SEPERTI sebuah antrean di bioskop, satu per satu anggota Keluarga Cendana menjadi tersangka kasus korupsi. Setelah Soeharto dan Hutomo Mandala Putra, kini giliran Siti Hardijanti Rukmana. Putri tertua bekas presiden Soeharto yang akrab dipanggil Tutut itu menjadi tersangka dalam kasus pipanisasi Jawa yang merugikan negara US$ 20,4 juta sampai US$ 31,5 juta. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung, Muljohardjo, mengatakan bahwa surat penetapan status Tutut menjadi tersangka sudah ditandatangani Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Fachry Nasution. "Hari ini, yang bersangkutan (Siti Hardijanti Rukmana) resmi menjadi tersangka," kata Muljohardjo, Jumat pekan lalu.
Pengumuman Kejaksaan Agung ini tak pelak mengentak banyak kalangan. Paling tidak, muncul berbagai dugaan, misalnya Tutut menjadi sasaran tembak. Sebab, peningkatan status ini dilakukan tak lama setelah Presiden Abdurrahman Wahid menyebut-nyebut bahwa aparat penegak hukum akan menangkap sepuluh tokoh Orde Baru yang diduga melakukan korupsi. Dugaan lain, Kejaksaan Agung melakukan balas dendam setelah Hutomo Mandala Putra raib sampai kini. Pengacara Siti Hardijanti Rukmana bahkan menuding Kejaksaan Agung menjadikan kasus ini komoditi politik. Tapi Muljohardjo menampik semuanya. "Status Tutut tidak ada hubungannya dengan perintah Gus Dur atau siapa pun," kata Muljo.
Berbagai dugaan itu muncul karena pada siang harinya Siti Hardijanti Rukmana masih berstatus sebagai saksi dalam kasus tersebut. Sebelum Tutut menjadi tersangka, kasus korupsi pipanisasi Jawa telah menjadikan bekas Direktur Utama Pertamina, Faisal Abda'oe, dan bekas Direktur Utama PT Triharsa Bimanusa Tunggal, Rosano Barrack, sebagai tersangka. Di PT Triharsa, pemilik kelompok usaha Citra Lamtorogung Persada ini menjadi komisaris utama. Namun, Tutut batal memberikan kesaksian lantaran sakit flu.
Apa yang membuat Tutut terjerat? Menurut Muljohardjo, dalam kasus ini Tutut diduga telah terlibat aktif. Di antaranya menandatangani surat perjanjian studi kelayakan antara PT Triharsa dan Pertamina dan juga mengajukan penawaran ke Pertamina untuk menggarap proyek pipanisasi tersebut pada awal 1988. Dalam pengajuan penawaran itu, Triharsa akan menggarap tiga ruas (Malangbong-Balongan, Padalarang-Sukabumi, dan Rewulu-Semarang) sepanjang 320 kilometer. Pada Mei 1989, Triharsa dan Pertamina meneken kontrak built and transfer agreement dengan nilai proyek US$ 306 juta atau dengan kurs saat itu sekitar Rp 650 miliar. Ternyata, proyek itu gagal melewati saringan Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri pada 1991 dan otomatis tak dilanjutkan.
Nah, di sinilah masalah korupsi itu berawal. Karena pemerintah yang membatalkan, Triharsa meminta kompensasi atas pembatalan itu. Menurut hitungan Triharsa, berdasarkan audit yang dilakukan KPMG, Pertamina harus membayar ganti rugi US$ 44 juta karena proyek yang sudah digarapnya mencapai 14,48 persen. Yang sudah digarap itu antara lain perancangan (design engineering) dan pelatihan. Setelah tawar-menawar, Pertamina akhirnya bersedia membayar US$ 31,5 juta. Sampai di sini, urusan tampaknya beres-beres saja. Soal korupsi nyaris tak muncul ke permukaan.
Tapi, begitu Faisal Abda'oe digantikan Soegianto, urusan borok di BUMN terkaya di Indonesia ini mulai dikorek-korek. Pada Juni 1998, pemerintah mengumumkan ada 140 proyek Pertamina yang berbau korupsi. Empat bulan kemudian, proyek yang punya indikasi kuat tersangkut korupsi membengkak menjadi 159 proyek. Salah satunya adalah proyek pipanisasi Jawa. Pertamina bahkan langsung membatalkan proyek tersebut. Urusan ternyata tak cuma sampai pada pembatalan tersebut. Pertamina juga mulai meneliti kasus demi kasus. Maka, terungkaplah soal pembayaran US$ 31,5 juta itu yang dinilai terlalu besar.
Menurut Muljohardjo, hasil kemajuan pembangunan proyek pipanisasi itu bukanlah sebesar yang disebutkan Triharsa, melainkan hanya 6,4 persen atau senilai US$ 14 juta. Angka yang dikemukakan Muljo agak aneh. Sebab, TEMPO menghitung, jika kemajuannya 6,4 persen, mestinya yang harus dibayar Pertamina US$ 19,5 juta, bukan US$ 14 juta. Sementara itu, sumber TEMPO di Triharsa mengungkapkan bahwa pihak Kejaksaan Agung bahkan menyebut ganti rugi yang mesti dibayarkan Pertamina ke perusahaannya hanya US$ 11,2 juta, sehingga negara dirugikan antara US$ 20,4 juta dan US$ 31,5 juta.
Baiklah, lupakan saja angka-angka yang membingungkan semua pihak, termasuk Kejaksaan Agung sendiri. Yang jelas, menurut Kejaksaan Agung, korupsi yang dilakukan Triharsa bukan sekadar menggelembungkan nilai kompensasi yang mesti dibayar negara. Pemberian kompensasi itu sendiri sudah menyalahi aturan pemerintah. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 29/1984, perjanjian atau kontrak apa pun dengan pemerintah tidak dibenarkan mencantumkan sanksi ganti rugi yang dibebankan kepada pemerintah. Selain itu, penunjukan langsung tidak melalui tender juga menyalahi hukum karena nilainya jauh melebihi batas maksimal nilai proyek yang boleh tidak melalui tender.
Ringkas cerita, Kejaksaan Agung yakin bahwa tudingan korupsi terhadap Triharsa memang cukup punya banyak alasan. Muljo juga menegaskan bahwa penetapan Tutut menjadi tersangka bukanlah tanpa alasan. Menurut dia, jika selama ini seolah-olah hanya Rosano dan Faisal yang menjadi tersangka, itu bukan karena masalah lain. "Setelah melakukan beberapa pemeriksaan terhadap saksi-saksi, kita menemukan bukti-bukti yang mengarah kepada Tutut," kata Muljo. Itu sebabnya Tutut tak sekadar menjadi saksi, tapi menjadi tersangka. Bukan tidak mungkin, Bambang Trihatmodjo, yang menjadi pemegang saham Triharsa (35 persen) melalui PT Bimantara Citra, juga akan menjadi tersangka. Juga para pemilik PT Tranaco, yang memiliki 30 persen saham Triharsa.
Pengacara Siti Hardijanti Rukmana, Amir Syamsudin, kontan menyesalkan pengumuman Kejaksaan Agung mengenai status kliennya yang dilakukan secara terbuka di depan pers. Dia melihat ada kesan kuat bahwa Kejaksaan Agung sedang menggalang opini yang bisa mendukung lembaga itu mengenai satu kasus yang sebenarnya belum jelas benar. "Kita melihat Kejaksaan Agung menjadikan kasus ini sebagai komoditi politik," kata Amir. Pengacara papan atas itu menambahkan bahwa kasus ini bersifat sangat teknis dan dia menyangsikan Tutut sebagai komisaris utama tahu persis apa yang terjadi di lapangan.
Korupsi atau bukan, pengadilanlah yang harus membuktikannya. Jika terbukti melakukan korupsi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Siti Hardijanti Rukmana dan dua tersangka lain bisa terkena ancaman hukuman penjara 4 tahun sampai seumur hidup serta denda Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar. Para tersangka juga mesti mengembalikan uang yang dikorup dari negara.
Cuma, banyak pihak yang mempertanyakan ujung dari kasus ini. Soeharto, yang dituduh melakukan korupsi Rp 1,3 triliun, dibebaskan dari dakwaan oleh Pengadilan Jakarta Selatan karena sakit. Begitu pula Hutomo Mandala Putra, yang sampai kini masih raib entah ke mana meski sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung mengorup uang Bulog senilai Rp 76,7 miliar. Akankah Tutut bisa mengikuti jejak ayahnya, lolos dari jerat hukum, atau mengikuti jejak adiknya, kabur setelah menjadi terpidana? Muljo dengan kalem menjawab, "Kita belajar banyak dari kasus Tommy."
M. Taufiqurohman, Hadriani Pudjiarti, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini