Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar tentang putusan Pengadilan Perikanan Kota Ambon itu membuat merah telinga Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Senin pekan lalu, pengadilan menjatuhkan hukuman denda Rp 200 juta kepada nakhoda kapal MV Hai Fa, Zhu Nian Lee. Padahal Susi hakulyakin kapal berbendera Panama itu menjadi bagian dari komplotan pencuri ikan di laut Indonesia. "Semestinya MV Hai Fa ditenggelamkan atau disita untuk negara," kata Susi, Kamis pekan lalu.
MV Hai Fa tertangkap di Wanam, Papua, pada akhir Desember 2014. Kapal pengangkut milik PT Antarticha Segara Lines itu berlayar dari Pelabuhan Avona, Kaimana, tanpa surat laik operasi (SLO). Kapal raksasa berbobot 4.306 gross ton itu pun tak menyalakan sistem pengawas kapal atau vessel monitoring system (VMS). Selama VMS mati, keberadaan kapal tak terdeteksi satelit pengawas. Sewaktu ditangkap, kapal itu memuat sekitar 900 ton ikan dan udang, termasuk 15 ton hiu martil, yang terlarang diperdagangkan.
Sejak dilantik Oktober tahun lalu, Menteri Susi langsung tancap gas memberantas pencurian ikan oleh kapal asing berkedok kapal lokal. Kementerian Kelautan menghentikan sementara pemberian izin menangkap ikan untuk semua kapal buatan luar negeri. Kapal yang nekat beroperasi ditangkap, beberapa di antaranya ditenggelamkan tanpa melalui proses peradilan.
Pasal 69 Undang-Undang Perikanan memang menyebutkan penyidik atau pengawas perikanan bisa menenggelamkan kapal asing yang melanggar hanya berdasarkan bukti permulaan yang dianggap cukup. Sejak proyek pemberantasan pencurian ikan itu diberlakukan pertengahan tahun lalu, 46 kapal ditangkap. Sebelas kapal di antaranya ditenggelamkan, yakni empat kapal berasal dari Thailand, tiga dari Filipina, tiga dari Vietnam, dan satu dari Malaysia.
Meski sama-sama ditangkap, nasib MV Hai Fa tak diputuskan di laut. Di "darat", di meja hijau, kapal itu ternyata lebih beruntung. Ketua majelis hakim Pengadilan Perikanan Negeri Ambon, Ambi Mathius, hanya menyatakan Zhu Nian Lee, sang nakhoda, bersalah karena mengangkut hiu martil. Hai Fa pun lolos dari ancaman penenggelaman. "Kalau ditarik ke darat dan diproses di pengadilan, ya, jatuhnya seperti ini," ucap Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo, pekan lalu.
DUGAAN praktek ekspor ikan ilegal oleh MV Hai Fa sudah lama terendus. Kepada Tempo, bekas anak buah kapal milik Dwikarya mengaku beberapa kali menyaksikan pemindahan muatan atau transshipment dari kapal tangkap ke MV Hai Fa di tengah laut. Pada pertengahan September tahun lalu, lelaki itu bahkan sempat naik MV Hai Fa setelah kapal tersebut melakukan transshipment ilegal di Avona sebelum melanjutkan perjalanan ke Wanam. "Belasan kapal tangkap ikan bergiliran memindahkan muatan ke MV Hai Fa," ujarnya.
Pemindahan muatan itu, si anak buah kapal melanjutkan cerita, berlangsung sekitar 24 jam. Meski begitu, belum seluruh palka ikan kapal Hai Fa terisi penuh. "Saya sempat tidur di palka ikan kosong itu," dia mengenang. Sesampai di Wanam, Hai Fa kembali dihampiri belasan kapal penangkap ikan yang memindahkan muatannya. Tindakan ilegal itu berlangsung 2-3 kilometer dari pelabuhan. "Saya yakin petugas di pelabuhan tahu, tapi mereka diam saja," katanya.
Penelusuran Tempo menemukan sejumlah indikasi yang mengarah pada dugaan persekongkolan PT Antarticha sebagai pemilik kapal MV Hai Fa, PT Avona Mina Lestari sebagai pemilik ikan, dan PT Dwikarya Reksa Abadi. Ketiga perusahaan itu berkantor di tempat yang sama: APL Tower Central Park, lantai 32 unit T2, Jakarta Barat.
Direktur Utama Avona Mina Lestari, Sutarno Sugondo, mengakui ketiga perusahaan itu masih satu grup di bawah bendera Dwikarya. Di Wanam dan Avona, mereka memanfaatkan pangkalan perikanan bekas aset Grup Djajanti milik Burhan Uray.
Sekitar 110 kapal tangkap dan angkut ikan milik ketiga perusahaan itu beroperasi di laut bagian timur Indonesia. Rekam jejak kapal yang dioperasikan Avona dan Dwikarya pun terbilang buruk karena kerap melanggar aturan. Sebut saja kapal motor Satya Baruna. Menurut nota dinas Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, kapal berbobot mati 432 gross ton itu pernah berlayar tanpa SLO, mematikan VMS, dan menangkap ikan di luar fishing ground. Begitu pula KM Avona Samudera 2. Selama dua tahun terakhir, kapal angkut 498 gross ton itu tak pernah melaporkan hasil tangkapan ke pelabuhan.
Ketika kapal Hai Fa ditangkap, catatan ekspor mereka menyatakan sekitar 900 ton ikan dan udang di atas kapal itu akan dikirim ke Cina. Disebutkan bahwa perusahaan penerimanya adalah Fuzhou Hao You Li Fishery Development, yang beralamat di lantai 18 Zhongshan Building, Fuzhou, Cina. Namun, ketika Tempo mendatangi alamat itu pada pertengahan Februari lalu, di sana berkantor perusahaan lain, yakni Fujian Xing Gang Port Service Co Ltd. Penerima tamu dan petugas keamanan Zhongshan Building mengaku tak pernah mendengar nama Fuzhou Hao You Li. Ketika dimintai konfirmasi, Sutarno membantah anggapan bahwa perusahaan rekanan PT Dwikarya itu fiktif. Namun dia mengaku tak pernah tahu di mana kantor perusahaan Cina itu.
PUTUSAN ringan kasus MV Hai Fa sebenarnya bisa ditebak sejak awal. Penyidik dari Pangkalan Utama Angkatan Laut IX Ambon hanya mendakwa MV Hai Fa melakukan tiga pelanggaran: mematikan VMS, berlayar tanpa SLO, dan membawa muatan hiu martil. Jenis kesalahan MV Hai Fa pun rontok ketika jaksa Grace Siahaya dan Michael Gasperz membacakan tuntutan. Jaksa hanya menuntut hakim menghukum nakhoda kapal atas pelanggaran mengangkut hiu martil. Adapun dua dakwaan lain tak berlanjut sampai tuntutan karena dianggap lemah.
Ketua Tim Satuan Tugas Anti-Illegal Fishing Mas Achmad Santosa menyayangkan lemahnya dakwaan yang berujung pada ringannya putusan hakim. Menurut dia, pencurian ikan oleh kapal asing merupakan kejahatan besar yang mencoreng kedaulatan negara. "Pelaku semestinya dituntut seberat mungkin supaya ada efek gentar dan jera," ujar Ota-panggilan akrab Mas Achmad.
Menurut Ota, MV Hai Fa seharusnya dijerat dengan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pasal itu menyatakan tindakan mengeluarkan ikan ke luar wilayah Indonesia yang menyebabkan kerugian pada masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan lingkungan dipidana penjara paling lama enam tahun dan didenda paling banyak Rp 1,5 miliar. Bila pasal itu digunakan, menurut dia, perbuatan MV Hai Fa bisa dikategorikan kejahatan, bukan sekadar pelanggaran. "Penyidik pun akan punya wewenang menyeret korporasi pemilik kapal dan perusahaan pemilik ikan," kata Ota.
Juru bicara Kejaksaan Tinggi Maluku, Bobby Palapia, mengatakan pilihan jaksa hanya menuntut atas pelanggaran mengangkut hiu martil sudah sesuai dengan prosedur hukum. Jaksa tak bisa mengusut kasus kapal Hai Fa hingga tingkat korporasi lantaran berkas perkara yang dilimpahkan penyidik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut tak memungkinkan hal itu. "Apa yang dilimpahkan, itu yang kami teruskan ke pengadilan," ucap Ota.
Adapun pihak Pangkalan Utama Angkatan Laut IX Ambon enggan memberi tanggapan. Kepala Dinas Penerangan Pangkalan Utama Angkatan Laut IX Ambon Mayor Pelaut Eko Budimansyah beralasan tak mengetahui secara pasti proses penyidikan. "Saya tak bisa berkomentar. Takut salah," ujarnya.
Meski hakim sudah mengetuk palu, Menteri Susi belum mau lempar handuk. Di samping mengajukan permohonan banding, Kementerian Kelautan terus mengumpulkan bukti untuk kembali membawa Hai Fa ke meja hijau. "Kami akan mencari fakta baru," kata Susi.
Agung Sedayu, Agoeng Wijaya, Devy Ernis, Khairul Anam (jakarta), Budhy Nurgianto (ambon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo