Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Golden venture kandas di new york

Empat kapal dengan awak indonesia ditangkap di as, mencoba menyelundupkan imigran dari rrc. siapa kin sin lee dan mister wong? wawancara tempo dengan nakhoda amir h. lumban tobing.

19 Juni 1993 | 00.00 WIB

Golden venture kandas di new york
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
"SAYA baik-baik saja dalam penjara. Hanya pinggang saya yang masih sakit,'' kata Amir Humuntal Lumban Tobing, 45 tahun, kepada TEMPO, Ahad pekan lalu. Nakhoda Golden Venture ini sudah sepekan tidur di penjara Kota New York. Amir dituduh menyelundupkan hampir 300 pendatang gelap dari Cina Daratan (RRC) ke Amerika Serikat. Mungkin ia juga didakwa lalai bertugas sebagai nakhoda, sehingga menewaskan enam penumpang kapalnya pada 6 Juni silam. Bermula ketika sekitar 200 penduduk asal Fujian (RRC) itu terjun dari kapal Golden Venture ke laut. Waktu itu ombak besar menghantam dinding kapal. Dalam suhu dingin sekitar 12 derajat Celcius, mereka mencoba berenang sejauh 200 meter ke pantai, sejak pukul 2 subuh. Namun, empat di antara mereka hanyut dibawa arus. Tewas. Sedangkan dua orang lagi yang terjun ke laut itu meninggal karena serangan jantung, kendati sempat diselamatkan dan dirawat di rumah sakit. Korban mungkin akan lebih banyak seandainya polisi tidak memergoki mereka pada pukul 3 pagi itu. Dua ratus lima puluh polisi yang dilengkapi 4 helikopter dan 53 ambulans serta di- bantu petugas pemadam kebakaran datang menolong para perenang dari kapal yang kandas itu. Sekitar 29 perenang yang nekat tadi harus mendekam di rumah sakit karena kecapakan dan menderita hipotermia. Sedangkan 295 lainnya, termasuk 100 orang yang bertahan di kapal, seperti Amir Lumban Tobing, sempat mengalami perawatan ringan di rumah sakit. Maklum, Golden Venture sudah berlayar 112 hari sebelum tiba di AS. Mereka yang sudah keluar dari rumah sakit segera pula masuk kerangkeng. Pihak imigrasi AS menyatakan akan menahan mereka sampai proses pengadilan selesai. Mungkin mereka akan ditahan berbulan-bulan, atau lebih dari setahun. ''Perlakuan terhadap bekas penumpang Golden Venture itu akan menjadi pelajaran bagi yang ingin mengikuti jejak mereka ke AS,'' kata Duke Austin, juru bicara kantor imigrasi AS. ''Jika kami melepaskan mereka untuk bekerja, itu berarti memberi apa yang mereka inginkan, jadi berarti kami mendukung elemen kriminal yang ada di dalamnya,'' tambah Austin. Ternyata, kebijaksanaan imigrasi AS kini sudah berubah 180 derajat. Sejak pemerintahan Presiden Reagan, pendatang gelap dari Cina yang minta suaka politik biasanya diberi surat izin bekerja sementara, selama permohonannya diproses. Lazimnya, imigran Cina minta suaka politik dengan alasan tertekan beleid pemerintah RRC yang hanya membolehkan satu anak dalam keluarganya. Celah hukum ini rupanya dimanfaatkan sejak tahun 1980-an. Arus pendatang gelap Cina ke AS mulai menggelombang. Minat besar mereka berimigrasi ke Meiguo sebutan penduduk Cina terhadap AS, yang berarti negeri nan indah menerbitkan peluang bisnis. Penyelundup profesional mulai menjamur, termasuk memanfaatkan paspor Indonesia yang dibeli dari Sofiandi, Kepala Kantor Imigrasi di Tanjungbalai, Sumatera Utara (TEMPO, 9 November 1985). Penyelundupan imigran ini muncul pula di Hawaii dan Meksiko. Celah hukum ini juga dimanfaatkan oleh Sheik Omar, yang diisukan terlibat dalam peristiwa pengeboman World Trade Center, sehingga wakil rakyat AS mendesak untuk meninjau kembali kebijaksanaan ini. Bahkan di New York pendatang gelap dari Indonesia pun mulai mencoba jurus ini. Menurut sebuah sumber, setidaknya 15 warga Indonesia minta suaka politik di kota tersebut. Tindakan itu menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia di New York, yang legal maupun yang bukan, tersinggung. Seorang di antaranya bahkan melaporkannya dengan mengirim surat ke Kotak Pos 5000 di Jakarta. Tidak jelas bagaimana kelanjutan laporan itu karena pengacara para pemohon suaka ini menolak memberikan keterangan. ''Peng- acara itu meminta bayaran US$ 800 untuk mengurus soal ini,'' kata sumber di Konsulat Jenderal RI di New York. Ada sebabnya kegiatan pendatang gelap dari RRC banyak diperhatikan. Kegiatan menyelundupkan manusia ini semakin gila sejak meletusnya peristiwa Tiananmen, 1989, hingga Presiden Bush mengeluarkan instruksi memberikan suaka politik bagi warga RRC terutama mahasiswa yang khawatir akan mengalami tekanan pemerintahnya. Dalam catatan International Institute for Education, lembaga swasta yang aktif mengamati mahasiswa asing di AS, 110.000 dari 180.000 mahasiswa RRC mengambil suaka. Rupanya, penyelundupan yang semula dilakukan dalam skala kecil-kecilan itu karena keterbatasan transportasi udara mulai beralih memanfaatkan jalur laut. Tapi, sejak tahun 1991, pihak keamanan AS hanya berhasil menangkap 20 imigran gelap Cina di laut. Tahun ini, kepolisian New York memperkirakan arus pendatang haram dari Fujian ke New York saja mencapai 2.500 hingga 3.000 orang sebulan, dan sudah 2.000 yang tertangkap di laut. Sebagian dari kapal yang ditangkap itu ternyata diawaki bahkan dinakhodai oleh pelaut Indonesia. Golden Venture adalah kapal keempat sejak tahun lalu yang masuk kategori menyelundupkan manusia. Yang pertama adalah kapal Lucky 1 yang ditangkap pihak keamanan laut AS, 19 Juni tahun lalu, di California. Nakhoda- nya, Supriyadi Sugiyono, mengaku dikudeta penumpangnya ketika menunggu perahu yang menjanjikan akan menjemput 119 penumpang pendatang haram di lepas pantai tapi ternyata tak muncul- muncul. Supriyadi Sugiyono kini masih menjalani hukuman penjara 14 bulan di Texas. Tujuh anak buahnya sudah bebas setelah menjalani hukuman 8 hingga 10 bulan. Sedangkan delapan anak buahnya dideportasi. Enam bulan kemudian, kapal Manyoshi Maru membuat berita di San Francisco. Sebanyak 180 imigran RRC di dalamnya menguasai kapal dari awak berkebangsaan Indonesia yang dinakhodai Abner Sammy Mandak itu, lalu minta pertolongan melalui pemancar radio. Kapal patroli AS menangkap kapal ini tidak jauh dari jembatan Golden Gate yang terkenal itu. Mandak kini sedang menunggu vonis pengadilan. ''Kami perkirakan sekitar 15 bulan potong tahanan,'' kata Renywati Zulkarnaen, kepala bagian konsuler di Konsulat Jenderal RI di San Francisco yang menangani masalah ini. Adapun delapan awak Indonesia lainnya dihukum penjara 4 hingga 6 bulan potong masa tahanan. ''Mereka sudah menjalani hukuman itu dan sudah dideportasi,'' kata Renywati. Hukuman penjara itu tampaknya tidak meciutkan nyali pelaut Indonesia. Awal Maret lalu, petugas keamanan di Kepulauan Marshall menangkap kapal Eastwood, yang dipenuhi hampir 500 pendatang haram Cina di lepas pantai. Kapal ini juga diawaki pelaut Indonesia. ''Sembilan awaknya semua langsung dideportasi,'' kata Santoso, Kepala Bidang Konsuler Konsulat Jenderal RI di Los Angeles. Faktor yang membuat para pelaut Indonesia cukup nekat itu tampaknya berpulang ke soal rezeki juga. ''Saya dijanjikan gaji US$ 2.000 sebulan ditambah bonus US$ 40.000,'' tutur Amir Lumban Tobing (lihat Dijadikan Kambing Hitam). US$ 15.000 di antaranya sudah dibayar, tapi hampir US$ 4.000 di sakunya, menurut Amir, dirampok penumpangnya. Pada hari Amir ditangkap di AS, istrinya, Zahratun, pindah ke rumah baru di kompleks BTN di Palembang. Itulah hasil kiriman Amir, yang tiap bulan rajin mengirimkannya ke Palembang. Terakhir, ayah seorang putri yang duduk di kelas VI SD ini mengirim surat kepada istrinya, 5 Maret lalu, ketika di Singapura. ''Bapak rajin salat lima waktu dan selalu membayar zakat,'' tutur Zahratun kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Amir agaknya belum tentu nakhoda Indonesia terakhir yang akan terlibat penyelundupan imigran RRC ke AS. Pasarnya menggiurkan. Tiap imigran diperkirakan membayar US$ 25.000 hingga 30.000 un- tuk hijrah ke Meiguo. Peminatnya memang banyak. Amir sendiri mengatakan, ia menolak ratusan calon penumpang asal RRC di Afrika Selatan naik ke Golden Venture, karena sudah penuh. Tapi tim Kin Sin Lee menyiapkan perjalanan ini dengan rapi. Di setiap pemberhentian, Golden Venture sudah ditunggu ratusan imigran dalam kapal-kapal kecil. Selain itu, jaringan pengatur penyelundupan warga RRC ke AS ini tampaknya punya banyak kontak dengan Indonesia. Salah satu pemimpinnya disebut Mister Wong. Maka, timbul pertanyaan, apakah ini karya Mister Wong yang sama, yang membeli paspor dari Tanjungbalai tempo hari. Bambang Harymurti (Washington DC), Sudirman Said, Ahmed K. Soeriawidjaja (New York), dan Taufik T. Alwie (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus