Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Renaldi Bandaso tak berlama-lama mengobrol dengan empat orang yang sejak siang menunggunya di restoran Baji Pamai, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Setelah berbasa-basi, Selasa petang pekan lalu, ia beranjak dari kursi. Datang dengan tangan kosong, asisten pribadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewie Yasin Limpo, itu hendak meninggalkan restoran dengan menenteng kantong keresek putih.
Ketika Renaldi baru menjejakkan satu kakinya di depan pintu rumah makan, sejumlah petugas Komisi Pemberantasan Korupsi tiba-tiba menyergapnya. Petugas yang sudah lama mengintai gerak-gerik Renaldi dan keempat lelaki penunggunya sigap bergerak begitu kantong keresek berpindah tangan.
Renaldi dan keempat orang itu tak bisa mengelak. Mereka ditangkap dengan barang bukti berupa dua amplop berisi uang Sin$ 177.700—setara dengan Rp 1,7 miliar. "Amplop dilapisi plastik bekas pembungkus keripik singkong Kusuka, lalu dimasukkan ke keresek," kata seorang petugas yang ikut dalam penyergapan.
Setelah memastikan ada penyerahan uang suap, tim KPK di Kelapa Gading mengontak tim yang membuntuti Dewie, anggota Komisi Energi DPR asal Partai Hati Nurani Rakyat. Tak sampai satu jam kemudian, Dewie dicokok bersama Bambang Wahyu Hadi, anggota stafnya yang lain, di Terminal 2F Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Ketika disergap pada pukul 19.00 itu, Dewie tengah menunggu pesawat Garuda tujuan Makassar yang penerbangannya sedikit terlambat dari jadwal. Sewaktu petugas komisi antikorupsi menghampirinya, Dewie tak terlihat kaget. Adik Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo itu sempat bertanya, "Anda siapa?" Ketika kepadanya ditunjukkan kartu identitas KPK, Dewie pun terdiam. Sewaktu digelandang ke gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Dewie tetap bungkam.
Esok harinya, pukul 17.00, KPK mengumumkan status tersangka Dewie, Renaldi, dan Bambang. Ketiganya diduga menerima suap berkaitan dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (menggunakan aliran air bertenaga kecil) di Kabupaten Deiyai, Papua.
Dari rombongan yang ditangkap di restoran Kelapa Gading bersama Renaldi, KPK menetapkan dua tersangka. Mereka adalah pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih, Setiady Jusuf, serta Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Deiyai, Irenius Adii.
Kerabat Setiady, Stefanus Harry Jusuf, hampir saja bebas lantaran dianggap hanya menemaninya di restoran. Tapi Stefanus berbicara ngawur ketika diperiksa petugas KPK. Ia pun diserahkan ke Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya. Kamis sore pekan lalu, polisi menyatakan Stefanus terbukti positif menggunakan narkotik dan menjadi tersangka. "Di dalam tas tersangka ditemukan sabu-sabu 0,67 gram, plus alat isap," ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Mohammad Iqbal.
Komisi antirasuah mengincar Dewie sejak beberapa bulan lalu. Musababnya, Dewie dan Setiady terpantau sering bertemu dan berkomunikasi lewat telepon seluler untuk membahas rencana proyek listrik mikrohidro Deiyai. Terakhir, pada Ahad pekan lalu, lewat telepon, Dewie memerintahkan Renaldi mengambil titipan uang dari Setiady.
Inisiatif penyuapan diduga datang dari Setiady, yang menggagas rencana pembangunan pembangkit listrik mikrohidro di Deiyai. Gagasan Setiady itu klop dengan kepentingan Irenius, yang bersedia mengusulkan proyek asalkan mendapat imbalan. Setiady dan Irenius lantas mencari-cari cara untuk melobi DPR. Mereka akhirnya masuk melalui Dewie, yang merupakan anggota Komisi Energi. "Dewie menjanjikan plot anggaran untuk proyek itu," kata seorang pejabat di KPK.
Rencana proyek pembangkit listrik mikrohidro di Deiyai tidak termasuk program listrik 35 ribu megawatt yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. Dewie mengusulkan rencana proyek Deiyai lewat Komisi Energi DPR, agar bisa masuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. "Dewie kerap menyebut soal proyek itu dalam beberapa rapat komisi," ujar penegak hukum tersebut.
Tentu saja tak ada makan siang gratis. Sewaktu berjanji mengegolkan proyek Deiyai, Dewie meminta jatah sepuluh persen dari total nilai anggaran proyek yang ditargetkan Rp 49,3 miliar itu. Belakangan, angka yang disepakati turun menjadi tujuh persen. Nah, menurut sumber di KPK, uang Rp 1,7 miliar yang diserahkan Setiady di Kelapa Gading baru separuh dari komisi tujuh persen itu.
Info ini cocok dengan penjelasan pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Johan Budi Sapto Pribowo. "Pembayaran ini merupakan penyerahan uang suap pertama. Akan ada penyerahan yang lain kalau mereka tidak tertangkap," kata Johan dalam konferensi pers di kantornya, Rabu pekan lalu.
Wakil Ketua Komisi Energi DPR Satya Widya Yudha mengatakan rencana proyek listrik Deiyai tidak tercatat dalam daftar proyek yang diusulkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral lewat komisinya. "Sudah saya cek daftar dan jadwal proyeknya. Tidak ada," ujar Satya.
Meski samar-samar, jejak proyek Deiyai ada dalam risalah rapat kerja Komisi Energi DPR dengan Menteri Energi Sudirman Said pada 8 April lalu. Kala itu, Dewie meminta Kementerian Energi memprioritaskan penyelesaian kebutuhan listrik di Kalimantan Selatan dan Papua. Padahal kedua wilayah itu bukan daerah pemilihan yang mengantar Dewie ke Senayan.
Khusus untuk Kabupaten Deiyai, Dewie bahkan mengklaim telah membantu memasukkan proposal titipan pemerintah daerah itu. "Kemarin itu sempat saya berikan kepada Bapak titipan dari mereka. Saya tidak kenal siapa. Tapi saya pikir ini harus diperjuangkan," kata Dewie sebagaimana tercantum dalam risalah rapat komisi.
Permintaan Dewie dan puluhan anggota Komisi Energi DPR hari itu belum sempat ditanggapi Sudirman Said. Soalnya, sang Menteri mendadak dipanggil Presiden Jokowi untuk membicarakan persiapan launching proyek listrik 35 ribu megawatt. "Kalau diizinkan, akan kami siapkan jawaban tertulis lebih dulu," kata Sudirman. Peserta rapat setuju. Pemimpin rapat asal Partai Demokrat, Mulyadi, menutup rapat kerja yang telah berlangsung tiga setengah jam itu.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Rida Mulyana, menerangkan bahwa rencana proyek Deiyai tak tercantum dalam rencana anggaran 2016. "Sempat ada proposal masuk, tapi kami kembalikan lagi karena belum memenuhi persyaratan," ujar Rida, Kamis pekan lalu.
Kepada wartawan, Dewie membantah menerima suap dari Setiady. "Jangankan menerima, melihat uang suap itu pun belum pernah," katanya setelah diperiksa di gedung KPK, Kamis dinihari lalu. "Insya Allah, akan saya buktikan bahwa saya tidak salah." Dewie pun mengaku baru tahu ada besel Rp 1,7 miliar untuknya setelah diberi tahu wartawan. Sedangkan empat tersangka lain memilih bungkam ketika diberondong pertanyaan wartawan.
Sekretaris Fraksi Hanura DPR Dadang Rusdiana mengatakan tak akan memberikan bantuan hukum apa pun karena Dewie telah melanggar pakta integritas anggota Partai Hanura. Menurut Dadang, Dewie pasti bakal dipecat sebagai anggota partai dan anggota DPR. "Surat resmi pemecatan akan diterbitkan besok," ujar Dadang, Kamis pekan lalu.
Muhamad Rizki, Rezky, Friski, Destrianita, Arief, Hussein, Linda
Barut Klan Yasin Limpo
Perjalanan politik Dewie Yasin Limpo tak mulus. Lolos dari skandal pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi, dia akhirnya masuk bui karena perkara suap.
KELUARGA besar Yasin Limpo geger ketika mendapat kabar bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Dewie Yasin Limpo, Selasa malam pekan lalu. Waktu itu, sanak saudara sedang menunggu kedatangan Dewie di Makassar untuk membicarakan pernikahan anak keduanya pada Desember mendatang.
Acara keluarga kacau karena berita yang simpang-siur. Malam itu juga keluarga di Jakarta mengecek kondisi ibu tiga anak ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. "Tapi kami tak diberi izin bertemu," kata Irman Yasin Limpo, adik kandung Dewie, Rabu pekan lalu.
Duduk perkara Dewie baru terang keesokan harinya. Komisi antikorupsi menyebutkan Dewie menerima suap untuk memuluskan proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Papua.
Dewie, 56 tahun, baru genap setahun menjadi anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat. Ia maju dari Partai Hanura dalam pemilihan anggota legislatif 2014. Dewie memperoleh 39.514 suara dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I.
Dewie pernah menjajal Pemilihan Umum 2009 dan hampir melenggang ke Senayan. Namun Komisi Pemilihan Umum urung melantik Dewie, yang terbelit skandal pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi. Ceritanya, waktu itu, Dewie menggugat kemenangan calon dari Partai Gerindra, Mestariyani Habie, ke Mahkamah Konstitusi.
Pada 21 Agustus 2009, sidang pleno Komisi Pemilihan Umum memenangkan Dewie. Dasarnya surat Mahkamah nomor 112/PAN-MK/2009, 14 Agustus 2009. Surat itu menyatakan wanita kelahiran Makassar ini berhak atas kursi di daerah pemilihan tersebut. Belakangan terungkap surat itu palsu. Surat asli Mahkamah justru mengukuhkan posisi Mestariyani. Dalam beberapa kesempatan, Dewie membantah terlibat dalam pemalsuan surat itu.
Dewie merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Yasin Limpo dan Nurhayati. Di Sulawesi Selatan, Yasin Limpo termasuk tokoh ternama. Ia pernah menjadi pejabat sementara Gubernur Sulawesi Selatan.
Anak-anak Yasin Limpo sejak kecil telah bersinggungan dengan politik. "Banyak tokoh datang untuk meminta nasihat Bapak," ujar Irman. Ketika dewasa, anak Yasin Limpo banyak yang terjun ke dunia politik. Sebut saja Syahrul Yasin Limpo, kakak Dewie, yang menjadi Gubernur Sulawesi Selatan selama dua periode.
Ada pula Tenri Olle Yasin Limpo, yang menjadi anggota DPRD Sulawesi Selatan. Kini, anak tertua klan Yasin Limpo itu mencalonkan diri dalam pemilihan Bupati Gowa. Sudah dua periode, kursi Bupati Gowa diduduki Ichsan Yasin Limpo, anak keempat keluarga ini.
Anak kelima, Haris Yasin Limpo, menjabat Direktur PDAM Makassar. Hanya si bungsu, Tenri Angka Yasin Limpo, yang memilih jalur berbeda, menjadi pengusaha. "Dewie juga baru terjun langsung ke politik," kata Irman, anak keenam.
Dewie sebelumnya juga sibuk dengan bisnis. Dalam riwayat hidupnya, Dewie pernah memimpin sejumlah perusahaan, antara lain PT Rindang Bumi, PT Dewi Arung Lautan, dan PT Sumber Batu.
Dewie masuk ke gelanggang politik pada 2007. Dia pernah mencalonkan diri dalam pemilihan Bupati Takalar, Bupati Sidenreng Rappang, dan Wali Kota Makassar. Namun pencalonan Dewie berkali-kali kandas di tengah jalan.
Dewie bergabung dengan Hanura pada akhir 2008. Tak lama kemudian, ia diangkat menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah Hanura, menggantikan bekas Wali Kota Makassar Amiruddin Maula, yang tersandung dugaan korupsi.
Pada 2010, Dewie ditarik ke Jakarta dan diangkat sebagai Ketua Pelaksana Tugas Dewan Pimpinan Pusat Hanura periode 2010-2015. Barulah pada 7 Oktober 2015, Dewie dilantik sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hanura di Hotel Sahid Jakarta.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Makassar, Firdaus Muhammad, mengatakan skandal yang menjerat Dewie bisa menjadi sandungan bagi dinasti Yasin Limpo. Namun Irman menyatakan hal sebaliknya. "Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa," ujar Irman. Dia pun mengaku tak risau bila keluarga Yasin Limpo disebut membangun dinasti politik. "Berbagai posisi penting kami raih lewat proses demokrasi," katanya.
Syailendra Persada (Jakarta), Aan Pranata (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo