlangsung hingga empat tahun. Setiap kali didatangi ayahnya, ia digombali dengan kalimat seorang bangsat. "Kau perlu belajar agar kelak tau melayani suamimu," ujar Lexi, seperti ditirukan Nona. Sejak ayahnya pertama kali menodainya, Nona telah melapor pada ibunya. Dan Sience bahkan pernah pula memergokinya, suatu kali -- dan ia memang tak berdaya, karena sering diancam. "Jika ribut-ribut, kubunuh kau," sergah Lexi. Ancaman begitu sudah kerap didengar Nona, terutama bila kedua orangtuanya itu bertengkar. Tapi Lexi waswas kalau rahasia itu kelak terbongkar. Diam-diam diputuskannya: Sience harus disingkirkan. Sehari sebelum Pemilu lalu, ia mengantarkan Nona ke rumah neneknya. Sehabis itu, malamnya, tatkala Sience tertidur lelap, peristiwa itu pun terjadi. Mayat bersimbah darah itu masih sempat dirondokkannya sehari semalam di kolong tempat tidur. Malamnya, setelah dibalut dengan seprai dan selimut, jasad Sience kemudian diseretnya ke tebing sungai yang 10 meter dari rumah itu. Dengan bergegas ia mengubur Sience pada sebuah lubang yang telah digalinya di siang hari. Untuk menghilangkan jejak, ia menanam pohon pisang di atas kuburan itu. Esoknya, ia pura-pura meratakan gundukan tanah itu, dengan kilah: menimbun sumur yang terletak di sebelahnya. Hari itu juga, Kartini, 32 tahun, datang bertamu. "Kakak ke mana, Bang?" tanya Kartini. Entah kenapa Lexi tampak gugup dan bicara sembarangan. "Ia pergi mencari kerja ke Gorontalo," kata Lexi. Jawaban inilah yang membikin Kartini curiga. Adik kandung Sience itu tak percaya bahwa kakaknya mengadu nasib ke kota lain. Sebagai pemilik sebuah kantin di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi di Manado, ia tahu, Sience mampu membelanjai keluarganya. Ia semakin curiga. Karena Lexi tampak menggigil dan berkeringat dingin. Tak ayal lagi dia melaporkan rasa tak enak hatinya itu pada Paulina. Sekeluarga kemudian berunding dan menganalisa. Karena tak ingin berburuk sangka, diputuskan mencari Sience ke mana-mana. Tapi dua bulan berselang, hasilnya tetap nihil. Entah firasat apa, Paulina kemudian menyuruh Kartini dan Evi, adiknya, ke Bitung, yang berjarak 30 km dengan rumahnya itu. "Jika tak ketemu juga, kita laporkan saja pada polisi," kata Paulina. Ibu tua ini jengkel setelah Lexi tak begitu acuh atas hilangnya Sience. Tapi karena dasarnya busuk, akhirnya tercium juga. Pada Kartini, seorang dukun yang dihubunginya di Bitung menyampaikan nujumnya. "Sience telah dibunuh suaminya. Galilah tanah di bawah pohon pisang di belakang rumah Lexi," kata dukun yang tinggal dekat makam Jenderal Worang, bekas Gubernur Sul-Ut itu. Mendengar ucapan Pak Dukun itu, Kartini dan Evi bergegas pulang ke Manado dan melapor pada polisi. Hari itu juga, 8 Juli 1987, Lexi ditangkap. Tapi lelaki ini tetap mungkir. Barulah setelah polisi diberi tahu tragedi yang menimpa si Nona, jejak kejahanaman itu mulal ditemukan. Lexi, yang sehari-hari bekerja sebagai pemasak batu bata itu, akhirnya mengakui perbuatannya dan sekarang sedang menunggu rekonstruksi polisi. Kini, Nona tinggal bersama neneknya, Paulina. Hari-hari ini ia lewati dengan membaca buku-buku rohani. "Saya berjanji tak akan kawin. Saya mau jadi biarawati saja," ujar Nona, yang kini sudah berumur 14 tahun. Trauma masa silam itu masih tetap menguntit dirinya. Bersihar Lubis, Laporan Phill M. Sulu (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini