Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Iman setelah Ari Hanggara

Imanwanto, 3 th 6 bulan, tewas setelah disiksa ibu tirinya, rosina boru siregar di pantai raja, kampar, riau. rosina berulah korban diganggu syetan. terungkap setelah di rumah sakit.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUPANYA, belum cukup Ari Hanggara saja sebagai "monumen" korban ibu tiri, yang kemudian difilmkan itu. Dan ketika orang belum habis mengenang Hari Kanak-kanak Sedunia, maut datang merenggut nyawa Imanwanto. Ibu tirinya, Rosina boru Siregar, tak mampu lagi menahan amarah -- gara-gara bocah 3 tahun 2 bulan itu sering berak di celana. Tinja Iman meluap di lantai. Ros, 20 tahun, yang lagi hamil tiga bulan merauk sapu ijuk bergagang merah. Berkali-kali dia memukulkan benda itu ke tubuh si anak. Iman menangis, dan air matanya berserak di pipinya yang montok. Tetapi, pukulan masih juga panjang mendera tubuhnya. Akibatnya, badan anak itu tegang. "Bola matanya terbelalak," kata Nyonya Agus, 40 tahun, tetangga Ros. Penduduk di Desa Pantai Raja, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, 40 km dari Pakanbaru, jadi riuh. Sebab, setelah dipukuli, Iman pingsan. Katanya, bocah itu "diganggu setan". Desa yang dihuni 500 rumah tangga itu memang masih dihinggapi kepercayaan lama. "Banyak yang mati ganjil di sini. Ini daerah rawan guna-guna," Kata Selamat, 55 tahun, kepala lorong (RT) di sana. Ros dan tetangganya melarikan anak itu ke Dukun Bauddin, 50 tahun. Konon, dia sanggup menyembuhkan penyakit yang datang dari dunia halus. Pak Dukun yakin, biram-biram di kepala dan punggung anak itu karena jamahan hantu. Dia segera mengusir dengan mantra, dan mengguyur Iman dengan air santan. Gawat. Penyakit anak ini malah kian parah. Bauddin mengalah. Atas saran si dukun, Satijuduhu Gulo, 24 tahun, suami Ros, yang juga percaya Iman diganggu roh jahat, membawa anaknya itu ke Rumah Sakit Umum Pakanbaru. Sayang, sore 7 Juli lalu Iman tak bisa diselamatkan lagi, setelah dalam keadaan koma. Kebohongan Ros justru terungkap dari rumah sakit itu. Dokter tak mengizinkan mayat Iman dibawa pulang -- sebelum polisi melakukan pemeriksaan. Lalu tim Serse dari Polsek Siak Hulu memeriksa jenazah Iman. Keterangan dikumpulkan. Dan hasil visum: kematian Iman akibat benturan benda keras di belakang kepala. Sehari setelah mayat dikebumikan, Ros dan Satijuduhu diboyong ke Polsek setempat. Mulanya, Ros tak mengaku. Setelah sehari semalam ditahan, akhirnya ia buka mulut. "Saya memang sekali memukul kepala anak itu, dan tiga kali memukul punggungnya," kata Ros, lulusan PGA Kristen itu. Ros mengatakan pada TEMPO, dia naik pitam mungkin karena pembawaan bayi yang dikandungnya. Bila melihat yang jorok, Ros cepat marah. Dan hal yang sama, seminggu sebelum peristiwa itu, Ros menyambit Iman sampai luka. Satijuduhu, yang keburu tahu, lantas menampar pipi istrinya itu. Ros mengaku tak sengaja melakukan penganiayaan berat tersebut. Sejak semula dia sayang pada Iman. Ini berawal dari Padangsidempuan, Sum-Ut, 600 km di selatan Medan. Di kota itu, mereka bertetangga. Ros iba melihat Iman dan adiknya, Firman Tua, 18 bulan, yang tak punya ibu. Ros sering menggendong kedua anak itu. Satijuduhu yang dari Pulau Nias itu akhir 1986 menceraikan istrinya, Berliana boru Siregar, si ibu kedua anaknya itu. "Kami sering cekcok, karena Berliana pencemburu," kata Satijuduhu. Setelah Ros memadu kasih dengan Satijuduhu, mereka menikah. Maret lalu suami-istri ini pindah ke Padang, Sum-Bar. Satijuduhu bekerja sebagai buruh bangunan. Pekerjaan itu ditinggalkannya, setelah lamarannya sebagai buruh diterima di perkebunan pengembangan sawit PTP V Kabupaten Kampar, Riau. Satijuduhu yang lulusan SMP tiap hari memotong tandan sawit. Setelah bertahan tiga bulan, dia hengkang. Satijuduhu memboyong keluarganya ke Desa Pantai Raja -- jadi penyadap getah karet di perkebunan milik rakyat. Sehari paling tidak Satijuduhu mengantungi upah Rp 5 ribu. Karena merasa pendapatannya cukup, Satijuduhu melarang istrinya ikut bekerja, "Ros jaga anak saja di rumah," katanya. Setelah tahu Iman meninggal karena penganiayaan, Satijuduhu, yang semula bangga punya bini, kini bukan main bencinya pada Ros. "Anak saya itu memang lasak. Tapi kenapa Ros setega itu?" kata Satijuduhu. Dan dia bertekad menceraikan bininya itu. Ros yang berkulit kuning langsat itu pasrah, "Apa boleh buat." Monaris Simangunsong, Laporan Asyadin S.T. (Biro Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus