SUDAH lama sebenarnya bisa kita hitung, kalau memakai uangnya sendiri, kemampuan seluruh bangsa untuk melarikan uangnya ke dolar ternyata hanya sekitar Rp 2 trilyun. Kalau rupiah yang dijadikan dolar sudah mencapai angka ini, pasar likuiditas sudah menjadi sangat tegang. Tingkat suku bunga langsung saja mencuat. Ini sudah terjadi pada Oktober 1984, ketika terjadi rush dan tingkat bunga di pasaran antarbank langsung mencuat mencapai 80% setahun. Oleh bank-bank tertentu tingkat suku bunga ini langsung saja dipantulkan kepada para nasabahnya. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa bank-bank tertentu sudah tidak beres mengurus likuiditasnya. Kredit yang diberikan kepada nasabahnya bukannya berasal dari likuiditas yang dapat dihimpun secara baik-baik, melainkan diambilkan secara gali lubang tutup lubang per 24 jam di pasaran antarbank. Yang sekarang terlihat dengan gebrakan Sumarlin lebih dramatis: perbankan jungkir balik hanya karena diangkatnya Rp 850 milyar. Dengan diangkatnya jumlah ini, perbankan langsung saja banyak yang antre minta discount window. Lebih jelas lagi terlihat betapa "mismatched"-nya beberapa bank. Dalam keadaan demikian, bagi BI, mengendalikan likuiditas, spekulasi, dan rush semakin gampang, karena jumlah uang yang perlu dimanipulasikan tidak banyak. Kemampuan masyarakat sudah minimal, karena hampir seluruh kekayaannya sudah lama disimpan di luar negeri, sehingga spekulasi hanya dapat dilakukan dengan uang utangan, yang persediaannya di masyarakat juga sudah menipis. Keuntungan lain bagi BI adalah terlihatnya borok beberapa bank tertentu, sehingga lebih jelas dan mudah menertibkannya. Tadi telah disinggung bahwa para spekulan memakai uang utangan untuk berspekulasi. Menjadi menarik adalah bagaimana mungkin pinjam uang dalam jumlah besar, dalam waktu singkat, dan terang-terangan untuk spekulasi. Ternyata, bisa karena bagi bank, yang penting adalah memperoleh pendapatan bunga, dan jaminan kreditnya aman. Mau dipakai untuk apa uang itu, persetan. Bagaimana tekniknya? Andaikan Anda punya US$ 1 juta di luar negeri. Anda lalu memberikan ini sebagai jaminan kepada bank asing di luar negeri yang di sini punya cabang. Lalu Anda minta kredit dengan deposito dolar yang US$ 1 juta ini sebagai jaminan. Bank lalu mengatakan bahwa kredit itu bisa diberikan dengan margin 20%. Artinya, kredit setiap saat tidak boleh lebih besar daripada 80% dari nilai jaminannya. Maka, dengan US$ 1 juta dia bisa utang US$ 800.000. Yang US$ 800.000 ini dijadikan satu dalam deposito di luar negeri, dan menjadilah US$ 1,8 juta. Dia maksimum boleh utang sampai 80% dari nilai jaminan ini atau US$ 1,44 juta, sedangkan utangnya baru US$ 800.000. Maka, dipinjamnya lagi sampai maksimum, yaitu US$ 640.000 (US$ 1,44 juta minus US$ 800.000), yang segera ditumpuk di depositonya. Jumlah deposito di luar menjadilah US$ 2.440.000. Dengan margin 20% dia masih boleh utang sampai seluruhnya mencapai 80% atau US$ 1.952.000, sedangkan jumlah utang seluruhnya adalah US$ 1.440.000. Maka, dia masih boleh utang lagi sebesar US$ 512.000. Utanglah dia sebesar jumlah ini, dan ditumpuklah lagi ke dalam deposito dolarnya. Seluruhnya menjadi US$ 2.952.000 dan utangnya US$ 1.952.000. Berdasarkan jaminannya sebesar US$ 2.952.000 dia masih boleh berutang sebesar 80% atau US$ 2.361.600, sedangkan utang seluruhnya adalah US$ 1.9S2.000. Jadi, masih boleh utang lagi sebesar US$ 409.600. Proses ini bisa berjalan sampai mentok pada situasi jumlah utang yang berlipat ganda besarnya, karena jaminannya juga menumpuk terus dalam putaran demi putaran. Mulanya hanya punya deposito di luar negeri sebesar US$ 1 juta. Dapat dibayangkan berapa kemampuan orang berutang untuk spekulasi dengan cara begini. Kita segera sudah bisa merasakan, yang aneh terletak di mana. Pertama adalah dari mana bank bisa memperoleh likuiditas yang diutangkan kepada para nasabahnya? Dari gebrakan Sumarlin sudah jelas asal-muasalnya, yakni likuiditas BUMN. Kedua adalah bagaimana mungkin bank bisa meminjamkan uang yang jelas dipakai untuk spekulasi? Bisa, karena tidak melanggar peraturan, dan uang tidak mengenal patriotisme. Biarpun efeknya akan merusakkan lalu lintas devisa bebas, atau cadangan valuta asing akan terkuras habis, persetan. Maka, pemerintah pun menghajarnya dengan mengangkat likuiditas BUMN dari perbankan. Akibatnya, likuiditas seret dan suku bunga melejit. Semua orang kena, juga yang tidak ikut-ikutan berspekulasi, dan juga yang tekun di sektor produktif. Dari gambaran ini jelas pula, instrumen-instrumen apa yang tersedia untuk dapat menangkap tikus tanpa membakar gudangnya. Kita tinggal menarik logika dari analisa di atas. Pertama adalah dengan menyatakan bahwa pemberian kredit untuk tujuan spekulasi adalah perbuatan terlarang. Tindakan kedua yang perlu dilakukan adalah minta supaya para pembeli dolar, terutama yang besar-besar melalui transfer, mengisi formulir yang berisi nama, alamat, jumlah dolar, ke mana dolar dikredit, dan untuk apa. Memang akan ada yang menuding bahwa ini tindakan pertama ke arah kontrol devisa. Toh akan saya lakukan seandainya saya pemerintah. Sekaligus akan saya katakan bahwa ini bukan kontrol devisa. Saya hanya ingin mendapatkan informasi yang perlu untuk menentukan peri laku saya sebagai pelaku pasar, yang harus menjual devisa saya kepada siapa saja, jumlah berapa saja, kapan saja, dan untuk apa saja. Bukankah ini sistem devisa bebas? Ini akan tetap saya pertahankan. Akan saya tegaskan bahwa walaupun yang diisikan bohong, toh akan segera saya jual dolar yang dimintanya. Misalnya kalau ada orang yang membeli US$ 1 juta, dan mengatakan ini adalah untuk jamuan makan malam di New York, toh saya akan tetap berpegang pada devisa bebas. Jadi, langsung saja saya jual, asalkan saya mendapatkan pernyataannya yang bohong ini. Kalau ini diberlakukan, saya ingin tahu, apakah masih banyak bos kita yang berani begitu saja membeli dolar untuk spekulasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini