Anggota DPR itu mewakili rakyat yang mana? Itu pertanyaan pendukung Presiden Abdurrahman Wahid ketika Presiden mendapat memorandum dari DPR. Alasannya, keputusan itu tidak mewakili aspirasi mereka yang telah memilih anggota DPR, meski tak disebutkan mereka memilih apa.
Tuduhan itu ada benarnya bila melihat tiga undang-undang politik nomor 2, 3, dan 4, yang sering dipelesetkan menjadi `'UU Dji Sam Soe'', yakni UU No. 2/1999 tentang Partai Politik, UU No. 3/1999 tentang Pemilu, dan UU No. 4/1999 tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD. Dalam ketiga undang-undang itu, anggota DPR lebih loyal kepada partai atau pemimpin partai, karena mereka yang menunjuk siapa yang harus duduk di kursi terhormat itu. Kelemahan lain, hasil pemilu dirasakan kurang adil dan kurang menjamin keterwakilan daerah.
Karena berbagai kelemahan itu, pada November lalu dibentuk tim revisi undang-undang politik yang diketuai Prof. Ramlan Surbakti. Rancangan itu diharapkan sudah diserahkan ke pemerintah pada pertengahan Maret nanti. Draf rancangan itu menyatakan, semua anggota MPR nantinya dipilih langsung. Komposisinya, 500 anggota DPR dan 120 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mempunyai fungsi berbeda. DPR berfungsi menentukan kebijakan nasional, sedangkan DPD menentukan kebijakan daerah. "Soal perimbangan keuangan pusat dan daerah diputuskan bersama," kata Ramlan, yang juga dosen Universitas Airlangga, Surabaya.
Pemilihan anggota DPR dilakukan dengan membagi 204 juta jumlah penduduk Indonesia dengan 500 distrik pemilihan. Atau, setiap 409 ribu jiwa, baik yang mempunyai hak pilih maupun belum, masuk dalam satu distrik pemilihan. Misalnya, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Kabupaten yang berpenduduk 776 ribu jiwa ini dianggap satu distrik dan hanya memilih seorang wakil di DPR. Sisanya, berjumlah 367 ribu jiwa, dianggap kurang untuk membetuk satu distrik lagi, karena sisa minimal untuk satu distrik harus lebih dari 368 ribu jiwa. Untuk anggota DPD, satu provinsi dijatah empat kursi dari 30 provinsi yang ada. Selain diisi calon dari partai politik, individu bisa mencalonkan dirinya, asal mempunyai dukungan seribu tanda tangan. Dari pemilihan model ini, di MPR?DPR dan DPD?Jawa akan menempatkan 320 orang wakil dan 300 wakil dari luar Jawa.
Namun, yang menjadi persoalan bagi Jacob Tobing bukan masalah distrik atau bukan. Yang penting adalah penyelenggara pemilu berlaku fair dan mempunyai aturan pasti. Alasannya, negara yang tidak pakai sistem distrik saja demokrasinya bisa maju. "Jangan dibikin rumitlah," kata anggota DPR dari PDI-P ini.
Kalau DPD dalam rancangan undang-undang itu adalah gubahan dari Utusan Daerah yang dipilih langsung, Utusan Golongan dan Fraksi TNI/Polri nantinya bakal tergusur dari dewan. Sebagai ganti, anggota TNI dan Polri diberi hak memilih, tapi tak boleh menjadi anggota atau pengurus partai, apalagi membentuk partai baru. Meski baru rancangan, RUU itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yaitu Ketetapan MPR No. 7 Tahun 2000, yang membolehkan TNI dan Polri bercokol di DPR sampai tahun 2004 dan di MPR sampai tahun 2009.
Setelah tahun 2009, menurut Mayjen Budi Harsono dari Fraksi TNI/Polri, anggota TNI dan Polri akan ikut memilih tapi tidak ikut kampanye. Partai mana yang akan dipilih, Budi mengaku belum tahu. Bisa saja para purnawirawan membuat partai dan anggota yang masih aktif diminta memilihnya. Tentu dengan satu komando. Alasannya, "Kita tidak ingin suara TNI pecah seperti Pemilu 1955." Sedangkan keputusan yang terkait dengan pertahanan dan keamanan nantinya bisa dilakukan dengan dengar pendapat antara TNI dan komisi DPR.
Mengenai partai politik yang ikut pemilu dalam rancangan UU itu, hanya partai yang mampu mengumpulkan suara lebih dari dua persen pada pemilu lalu yang nantinya bisa ikut pemilu, seperti PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Partai yang lain, silakan bergabung atau dibubarkan. Tapi rancangan itu tak menutup kemungkinan berdirinya partai baru. Syaratnya, mempunyai pengurus lengkap yang ada di dua pertiga provinsi dan kabupaten di seluruh Indonesia. Meski begitu, Harun Alrasid tak setuju dengan banyaknya partai pada pemilu mendatang. "Soeharto sudah benar, tiga partai saja," kata pakar hukum ini.
Ramlan berharap, RUU ini bisa menjadi acuan DPR untuk pembuatan peraturan lainnya. Bagaimanapun, undang-undang tidak diberlakukan sampai kiamat. Masih bisa diperbaiki dan diganti, tergantung rezim dan situasi politik saat itu.
Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini