Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad di hadapan Komisi APBN DPR RI (akhir November lalu) menjelaskan, Pemerintah berniat menyempurnakan semua undang-undang perpajakan. Di antaranya, untuk pajak penghasilan, cara pemungutannya akan diperluas. Misalnya pemungutan pajak pendahuluan (withholding tax). Di sini, yang akan dipungut adalah pajak atas transaksi sebagai pembayaran pajak pendahuluan. Umpamanya terhadap orang-orang yang melakukan jual beli saham, jual beli tanah, dan jual beli mobil. Untuk transaksi itu akan dipungut pajak, misalnya, 2% atas nilai transaksi. Itu dengan anggapan si penjual barang tersebut mendapat keuntungan. Maka, pembayaran yang 2% tersebut diperhitungkan nantinya dalam SPT pajak penghasilannya pada akhir tahun pajak. Dulu, sebelum tax reform tahun 1983, sudah ada cara pemungutan seperti ini. Itu disebut MPO (menghitung pajak orang). Sistem MPO dihapus setelah berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1983. Alasan utama penghapusannya, instansi pajak sudah tidak mampu melakukan kontrol terhadap para pemungut pajak, yakni mereka yang telah ditunjuk untuk memungutnya (misalnya si pembeli barang, notaris, dan makelar). Disinyalir, hasil pungutan MPO tersebut banyak yang tidak disetor oleh si pemungut ke kas negara, alias uangnya dipakai sendiri. Nah, bila sekarang hal itu mau dihidupkan lagi, apakah instansi pajak sudah mampu mengontrol dengan baik? Soalnya, mengurus pajak pertambahan nilai saja tidak beres. Maksudnya, masih banyak terjadi manipulasi dengan pembuatan faktur pajak palsu atau fiktif. Jika hal tersebut diajukan Pemerintah kepada DPR, sebaiknya DPR mengkaji hal tersebut dengan teliti, sehingga tidak merugikan masyarakat. DPR jangan hanya menuruti kemauan Pemerintah demi meningkatkan penerimaan pajak -- padahal masih banyak terjadi kebocoran dan manipulasi. Selain itu, sifat MPO atau withholding tax tersebut sama dengan pungutan pajak tidak langsung, atau merupakan pajak tidak langsung terselubung. Sebab, dipungut atas transaksi barang dan jasa. Sementara itu, beban pajak tidak langsung di Indonesia ini sudah amat berat: 60% dari pendapatan pajak APBN. Sedangkan beban pajak pertambahan nilai di Indonesia yang harus dipikul oleh konsumen barang dan jasa termasuk yang tertinggi di dunia, yakni kurang lebih 20% dari harga barang. Itu semua bertentangan dengan ketentuan GBHN 1993-1998 (bidang keuangan/perpajakan) -- di situ dikatakan bahwa peranan pajak tidak langsung harus lebih rendah daripada pajak langsung, dan prosedur pemungutannya disederhanakan. Sekali lagi, DPR harus hati-hati membahas withholding tax atas transaksi barang dan jasa, sebagai perluasan objek pajak penghasilan. Direktorat Jenderal Pajak janganlah mencari jalan yang mudah untuk memungut pajak -- itu hanya akan menguntungkan pihak lain yang dibebani kewajiban memungut pajak. Sebaiknya, bekerjalah sendiri secara operasional, aktif, dan intensif. Jangan hanya duduk di belakang meja sambil mengharapkan uang pajak masuk sendiri.SUHARSONO HADIKUSUMOJalan Pejuangan 2 RT 08/10 Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini