Boleh dikatakan, demonstrasi di Jakarta yang menuntut dihapuskannya SDSB, menjelang tutup tahun 1993, adalah demonstrasi yang terbesar (TEMPO, 15 Januari, Laporan Utama). Semuanya sarat bermuatan simbol agama -- karena jargon yang dipakai untuk menggugat keberadaan SDSB adalah jargon agama, terutama wilayah halal dan haram. Tuntutan mereka tidak sia- sia. SDSB, akhirnya, resmi dicabut peredarannya oleh Pemerintah. Banyak orang mensinyalir, citra Pemerintah akan rusak jika tidak melarang SDSB -- karena membela yang diharamkan agama. Ini sensitif, dan Pemerintah juga bersikap arif tanpa harus kehilangan wibawa. Ternyata, dalih agama mempunyai daya paksa yang perkasa dan memberi bobot bagi suatu tuntutan. Lalu, mengapa kasus dibunuhnya Marsinah, aktivis buruh PT Catur Putra Surya, Sidoarjo, Jawa Timur, tidak sampai memicu demonstrasi besar? Dengan memakai analogi sederhana saja, tanpa harus merujuk kitab suci suatu agama, pengingkaran hak buruh oleh majikan pasti haram juga. Apalagi, pengingkaran itu disertai pembunuhan superkejam. Di sini saya tak bermaksud meremehkan dampak negatif SDSB. Itu sudah jelas. Memang ada demonstrasi yang bersimpati kepada Marsinah, dilakukan oleh mahasiswa dan aktivis LSM, seperti yang digelar di Yogyakarta dan Surabaya. Tapi, yang pasti, itu tidak disemangati oleh legitimasi agama, misalnya fatwa ulama. Ternyata, rasa kemanusiaan yang simpel lebih peka dalam merespons kasus dibunuhnya Marsinah. Seolah-olah kasus Marsinah bukan wilayah (domain) jargon dan simbol keagamaan. Tidak ada ulama yang ikut-ikutan kebakaran jenggot. Juga, tidak ada doa (demonstrasi "sejuk", meminjam istilah TEMPO) oleh seorang ulama pun di depan DPR untuk Marsinah. Pokoknya, dalih halal dan haram bukan untuk membela nasib kaum Marsinah. Ada argumentasi lain yang memojokkan kaum Marsinah. Yakni, kasus ini dirasa tidak punya bobot politik yang menasional. Dia tidak mewakili kelompok elite yang disebut kaum kelas menengah dan kelas atas, apalagi pressure group. Meskipun kaum Marsinah ini jumlahnya tidak sedikit, mereka tidak bisa membawa bendera mayoritasnya. Mereka ini bukan tenaga terampil sebagaimana halnya para M.B.A., insinyur, dokter, akuntan, dan sebagainya walau pada hakikatnya sama-sama digaji oleh pengusaha. Apakah argumentasi tersebut merupakan dalih membela diri kaum majikan demi menutupi ketidakmauannya menyelenggarakan pelatihan dan kursus untuk meningkatkan keterampilan kaum Marsinah? Saya percaya bahwa organisasi intelektual ICMI, misalnya, yang sedang trendi dan sedang membangun citranya yang strategis, pasti mempunyai agenda makro dan mikro untuk mengangkat kaum Marsinah. Apalagi ikatan yang satu ini diketuai seorang menteri senior yang punya obsesi besar menjadikan Indonesia sebagai negara maju menyongsong abad ke-21. Sayangnya, akhir-akhir ini tema yang menonjol dari pembicaraan beberapa tokohnya sering berkisar pada pembagian kekuasaan yang dihubungkan dengan suksesi kepemimpinan nasional nantinya.AMIR SANTOSA DEWANAJalan Rasamala I/47A Menteng Dalam Jakarta 12870
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini