Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengapa Kasus Femisida Melonjak Akhir-akhir Ini?

Femisida tak bisa dilepaskan dari perspektif gender. Puncak piramida kekerasan terhadap perempuan.

15 Desember 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Femisida menjadi puncak piramida kekerasan terhadap perempuan.

  • Angka kasus femisida di Indonesia terbilang tinggi.

  • Budaya patriarki memiliki andil besar terjadinya femisida.

ANGKA kasus femisida di Indonesia terbilang tinggi. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), terdapat 290 kasus femisida sepanjang periode 1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024. Angka itu diperoleh dari data sekunder berupa pemantauan pemberitaan media daring.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah, mengatakan data tersebut belum ajek sehingga belum bisa menggambarkan seluruh kasus femisida yang terjadi di Indonesia. “Data ini menjadi basis bahwa femisida itu ada,” katanya, Sabtu, 14 Desember 2024. Dalam peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November hingga 10 Desember 2024, catatan Komnas ini harus dimaknai sebagai situasi darurat terhadap perempuan di Indonesia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Komnas Perempuan definisi femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya. Femisida muncul karena didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, ataupun misogini terhadap perempuan, serta rasa kepemilikan terhadap perempuan. Femisida juga berhubungan dengan ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistis.  

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, saat diwawancarai di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta, 16 Februari 2023. Dok. TEMPO/Febri Angga Palguna

Contoh kasus femisida yang baru-baru ini ramai menjadi perbincangan publik adalah pembunuhan Dini Sera Afriyanti oleh pacarnya, Gregorius Ronald Tannur. Pembunuhan ini terjadi pada 3 Oktober 2023, tapi kembali diperbincangkan setelah hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur terjaring operasi tangkap tangan yang digelar Kejaksaan Agung.  

Komnas Perempuan menilai rangkaian penganiayaan yang berujung kematian Dini Sera Afriyanti memenuhi indikator femisida. Pemukulan oleh Ronald Tannur, yang dilakukan dari dalam ruangan hingga ke tempat parkir, juga pelindasan dengan mobil, menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi Dini Sera. Terlebih, Komnas menyebutkan ada relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban.

Contoh lain terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara, pada September 2024. Seorang suami ditetapkan sebagai tersangka atas kematian istrinya. Tersangka menyerang korban menggunakan senjata tajam ketika tidur. Dari hasil visum ditemukan sembilan luka tusukan di kelamin dan paha korban. Adapun perbuatan tersangka diduga dilatarbelakangi oleh cemburu. 

Siti Aminah mengatakan Komnas Perempuan memantau kasus femisida setelah mendapat rekomendasi dari Komite The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) pada 2017. Badan internasional yang bertugas memantau penerapan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan itu mengeluarkan Rekomendasi Umum Nomor 35 Tahun 2017 tentang Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan. 

Dalam mandat tersebut, Komite menganjurkan negara-negara yang tergabung dalam konvensi mengumpulkan, menganalisis, dan mempublikasikan data statistik tentang kekerasan terhadap perempuan secara teratur. Fokusnya pada data administratif tentang pembunuhan yang berkaitan dengan gender perempuan dan anak perempuan.

Sejauh ini, Indonesia belum memiliki data nasional yang berhubungan dengan femisida. Badan Pusat Statistik masih menggunakan pendekatan dari sisi pelaku dalam statistik kriminal. Selain itu, dalam sistem pencatatan kriminal di kepolisian, belum ada pemilahan gender korban ataupun motifnya. 

Atas dasar itu, Komnas Perempuan menghimpun dan menyisir ribuan data dari pemberitaan online untuk menelusuri jumlah peristiwa femisida setiap tahun. Dalam memilah pemberitaan, ada sejumlah indikator yang digunakan untuk membedakan peristiwa pembunuhan biasa dan femisida. “Istilah femisida itu bukan terminologi hukum,” kata Siti Aminah. “Karena itu, harus dibangun indikatornya.”  

Indikator pertama adalah pembunuhan karena unsur kebencian atau kontrol atas perempuan. Kedua, ada penghinaan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan. Ketiga, pembunuhan atau penganiayaan yang dilakukan sebagai akibat eskalasi kekerasan. “Tidak semua kasus pembunuhan atau penganiayaan itu adalah femisida,” kata Siti Aminah. 

Pembunuhan dapat dikategorikan sebagai femisida jika di dalamnya terdapat kekerasan berbasis gender atau ketidakadilan gender, seperti kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang tidak diintervensi dapat berujung kematian. Femisida, kata perempuan yang biasa disapa Ami ini, merupakan puncak piramida kekerasan. 

Berikutnya, indikator keempat, adalah adanya sejarah ancaman pembunuhan terhadap korban, baik itu ancaman fisik maupun verbal. Kelima, adanya ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Ketidakseimbangan ini dapat dilihat dari usia, ekonomi, pendidikan, ataupun status sosial. Indikator keenam ialah perlakuan terhadap tubuh atau jenazah korban yang bertujuan merendahkan martabat mereka. Misalnya, pembunuhan disertai mutilasi. “Atau sampai ditelanjangi,” ujarnya. “Walaupun sudah meninggal, korban tetap dipermalukan.”

Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw mengatakan ketimpangan relasi antara pelaku dan korban berkontribusi besar atas terjadinya femisida. Sebab, femisida tak bisa dilepaskan dari perspektif gender. “Tidak sekadar perempuan meninggal,” kata Nathanael. Namun, dalam perspektif psikologi forensik, setiap kasus memiliki keunikan. Memang perlu ditelusuri lebih dalam lagi ihwal penyebab ataupun cara kematian korban untuk dapat mengkategorikannya sebagai femisida.

Dosen kriminologi Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi, berpendapat terminologi femisida berakar dari kebencian terhadap perempuan. Angka kasus femisida yang dicatat oleh Komnas Perempuan diyakini hanyalah puncak gunung es.   

Dia menjelaskan, ada beberapa motif femisida. Contohnya, pelaku cemburu atau pelaku merasa harga dirinya sebagai laki-laki disepelekan. Kemudian, untuk konteks femisida dalam hubungan keluarga, ada pula pelaku yang merasa korban telah mencemarkan kehormatan atau nama baik keluarga. “Akar masalahnya tetap misogini,” kata Mamik.

Dosen kriminologi Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi, dalam acara Quo Vadis Negara Hukum: Perempuan Berbicara di Jakarta, 31 Juli 2024. ANTARA/

Menurut Mamik, istilah femisida perlu diperluas untuk mencakup peran pemerintah atau negara. Segala bentuk kebijakan, baik yang disengaja maupun tidak, yang dapat mengakibatkan kematian perempuan harus dianggap sebagai femisida. “Misalnya, layanan kesehatan yang diskriminatif dan tidak memenuhi kebutuhan hak perempuan,” kata Mamik. Bahkan aparatur negara yang membiarkan penganiayaan terhadap perempuan yang berujung kematian dapat diklasifikasikan sebagai femisida oleh negara sebagai pelakunya. “Jadi pelaku femisida bisa individual, keluarga, komunitas, dan negara,” ujarnya.

Erni Rahmawati, doktor Program Studi Kriminologi Universitas Indonesia, mengatakan, hingga saat ini, belum ada data khusus mengenai femisida yang dapat digunakan untuk melihat faktor-faktor penyebab peningkatan angka kasus femisida. Namun, dari pandangan kriminologi, dia melihat ada dua kemungkinan melonjaknya angka femisida. Pertama, kasusnya yang memang makin banyak, dan kedua, jumlah pelaporannya yang justru meningkat. 

Untuk kemungkinan pertama, kata Erni, budaya patriarki memiliki andil besar terhadap terjadinya femisida. “Dalam kultur yang patriarkis ini tentunya ada kesenjangan gender dan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan,” ujar Erni. Selain itu, kebiasaan menjustifikasi kekerasan dinilai menjadi faktor meningkatnya jumlah kasus femisida. Sementara itu, kemungkinan kedua, dipicu oleh masyarakat yang mulai memahami konsep pembunuhan terhadap perempuan berbasis gender.

Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Suseno

Suseno

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia pada 1998. Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini menempati posisi redaktur di desk Nasional Koran Tempo. Aktif juga di Tempowitness sebagai editor dan trainer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus