Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berita Tempo Plus

Pertempuran Penghabisan Sang Mesiah

Lagi-lagi sekuel The Matrix berakhir antiklimaks. Penuh pengulangan efek visual dan mengumbar kecanggihan komputer.

16 November 2003 | 00.00 WIB

Pertempuran Penghabisan Sang Mesiah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

The Matrix Revolution
Skenario dan sutradara: Andy dan Larry Wachowski
Pemain: Keanu Reeves, Laurence Fishburne, Carrie-Anne Moss
Distributor: Warner Bros

Yang dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Setelah berselang enam bulan, setelah Reloaded Mei lalu, akhir dari trilogi The Matrix diluncurkan serentak di seluruh dunia pada 5 November silam. Namun, sebagai sekuel terakhir, adakah Revolution benar-benar menjadi pemungkas trilogi yang istimewa? Ataukah sama halnya dengan Reloaded yang mengecewakan itu? Semestinya menjanjikan atau setidaknya bisa menghapus rasa penasaran tentang akhir kisahnya.

Pada bagian pertama, Matrix, dikisahkan Neo (Keanu Reeves), sang hacker, direkrut Morpheus (Laurence Fishburne) dan Trinity (Carrie-Anne Moss). Neo diyakini sebagai mesiah sesuai dengan ramalan Oracle yang akan membebaskan manusia dari kekuasaan mesin. Pada masa itu, manusia dilahirkan di dalam sebuah cangkang, tak ubahnya seperti ternak.

Di bagian kedua, Reloaded, kemampuan dan kehebatan Neo kian berlipat-lipat, dan ia menerima nasibnya menjadi mesiah yang akan menyelamatkan kehidupan manusia. Dan di bagian akhir, Revolution, dia berusaha memecahkan jawaban dari jalinan kisah yang terjadi di dua bagian terdahulu.

Film kali ini dibuka dengan adegan Neo yang tengah koma akibat terlibat perkelahian dengan sentinel. Dengan penuh kasih, Trinity, yang dalam Reloaded telah dikisahkan menjadi kekasihnya, menunggui dengan tekun. Dalam keadaan koma itu, yang sebenarnya terjadi, Neo tersesat di sebuah stasiun kereta yang menghubungkan Matrix dan dunia nyata. Neo tak bisa keluar dari situ karena Merovingian, orang Prancis yang menjadi musuh dalam sekuel terdahulu, tak pernah mengizinkannya kembali. Hingga akhirnya, Trinity dan Morpheus memaksa Merovingian mengeluarkan Neo. Upaya itu berhasil.

Namun, pada saat yang bersamaan, Agen Smith berhasil keluar dari dunia Matrix dan terus berusaha mengejar dan menaklukkan Neo. Kekuatannya jauh lebih hebat. Dia bisa mengopi dirinya tidak saja menjadi berjumlah ratusan, tapi ribuan, bahkan jutaan. Dan yang paling berbahaya, saat itu juga pasukan mesin dengan jutaan sentinel telah menjalankan serangan ke Zion, kota para manusia yang terakhir. Tentu saja ini menjadi ancaman besar. Mereka pun bersiap menyambut serangan yang akan datang. Namun Neo, yang ditemani Trinity, malah nekat menyambangi pusat dunia mesin untuk menghentikan serangan itu.

Tiga cerita inilah yang menjadi inti Revolution. Namun yang terbanyak digali adalah kisah serangan mesin terhadap Zion, yang terdesak. Layaknya adegan peperangan, Wachowski bersaudara, yang menjadi penulis sekaligus sutradara film ini, melakukan langkah yang sama sekali tak terduga. Mereka lebih banyak menampilkan adegan peperangan hasil rekayasa animasi komputer yang canggih. Hebatkah? Boro-boro. Menyaksikan peperangan di antara keduanya tak lebih seperti menyaksikan sebuah demo video game.

Pada titik inilah kemasyhuran Matrix, yang pernah menjadi fenomena dengan inovasi efek visual yang mengagumkan dengan teknik slow motion, seolah terbang begitu saja. Eksploitasi permainan efek komputer dan pengulangan beberapa adegan menjadi menu utama Revolution.

Hal lain yang tidak bisa dielakkan adalah gaya film laga khas Hollywood. Wachowski memasukkan adegan yang terasa mubazir. Di saat genting, tiba-tiba saja muncul masalah. Neo harus kehilangan bola matanya akibat berkelahi dengan Bane, yang berkhianat. Dasar jagoan, dalam keadaan buta, Neo tetap menjadi jagoan. Revolution hanya menampilkan kesempurnaan Neo, sang ikon.

Semua kelemahan ini sebenarnya bisa dilihat dari sekuel pertama, Reloaded, yang makin kabur dari Matrix, yang tiba-tiba saja dipenuhi dengan tokoh-tokoh baru yang berusaha menjegal Neo dan pasukannya. Berbagai karakter muncul, termasuk kota yang bernama Zion.

Penggarapan dua sekuel ini secara berbarengan juga menjadi titik lemah lainnya. Akting Reeves dan Moss tidak sesempurna akting mereka dalam episode pertamanya. Moss seperti kehilangan angin. Rasa cinta dan gairahnya terhadap Neo terasa hambar.

Agaknya dua bagian akhir ini tak lepas dari pengaruh epidemik sequelitis (penyakit sekuel) yang teramat sulit untuk dihindarkan oleh siapa pun, tak terkecuali sutradara besar di Hollywood yang didukung dengan finansial dan teknik film yang luar biasa. Begitu pula yang terjadi pada film ini.

Revolution sejatinya tidak lagi menampilkan sesuatu yang menyegarkan seperti ramuan tentang filsafat, misalnya. Dia hanyalah menuntaskan rasa penasaran tentang bagaimana akhir dari kisah ini.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus