MADURA -- memang tak terlalu luas -- terdiri dari empat kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Tetapi bila bayangan Anda tentang pulau ini hanya karapan sapi, sengatan arang matahari, ladang garam, tanah pesisir yang gersang belaka, lalu apa yang tampak pada karya batik dari sana? Justru warna-warni dengan intensitas yang meletup-letup. Ini terekam di Pameran Batik Maura di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta, 23-26 Juli lalu -- yang mengjak kita masuk ke dalam kultur Madura yang penuh gelora. Karya itu, konon, dibuat (sebagai perintang waktu) oleh para istri pelaut yang ditinggal suaminya merantau, dan kini lebih sebagai penambah penghasilan keluarga. Khas adalah pada kepekatan warnanya, akibat pembatikan ulang alias "guri", yang menghasilkan merah padam dari akar mengkudu, biru rila dari tarum, dan hijau kulit pohon mundu. Dengan ragam hias yang dicoretkan secara ekspresif, tegas, dan sedikit saja ada stilasi bentuk, apa yang tergambar tak pernah jauh dari bau-bauan laut. Kain Lemar yang telah berusia 50 tahun, misalnya, menggambarkan kapal laut dengan bendera melambai di tiang-tiang layar, bahkan di buritan -- ditambah ikan-ikan gemuk dan udang-udang besar nyaris seukuran kapal itu sendiri bertebaran di sekitarnya. Ragam hias pengisi bidang-bidang kosong, yang juga disebut "guri", atau isen-isen pada batik Jawa, adalah sisik-sisik ikan, kerang-kerangan, bahkan ada yang berbentuk keratankeratan terasi, Acan Sakerra. Ada tendensi untuk menyederhanakan bentuk. Sementara itu, beberapa ragam hias tertentu, seperti burung, diperbesar, hampir menenggelamkan yang lain. Dibuat tanpa menjiplak pola pengarah (patron), desain digores langsung dengan canting di atas kain. Hasilnya jadi tak tepat, terutama pada pengulangan motif yang sama. Namun, tanpa terikat pada pola itu justru melahirkan detail-detail yang menarik dan tak pernah sama. Seakan ekspresi karakter lokal yang tak ingin terbendung, bagai mengarungi lautan lepas. Yang menarik adalah batik Madura tak mengenal cap, sekalipun untuk batik murahan, seperti yang dijual di luar ruang pameran. Penggambaran ragam hias, kalau perlu, menggunakan canting bermulut besar, hingga garis yang keluar tebal, kasar, hampir tanpa asen-asen. Semangat menggebu-gebu terutama tampak pada kelompok kain dengan motif Tase' Malaya atau Laut Malaya yang bisa dikaitkan dengan kenangan terhadap gelombang-gelombang yang besar dan cahaya matahari yang cerah. Gelombang yang ritmis jadi lebih penting daripada segalanya -- juga pada ragam hias yang geometris. Kain "pagi sore" adalah dua motif yang dibatasi garis diagonal melintang, arisan zaman Jepang saat orang harus berhemat, hingga satu kain bisa dipakai dengan dua muka. Pada batik Pekalongan pembatasannya jelas, dan pada kain Madura, seperti Sekoh, yang berarti siku atau penceng, pemotongannya pun tiba-tiba. Kain yang telah berusia 25 tahun itu iramanya tetap terjaga, tak bisa lurus, tapi menggeletar. Soal tak bisa lurus ini kadang juga menggemaskan. Lihat pada kain motif NurJanur, alias lipatan janur: berarak horisontal -- seakan digambar oleh kanak-kanak yang masih lugu, naik turun. Seperti juga di daerah-daerah pesisir lainnya, Cirebon, Lasem, Pekalongan, pengaruh warna dan ragam hias dari Cina, lokcan, pun ada, selain burung hong atau phoenix. Hanya saja, pada kain Madura penampilannya jadi lebih humoristis, seperti pada kain Gaa Sakerreng yang dipenuhi gajah-gajah yang berjungkir balik, dan belalainya tiga atau empat. Kain Madura, yang akhir-akhir ini makin banyak peminatnya, terutama di Jakarta, tampaknya jnga tak terhindar dari penggunaan zat pewarna sintetis yang lebih tahan luntur dan cemerlang. Namun, karena masih dilukis dengan tangan, vitalitasnya tidak menurun. Bandingkan, misalnya, kain Ge-Tog yang baru dua tahun usianya dengan Gendongan Beianda yang 50 tahun: keduanya berasal dari Bangkalan. Pameran koleksi Dra. Hasnah Gasim, yang sebagian besar didominasi kain-kain dari Bangkalan itu, memang bisa dibilang mewakili semangat warna yang intens dari Madura. Sebab, kain-kain asal Sampang dan Pamekasan lebih besar pengaruh sogan, cokelat dan biru tua dari Pulau Jawa. Sayang, batik yang sukar dilepas dari fungsi simbolisnya -- terutama bagi kain-kain yang di atas 30 tahun usianya -- tak disertai keterangan tentang fungsinya. Misalnya pada kain untuk menggendong bayi, gindungan, yang biasa dihadiahkan pada cucu pertama, atau kain yang digunakan untuk penutup kapal yang baru usai dibuat dan siap dilabuhkan. Batik-batik semacam itu, biasanya, dianggap memiliki nilai lebih atau bertuah. Karena itu, disimpan turun-temurun, hingga kita masih bisa menikmatinya. Tetapi masih sedikit literatur yang menolong untuk memahami batik Madura. Sedangkan pada beberapa ahlinya, seperti Kartina A.S. Prawirabisma, Nian S. Djoemena, dan Judi Triani Soemarsono, masih kita tunggu penerbitan tulisan-tulisan mereka -- yang lebih lengkap dan populer. Ananda Moersid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini