Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Habis Damai Tetap Tersangka

Meski telah membayar Rp 750 juta, dokter dan perawat di Gresik tetap menjadi tersangka. Akta perdamaian pun tak menggugurkan tuduhan malpraktek.

26 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI dokter Dicky Tampubolon dan Yanuar Syam, perdamaian tujuh bulan lalu masih jauh dari ujung perkara. Pekan pertama bulan depan, dua dokter Rumah Sakit Umum Daerah Ibnu Sina, Gresik, ini masih harus menghadiri sidang di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Sewaktu-waktu Kepolisian Resor Gresik pun bisa saja memanggil Dicky dan Yanuar, yang masih berstatus tersangka.

Di Majelis Kehormatan, Dicky dan Yanuar telah menjalani sidang disiplin pertama pada September lalu. "Karena tak ada pencabutan aduan, kami jalan terus," kata Wakil Ketua MKDKI Sabir Alwi di kantornya, Selasa pekan lalu. Bila kelak dianggap bersalah, izin praktek kedua dokter ini bisa saja dicabut.

Adapun status tersangka tetap menempel pada Dicky dan Yanuar sejak 6 April 2015. Polres Gresik menyelidiki kasus gagalnya operasi bocah penderita tumor, Gathfan Habibi, yang meninggal pada 14 Maret 2015. Tersangka lain dalam kasus ini adalah Masrikan, Fitos Widoyanto, Putra Bayu Herlangga, dan Achmad Zayadi. Yang terakhir merupakan Direktur Rumah Sakit Ibu Anak (RSIA) Pinatih, tempat Habibi menjalani operasi.

Polisi menjerat para tersangka dengan Pasal 359 dan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kedua pasal ini mengatur kelalaian yang menyebabkan kematian. Ancaman hukumannya lima tahun penjara.

* * * *

SEMUA keruwetan ini bermula ketika ayah Habibi, Pitono, meminta Yanuar mengoperasi anaknya pada 24 Desember 2014. Kala itu Habibi didiagnosis menderita tumor sebesar bola pingpong di kaki kirinya. Semula Yanuar menolak permintaan operasi itu karena di tempat prakteknya peralatan operasi terbilang minim.

Karena keluarga pasien terus merajuk, Yanuar akhirnya bersedia mengoperasi Habibi dengan dua syarat. Pertama, operasi dilakukan di RSIA Pinatih. Kedua, operasi melibatkan Dicky selaku dokter anestesi di RSUD Ibnu Sina.

Karena syarat itu diiyakan, Yanuar akhirnya mengoperasi Habibi pukul 14.00 pada 2 Januari 2015. Sebelum operasi, Habibi menjalani pemeriksaan kesehatan, penyuntikan obat penenang, dan pembiusan. Berjalan lancar, operasi selesai dalam satu jam. Yanuar melakukan operasi itu bersama asistennya, Masrikan.

Seusai operasi, Yanuar yang mengaku kelelahan menitipkan Habibi kepada Dicky dan perawat bernama Fitos untuk proses pemulihan. Namun Dicky pun tak terus-menerus menjaga Habibi. Ia bergantian dengan Fitos dan perawat lain bernama Bayu.

Fitos yang lebih dulu menjaga Habibi di ruang pemulihan. Ia mengobservasi tensi, denyut nadi, dan pernapasan pasien selama 15 menit. Setelah itu, giliran Bayu yang berjaga. Setelah memastikan pernapasan Habibi masih bagus, denyut nadinya kuat, dan permukaan tubuhnya hangat, Bayu meninggalkan Habibi. Segalanya berubah 15 menit kemudian.

Kembali ke ruang pemulihan sekitar pukul 15.30, Yanuar meraba tubuh Habibi yang mendingin. Denyut nadinya melemah. Tangannya pun membiru. Menyadari kondisi kritis Habibi, Yanuar melakukan terapi pijat jantung dan menyuntikkan Nalokson, yang biasa dipakai pada pasien yang salah konsumsi obat. Namun Habibi tetap tak sadar.

Keesokan harinya Habibi dibawa ke RSUD Ibnu Sina untuk menjalani perawatan intensif. Dua bulan kemudian, pada 14 Maret 2015, Habibi dinyatakan meninggal di ruang ICU RSUD Ibnu Sina. Berdasarkan diagnosis RSUD Ibnu Sina, Habibi mengalami kematian batang otak akibat kekurangan oksigen dalam darah. Hal itu diduga dipicu oleh alergi obat sewaktu pembiusan atau pemulihan.

Diagnosis RSUD Ibnu Sina senada dengan hasil visum jenazah oleh RSUD Soetomo, Surabaya. Habibi dinyatakan meninggal karena otak yang membubur. Selain itu, di bagian otak terdapat kelainan jaringan akibat gangguan aliran darah.

Pitono tak terima dengan kematian putranya. Ia mencurigai Yanuar dkk melakukan penanganan medis yang salah. "Saya yakin ada yang keliru," ujar Pitono, Rabu dua pekan lalu.

Dua pekan sebelum Habibi meninggal, Pitono melaporkan Dicky dan Yanuar ke Polres Gresik dan MKDKI. Menurut Pitono, sebelum mengadukan kasus anaknya, dia sempat lima kali bertemu dengan Yanuar dan kawan-kawan. Dalam mediasi itu, Pitono menegosiasikan ganti rugi atas kasus anaknya. "Dalam mediasi terakhir, dokter malah menantang. Saya serahkan saja ke pengacara," kata Pitono.

Dokter Dicky membenarkan adanya mediasi itu. Menurut dia, mediasi gagal antara lain karena keluarga Habibi meminta para dokter membayar ganti rugi sebesar Rp 2,5 miliar. "Gila enggak tuh? Ya sudah, kami minta diselesaikan secara hukum saja," ujar Dicky, Kamis dua pekan lalu.

Kejanggalan muncul ketika Dicky dan Yanuar ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan pada 6 April 2015. Menurut Dicky, penyidik Polres Gresik dan pengacara Pitono, Dewi Murniati, tiba-tiba mengajak mereka berdamai lagi. "Mereka meminta mediasi selesai sore itu. Jika tidak, kami diancam ditahan selama 20 hari," kata Dicky.

Ajakan untuk berdamai rupanya disampaikan kepada istri Dicky, istri Yanuar, dan Zayadi. Termasuk yang menyarankan damai adalah kuasa hukum Dicky, Anna Harun; anggota Komite Medis RSIA Pinatih, Edika Wahyuliyanto; dan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Gresik Ajun Komisaris Iwan Hary Poerwanto.

Pertemuan untuk perdamaian berlangsung di rumah Zayadi. Kala itu disepakati Dicky dan kawan-kawan harus membayar uang damai sebesar Rp 750 juta. Saat itu juga istri Yanuar membayar Rp 250 juta, Zayadi Rp 250 juta, dan istri Dicky Rp 150 juta. Hari itu juga penahanan Dicky dan kawan-kawan ditangguhkan.

Kejanggalan berikutnya, menurut Dicky, muncul pada 8 April 2015. Waktu itu keluarga Habibi dan dokter berkumpul di kantor notaris Rully Maharany untuk penandatanganan akta perdamaian. Ternyata pihak dokter masih dimintai Rp 100 juta. Uang itu disebut-sebut untuk polisi. "Katanya untuk tanda terima kasih," ujar Dicky.

Ternyata perjanjian damai dan pembayaran uang tak menyelesaikan masalah. Keluarga pasien tak kunjung mencabut pengaduan ke polisi dan MKDKI. Polisi pun melanjutkan penyidikan dengan alasan kasus ini merupakan delik pidana murni. "Sudah uang kami disikat, penyidikan tetap jalan. Kami dikibuli," kata Dicky.

Zayadi pernah melaporkan perkara permintaan uang Rp 100 juta ke Kepolisian Daerah Jawa Timur pada 19 Mei 2015. Dengan bantuan Komisi Kepolisian Nasional, Zayadi meminta kasus uang terima kasih itu diselidiki Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI. Propam memang turun tangan. Tapi, entah dari mana skenarionya, muncul surat keterangan bahwa uang itu telah dikembalikan melalui Edika. "Kami tak menerima uang itu. Tapi, kalau diperdebatkan, kami takut dibilang menyuap polisi," ujar Zayadi.

Kuasa hukum keluarga Habibi, Dewi Murniati, mengakui telah mengupayakan uang ganti rugi sebesar Rp 2,5 miliar yang akhirnya turun menjadi Rp 750 juta. "Saya kasihan saja kepada keluarga Habibi," kata Dewi. Adapun soal perjanjian damai yang tak berdampak pada penghentian penyidikan, menurut Dewi, sejak awal dia sudah mengetahuinya. "Saya enggak mau dokter itu bebas," ujar Dewi, Kamis dua pekan lalu. Namun Dewi mengaku tak tahu ihwal jatah uang Rp 100 juta untuk polisi.

Adapun Edika menolak menanggapi tudingan Zayadi dan Dicky. Seperti halnya Dewi, Edika mengaku tak tahu ada pembayaran dan pengembalian uang dari polisi. "Saya ini bukan apa-apa. Ini maksudnya apa?" kata Edika, Senin pekan lalu.

Ajun Komisaris Iwan Hary Poerwanto menyatakan hal senada. Ia bahkan mengaku tak mengetahui adanya perjanjian damai antara keluarga Habibi dan pihak dokter. Kalaupun perdamaian pernah terjadi, menurut Iwan, itu hanya akan menjadi pertimbangan hakim di pengadilan. "Biar hakim yang memutuskan," ucap Iwan.

Komisioner Kompolnas Muhammad Nasser berjanji akan terus mengawal kasus ini. Menurut dia, polisi belum bisa menunjukkan unsur kelalaian dokter yang menyebabkan kematian. "Keterangan ahli dan saksi juga masih lemah," ujar Nasser, yang menghadiri gelar perkara kasus ini di Polda Jawa Timur pada 19 Mei lalu.

Istman M.P., Artika (Gresik)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus