KISAHNYA bak adegan film seri Mission Impossible. Pemeran utama adalah Nay Win, pemuda pengangguran 23 tahun asal Yangoon, Myanmar. Di sebuah kafe di satu pojok Kota Bangkok, ia bertemu dengan seseorang bernama Delik -- nama Thai yang tak lazim -- yang kemudian memberinya nomor telepon genggam. Selang beberapa hari, Nay Win mengontak Delik. Instruksi pun mulai berjalan: Nay Win ditunggu di Golden Hotel. Perjanjian itu ditepatinya. Instruksi kedua pun diterima Nay Win di Golden Hotel Bangkok: ia harus terbang ke Jakarta. Maka, akhir September tahun lalu, Nay Win berangkat ke Jakarta dengan menumpang pesawat Thai Airlines. Sebelum bertolak, di Bandara Don Muang, pemuda Myanmar yang hidup di apartemen kumuh di kawasan Ramkham Haeng di selatan Bangkok ini diberi sebuah tas pakaian hitam. Menurut Nay Win, tas itu sudah penuh dengan pakaian, jadi pakaian miliknya dijejalkan saja sekenanya. Selain tas, tiga buah foto lelaki berwajah Afrika dan seorang berwajah Eropa, yang akan menerima tas hitam Nay Win di Jakarta, diterima Nay Win. Ia juga dipesan agar menginap di sebuah hotel di kawasan Petamburan, Jakarta. Mendaratlah Nay Win di Bandara Soekarno-Hatta. Pos pemeriksaan paspor dilaluinya. Setelah tas hitamnya muncul di ban berjalan, anak muda ini menukarkan US$ 100 dengan uang rupiah. Dengan troli, Nay Win bergerak ke tempat pemeriksaan barang. Menurut kesaksian petugas bandara, anak muda yang tak lancar berbahasa Inggris itu tampak gelisah. "Ia menengok ke kanan dan kiri, pandangannya kosong, jadi kelihatan mencurigakan," ujar seorang petugas duane. Nay Win pun diawasi lebih cermat. Ia digiring menuju jalur merah, jalur untuk penumpang yang harus memberitahukan bawaannya. Tas hitamnya dibuka, semua pakaian Nay Win yang lecek dikeluarkan. Anehnya, ketika dasar tasnya diraba petugas bea cukai, terasa keras dan menonjol. Walau isinya dikosongkan, tas hitam itu tetap berat ketika dijinjing. Nay Win lalu digiring ke Posko Bea Cukai di bandara. Dasar tas hitam itu lantas dirobek, terdapat lapisan kertas cokelat muda yang menutupi empat bungkus bubuk putih seberat 9,25 kilogram. Apa isinya? Heroin dan opium. Kalau saja heroin yang dibawa Nay Win itu kelas wahid, di pasar gelap harganya sekilo bisa mencapai US$ 1 juta alias Rp 2 miliar lebih. Urusan risiko tinggi ini taruhannya terbatas: mati, penjara, atau kaya raya. Mission impossible Nay Win pun berakhir di balik jeruji besi. Pekan ini, Pengadilan Negeri Tangerang akan menjatuhkan vonis untuk anak Yangoon itu. Paling enteng ia kena 20 tahun penjara dan denda jutaan rupiah. Yang sudah duluan menginap gratis di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang adalah Ma Shaw Kin, gadis Myanmar 23 tahun yang kena 20 tahun penjara. Shaw Kin mendarat di Soekarno-Hatta sebulan lebih dulu dari Nay Win dengan 6,9 kg heroin. Tampaknya, Kin dan Win adalah kurir dari bos yang sama di Bangkok. Kurir yang lain yang kini sudah ditangkap adalah Prem Kumar Ray, lelaki 24 tahun kebangsaan Nepal yang berpaspor Hong Kong. Ia ditangkap di Cengkareng, pertengahan September 1993, hanya satu minggu setelah Shaw Kin ditangkap. Prem membawa lebih dari 11 kg heroin. Vonis untuk Prem juga akan diketuk pekan ini di Pengadilan Negeri Tangerang. Serbuk putih agaknya sedang bertabur deras ke selatan. Dari kawasan Segi Tiga Emas (Myanmar-Thailand-Laos), bubuk putih mengucur ke Jakarta atau Bali untuk kemudian dikirim entah ke mana (atau dijual di sini). Dan Nay Win, Shaw Kim, atau Prem Kumar hanyalah tangan-tangan kecil dari gurita bisnis narkotik yang punya jaring-jaring di berbagai negara, termasuk Indonesia. Memang agak susah mengukur besar urat nadi lalu lintas narkotik ini. Tapi, dari hasil tangkapan aparat pabean, barangkali bisa diraba aktivitas bisnis gelap emas putih ini. Tahun 1991, kasus paling mencolok adalah ditangkapnya Kamjai Kong Thavorn oleh Bea Cukai Samarinda. Orang Thai itu, kini 37 tahun, membawa 18 kilogram heroin dengan kapal laut berbendera Thailand. Dan tahun lalu Indonesia bagai diserbu para "pasukan" narkotik. Dari bulan Agustus sampai Desember tahun lalu, pabean sudah menghadang lebih dari 40 kilogram heroin di Jakarta dan Bali. Ada juga Peter Bauer dari Jerman dan Nobuyo Nikaido dari Jepang yang dijaring karena membawa 8 kg hasis dari Bangkok, akhir tahun lalu. Awal tahun ini, seorang warga Brasil ditangkap di Denpasar gara-gara 4,35 kg heroin yang dikemas rapi dalam papan selancarnya. Semua angka itu belum termasuk kokain atau kanabis yang juga sering masuk jerat bea cukai. Dan tentu saja belum terhitung yang lolos dari jaring pabean di sini. Alhasil, tak disangsikan lagi, Indonesia kini seperti berada dalam sasaran bidik jaringan narkotik, entah sebagai tempat transit atau sebagai pasar baru di Asia Tenggara. Para pedagang bubuk putih seperti berlomba masuk ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia (lihat tabel). Simak saja info gawat yang dilayangkan kedutaan RI di Bangkok. Seperti disebutkan dalam Warta Bea Cukai, Desember 1993, info itu tentang rencana sindikat narkotik untuk mengirim 200 kilogram heroin ke Amerika melalui Indonesia. Ternyata ini bukan info ompong. September 1993, pabean di Don Muang meringkus dua (calon) penyelundup yang akan membawa 11,7 kg heroin ke Jakarta. Pada hari yang sama, di sebuah losmen murah di Bangkok, tiga kurir juga dibekuk karena kedapatan membawa 11,4 kg heroin yang sudah dikemas rapi. Bubuk fly itu jelas akan diterbangkan ke Jakarta, karena polisi Bangkok menemukan tiket pesawat Garuda dengan tujuan Jakarta. Pihak Amerika Serikat juga ketar-ketir dengan rencana masuknya 200 kg heroin tadi. Sebagai langkah penangkal, agen- agen DEA (Drug Enforcement Administration, biro khusus narkotik AS) sudah turun ke Bangkok dan Jakarta. Akhir tahun lalu, misalnya, seorang agen DEA yang menguntit seorang kurir dari Bangkok akhirnya berhasil menyita tiga kilogram heroin di salah satu hotel di Jakarta. Artinya, sang kurir bisa lolos dari pabean Jakarta. Betapa Jakarta sering digerayangi barang jahanam itu agaknya bukan cerita baru. Pabean Singapura, contohnya, September lalu menangkap seorang warga Kenya yang terbang dari Cengkareng dengan membawa 10,2 kg heroin yang diselundupkan dalam tabung televisi. Bulan itu juga pabean Sydney, Australia, menjaring lebih dari 100 kondom berisi hampir sekilo heroin yang dibawa seorang warga Singapura dari Jakarta. Dirjen Bea Cukai Soehardjo mengakui, pintu masuk narkotik di sini adalah Jakarta dan Bali. Upaya mencegahnya, katanya, sudah bermacam ragam. Antara lain, melengkapi aparat pabean dengan peralatan scanner di berbagai bandara. Di samping itu, bersama negara Asia Pasifik lain, ada kerja sama tukar-menukar informasi. Toh Soehardjo menghadapi dilema kalau turis yang masuk harus diperiksa ketat. "Jangan-jangan mereka nanti lari," katanya. Yang juga menyulitkan, semua penyelundup yang ditangkap di sini tergolong pion yang dikorbankan untuk imbalan upah sekian ribu dolar oleh para bos narkotik di Segi Tiga Emas atau di kawasan yang disebut Bulan Sabit Emas (Pakistan-Afganistan- Iran). Barangkali dia bernama Khun Sa atau jawara lain (lihat Memburu Biang Narkotik, Mencari Ganti Khun Sa). Dan ketika si pion ditangkap, kaki tangan bos narkotik di sini pun raib entah di mana. Sumber TEMPO menjelaskan, bila urusannya menyangkut heroin, morfin, kokain, atau hasis, bisa dipastikan lokasi produksinya bukan di dalam negeri. "Jaringan ini melibatkan sindikat internasional," kata sumber TEMPO lagi. Arus bubuk putih yang masuk (dan ada yang terjerat) di Jakarta itu, kata sumber ini, adalah bubuk putih yang sedang dalam perjalanan Bangkok-Australia. "Jakarta kebanyakan hanya dipakai untuk transit," katanya. Namun, kalau bicara Bali, sumber TEMPO ini mensinyalir bahwa pulau yang sarat turis itu sudah berubah menjadi pasar potensial. Mengapa Jakarta hanya tempat transit? "Karena heroin dan sejenisnya itu harganya mahal sekali. Pemakai di Jakarta yang ingin bergaya daripada sekadar mengisap ganja lari ke obat- obatan, termasuk Ecstasy yang lagi ngetop itu," kata sumber TEMPO lagi. Kaki-kaki jaringan pemasaran obat perangsang (punya efek stimulasi) dari jenis amfetamin ini rupanya sudah pula menjerat Jakarta -- kendati Ecstasy alias Adam alias Inex tak diproduksi di sini. Dengar saja cerita Wati (bukan nama sebenarnya), yang baru setahun menjadi agen pemasaran Ecstasy alias XTC. Dia seorang mahasiswi di Ibu Kota. Awalnya, sejak sekolah lanjutan pertama, Wati membantu pembukuan seorang sahabat wanitanya yang berdagang obat-obat legal. Tapi, ada sebuah obat yang membuatnya curiga, antara lain karena sang teman sering dipergokinya ikut menelan pil itu. Dalam sebulan, obat laris ini bisa terjual 500-1.000 butir. Datangnya sang obat dari Italia, Belanda, atau Singapura. Konon, ada kode etik yang tak bisa dilanggar: tak boleh main serobot langganan orang. Satu lagi yang penting, si pengedar pantang merangkap sebagai pemakai, karena bisa-bisa akan mengacaukan pasarnya sendiri. Rupanya, soal tak memakai sendiri itu dilanggar sahabat Wati. "Dia jual sedikit, malah pakai banyak. Nggak tahu buat apa. Biar nggak ada pesta, dia suka pasang kaset, lalu ajojing sendiri," kata gadis lajang ini. Akibatnya, teman Wati tadi menunggak setoran sampai Rp 100 juta. Maka, bertandanglah ke Jakarta, bos XTC dari sebuah negara Eropa Barat. Pada suatu hari di sebuah disko di Jakarta Pusat, sang bos minta Wati yang meneruskan bisnis gelap itu di Jakarta, menggantikan sahabatnya. Bisnis adalah bisnis. Wati tak menampik. Sebagai percobaan, dia diberi 100 butir. "Mula- mula sih bingung, mau dijual ke mana. Tapi gue kan banyak punya teman bule di disko-disko. Eh, jalan bagus, tuh," katanya sembari tertawa. Maka, pelanggan bule yang tak suka membeli secara ketengan -- karena resiko tertangkap lebih besar -- lebih suka membeli sekaligus 100 hingga 200 butir. Padahal, harga pil yang suka digunakan di diskotek itu Rp 75.000 hingga Rp 200.000 sebutir. Untungnya? "Lumayah, deh, buat jalan-jalan ke luar negeri," kata cewek yang ke mana-mana bermobil ini. Tapi ada biaya lobi. Sekali nangkring di disko atau pub untuk menggelar dagangan, dia bisa keluar duit sampai Rp 200.000 semalam. Ibarat pemeo: mau ikan gede, umpan juga harus gede. Si gadis akhirnya mampu menjual 500 sampai 1.000 butir sebulan. Kalau yang laku pil paling murah, yaitu Rp 75.000, itu artinya gadis ini mengumpulkan Rp 37,5 juta sampai Rp 75 juta sebulan. Maka, tak heran kalau dia menduduki peringkat diamond (berlian) dalam pemasaran "produk" itu. Di bawah diamond adalah peringkat senior dan junior. Mencapai tingkat diamond berarti harus pula lihai mengatur strategi. Dan Wati pantang menjual langsung. "Kadang-kadang gue lapis sampai tiga orang, supaya nggak ketahuan gue yang jual," ujarnya. Dan si pemesan harus menunggu tiga atau empat jam sebelum pesanannya datang. Wati mengaku tak bersentuhan dengan heroin atau kokain. "Kalau kokain, itu sudah Columbian connection yang bicara," katanya menyebut asal-muasal kokain, yang memang banyak bersumber dari Kolombia. Konon, di Bali (lihat Duyung Lenyap, Obat Setan Merayap) harga satu gram kokain kelas empat saja mencapai Rp 160.000. Bayangkan harga yang kelas wahid. Jakarta dan Bali bisa saja hanya dipakai sebagai tempat transit jalur narkotik internasional. Toh bukan berarti tak ada jalur pemasaran yang bocor di sini. Agaknya, berbagai jenis obat dan serbuk pengantar fly itu kini berada di sekitar kita dalam jumlah kian banyak. Tak heran kalau riset Dinas Penelitian dan Pengembangan Polri belum lama ini memastikan, di seluruh Indonesia kini ada 200 ribu pemakai narkotik. Dan 70 persen di antaranya adalah pelajar sekolah lanjutan pertama sampai mahasiswa. TB ---------------------------------------------------------- Jumlah narkotik yang disita di kawasan Asia Pasifik . dalam kilogram ---------------------------------------------------------- . 1991 1992 1993* Heroin 1.098 2.286 993 Opium 1.323 2.721 1.081 Cannabis 86.916 68.138 94.091 Kokain 93 228 101 Methamphetamine 316 212 61 Methaqualone 3.163 6.317 4.163 Lain-lain 28 100 5 ----------------------------------------------------------* 6 bulan Toriq Hadad, Taufik Alwie, Ivan Haris (Jakarta), dan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini