SUNARSO tak menyangka bahwa Supardi menyiramkan cairan di kantung plastik itu padanya. Tiba-tiba ia kepanasan, merasa terbakar. Bajunya luluh. Rontok. Tubuhnya melepuh dan meleleh. Bersarung penutup aurat, Sunarso, 32 tahun, kemudian lari. Sembari melolong, ia menembus gelap jalan 1 km menuju puskesmas, dari Desa Jelbug, Kecamatan Arjasa, Jember. Ketika itu pukul 20.00. Sunarso sedang membetulkan lampu pompa miliknya. Lalu datang Jumadi dan Turi, dua anak muda tetangganya. Mereka bilang, ia diminta datang ke rumah Supardi. Sepanjang sore tadi ia berbincang santai dengan dia -- mungkin mengajaknya ngobrol lagi. Ia ke sana tanpa pamit pada istrinya yang sedang tidur. Setiba Sunarso, di sana ada beberapa orang yang menunggu dia. Selain suami-istri Supardi, di ruang tamu rumah berdinding bambu itu ada juga Munadi. Di situ, Sunarso dicecar pertanyaan Supardi: mengapa ia mengirim secarik kertas (disebut Supardi surat cinta) pada Aisyah, istri Supardi. Sunarso kaget, dan membantah. "Saya menolong kawan," dalih Sunarso. Maklum Supardi sudah tak punya pekerjaan. Dan Aisyah bermaksud jualan kebutuhan sehari-hari di rumahnya. Sunarso berbaik hati meminjami modal berupa berbagai macam barang yang nilainya Rp 140 ribu. Dalam suratnya itu, kata Sunarso, ia berjanji akan meminjami Aisyah lagi, kalau memang perlu bantuan. Tapi Supardi tak percaya: Sunarso hanya berdalih. Supardi pernah terkenal memimpin tonil dan orkes dangdut yang berkeliling di daerah Besuki. Karena itu, ia berhasil mempersunting si kembang desa, Aisyah, yang hitam manis itu. Namun, selalu saja ada yang mencoba melirik atau menggoda Aisyah. Ketika kemudian orkes dangdutnya bangkrut, sifat pencemburu Supardi mudah memuncak. "Seniman itu, kata orang, cemburunya gede," ucap Aisyah tentang suaminya. Supardi sebenarnya juga cemburu pada Munadi, pamannya sendiri. "Saya dipaksa mengaku pernah digombali Munadi," kata Aisyah. Karena tak ingin hubungan kekeluargaan mereka retak, lalu Aisyah buka kartu, "Sebetulnya, yang kepencut pada saya adalah Sunarso," ujar Aisyah, ibu tiga anak itu. Buktinya, lalu ia menyorongkan surat yang berasal dari petani itu, yang antara lain menulis, Dik Aisyah, pokoknya minta apa saja saya penuhi. Ujar Aisyah lagi, Sunarso pernah mendatangi dia ketika di sungai, dan hendak menyelipkan uang Rp 5 ribu di sela kutangnya. Tetapi Sunarso membantah keras, "Itu fitnah." Sebaliknya, Supardi malah "memberi imbalan" sekantung plastik asam sulfat kepada Sunarso. Dan tentang asam sulfat itu, malah kini Aisyah yang bersitegang. Ia justru kembali menuding Sunarso sebagai pemilik cairan laknat itu. Dua hari sebelum kejadian, begitu kata Aisyah, Sunarso menitipkan cairan yang ia "tidak tahu gunanya" itu. Sedangkan Sunarso justru menuding Munadi yang memiliki bengkel aki sebagal sumbernya. Sebab asam sulfat itu memang air aki. Dan anehnya, setelah kejadian itu, bengkel aki tersebut dibongkar sendiri oleh pemiliknya, untuk menghilangkan jejak. Dua bulan sudah Sunarso di RSU Dr. Subandi, Jember. Dagingnya terus melepuh, berair, dan telinga kanannya rontok. Ia menghabiskan Rp 700 ribu dan tak lagi punya uang. Diam-diam, 23 Juli lalu Sunarso kabur dari rumah sakit itu. Kini ia terbaring di rumahnya. "Ya, sudahlah. Biar saja saya mati pelan-pelan," tutur Sunarso. Setelah menganiaya ayah tiga anak itu, Supardi, 28 tahun, jadi tahanan polisi. Kini ia menginap di Lembaga Pemasyarakatan Jember. Ia belum selesai diproses karena Sunarso masih dalam keadaan parah. Laporan Biro Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini