PETANI kopi ini, Safdar, dingin saja melakonkan kembali caranya menghabisi Hamidah dan dua anaknya yang masih balita. Tak heran jika ribuan penduduk di Kota Takengon, Aceh Tengah, berduyun-duyun menyaksikan rekonstruksi pembunuhan itu, akhir Mei lalu. Mereka pun berteriak, ''Tembak pembunuh itu''. Polisi segera meredakan emosi massa yang menyemut itu di antaranya hadir juga Bupati, Komandan Distrik Militer, dan Kapolres Aceh Tengah. Kasus Safdar bukan hanya pembunuhan terhadap kemenakan dan cucunya. Selain kini mendekam di tahanan polisi, lelaki berusia 34 tahun ini juga dijatuhi hukuman adat. Ia dikucilkan dan diusir dari desa tersebut hingga ke anak dan cucunya. Penduduk di Desa Ratawali, dekat Kota Takengon, menyebut vonis adat dengan jeret naru (kubur panjang), yakni membuat ''kuburan pura-pura,'' sebagai simbol bahwa Safdar dianggap sudah tiada. Tradisi jeret naru ini dimaksudkan agar orang jera berbuat kejahatan. Tapi, jika tak ada korban jiwa, hanya didenda memotong ternak. Bermula ketika Abdullah, keponakan Safdar, dan keluarganya datang berkunjung, April lalu setelah 3 tahun kabur dari desa itu dan tinggal di Lhokseumawe. Melihat Abdullah, dendam Safdar menggelegak karena teringat kematian ayahnya, Aman Nirwati, 75 tahun. Kala itu, Desember 1991, Aman mengejar Abdullah yang kepergok mencuri emas 25 gram dan sejumlah barang Safdar. Karena sudah renta, Aman gagal meringkusnya. Napasnya tersengal-sengal. Ia meninggal karena kecapekan. Didorong kesumat inilah Safdar meminta istrinya, Halimah, 34 tahun, meramu racun hama kutu loncat ke dalam gulai. Maksudnya, untuk disajikan ke keluarga Abdullah. Ketika makan malam usai, anak-anak Abdullah pun meringis sembari memegang perut, sehingga muntah-mencret. Abdullah memboyong anaknya ke sumur. Di situlah Safdar memukul tengkuk Abdullah dengan batang kayu kopi. Sebelum lari, Abdullah sempat terjerembab. Kini giliran Hamidah yang hamil sembilan bulan itu dikejar Safdar. Batang kayu kopi tadi mendarat di tengkuknya hingga perempuan berusia 34 tahun ini terkapar. Pekik Halimah, istri Safdar, tak kuasa mencegah Safdar memarang leher Hamidah bertubi-tubi. Safdar juga membantai kedua anak Hamidah. Waktu itu, ia yakin ketiga korban tewas di tempat saat itu juga. Safdar lalu menyeret ketiga korban ke lubang kakus di sisi rumahnya. Ketiga insan tak berdosa itu disurukkannya ke lubang sedalam dua meter tersebut. Konon, tubuh seorang anak Hamidah masih menggeliat saat itu. Lubang penuh tinja itu ditutupnya dengan tiga helai papan, lalu ditimbunnya dengan tanah. Setelah itu, ia berniat lari dari desa tersebut. Bininya melarang. Perbuatan ini mungkin ikut tertimbun seandainya Abdullah malam itu tewas. Dalam keadaan lemas setelah muntah-mencret ia merangkak ke tepi jalan. Seorang penduduk yang menemukannya melapor ke kepala desa di situ. Mendengar cerita Abdullah, penduduk berduyun-duyun ke rumah Safdar. Meskipun Safdar berkilah bahwa Hamidah dan anak-anaknya telah pulang, ia dan istrinya ditangkap polisi. Besoknya, tiga mayat itu ditemukan. Kini Safdar hanya bisa menyesal. ''Berapa pun hukumannya, saya pasrah,'' katanya kepada Munawar Chalil dari TEMPO. Lulusan sekolah menengah ekonomi pertama ini juga sudah mendengar hukuman jeret naru. ''Kasihan lima anak saya yang masih kecil-kecil. Mau ke mana mereka pergi nanti?'' ujar Safdar. Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini