RIUHNYA soal narkotik kini jelas bukan sekadar limbah dari musibah tewasnya Aldi di rumah bintang sinetron Ria Irawan (lihat Kriminalitas). Sebab tidak kurang dari Presiden Soeharto merisaukan soal narkotik di kalangan remaja, yang beliau utarakan pada pembukaan Konferensi Regional Asia Pasifik Forum Internasional untuk Kesejahteraan Anak, di Jakarta, Rabu pekan silam. Menurut Pak Harto, dewasa ini hubungan antarbangsa terus bertambah erat dan batas negara terasa kian kabur, sehingga akibat samping kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mulai membawa pengaruh yang kurang baik terhadap kehidupan remaja. "Timbul berbagai masalah yang sebelumnya tidak pernah terjadi, seperti kecanduan narkotik dan minuman keras, perilaku menyimpang, dan seterusnya," kata Presiden Soeharto. Berangkat dari kerisauan itulah, pekan ini TEMPO menurunkan Laporan Utama mengenai perdagangan narkotik. Laporan ini terdiri dari empat bagian. Pertama, mengenai mata rantainya dan telaah sejauh mana "pasukan narkotik" sudah menggerilya Asia Tenggara. Bagaimana reaksi di ASEAN, seperti di Thailand, Malaysia, dan Singapura. Pada 21 Januari lalu Singapura menggantung penyelundup narkotik, seorang pria Hong Kong dan seorang Singapura, di penjara Changi. Di Singapura, bila ketahuan seseorang memiliki heroin 15 gram atau lebih, orang itu dihukum gantung. Sejak ditetapkan Undang-Undang Narkotika, 1975, Singapura sudah menggantung 44 penyelundup narkotik. Tahun lalu, 13 orang (sembilan di antaranya orang asing) divonis mati di tiang gantungan akibat heroin. Dan benarkah Indonesia sudah ditusuk begitu dalam, atau obat- obat itu hanya menumpang lewat di negeri kita? Dari bulan Agustus-Desember tahun lalu, pabean menghadang lebih dari 40 kg heroin di Jakarta dan Bali. Juga seorang Jepang dijaring karena membawa 8 kg hasis dari Bangkok, akhir tahun lalu. Awal tahun ini, seorang warga Brasil ditangkap di Denpasar gara-gara 4,35 kg heroin dalam papan selancarnya. Semua angka itu belum termasuk kokain atau kanabis (ganja) yang juga ditangguk, dan belum terhitung yang luput. Di bagian kedua, selain Jakarta, betulkah Bali menjadi pilihan empuk untuk transaksi nakotik? Dan di bagian ketiga diungkap suasana sekarang di kawasan Segi Tiga Emas (heroinnya yang 100% murni memakai label kelinci kembar) berikut jaringannya, ditulis oleh Yuli Ismartono -- yang pernah bertemu dengan raja opium Khun Sa di Segi Tiga Emas. Di bagian keempat, tentang gambaran hura-hura di kalangan jetset di Jakarta. Juga dilengkapi dua boks, mengenai asal-usul heroin, kokain, dan sebuah lagi mengenai riwayat ganja di Aceh.Zakaria M. Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini