Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Marah Disebut Kota Merah

Mengulas peristiwa Gerakan 30 September 1965, majalah kampus Lentera dilarang beredar. Memicu protes pegiat kebebasan pers dan hak asasi manusia.

26 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR lima jam Bima Satria Putra, 19 tahun, meladeni pertanyaan penyidik di ruang pemeriksaan Kepolisian Resor Salatiga, Jawa Tengah. Polisi mencecar pemimpin redaksi majalah kampus Lentera itu dengan pertanyaan seputar laporan utama berjudul "Salatiga Kota Merah", yang terbit awal Oktober lalu. Ahad dua pekan lalu itu, Bima memenuhi panggilan polisi bersama dua rekannya sesama pengelola majalah Lentera dari kampus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Sehari sebelumnya, polisi menyita 14 eksemplar majalah Lentera dari Kafe Godhong Pring, sekitar tiga kilometer dari kampus Satya Wacana. Polisi meminta Bima dkk menarik 500 eksemplar majalah Lentera yang beredar di dalam dan di luar kampus. "Kami ngotot tak mau menarik majalah itu," kata Bima, Rabu pekan lalu.

Pada hari pemeriksaan Bima dkk, Pembantu Rektor II Satya Wacana Teguh Wahyono serta Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Daru Purnomo juga bertemu dengan polisi. Menurut Daru, di depan polisi, mereka membuat surat pernyataan yang mengakui kesalahan meloloskan penerbitan majalah Lentera. Pihak universitas pun menyatakan kesediaan membantu polisi menarik majalah tersebut. "Majalah yang ditarik kami simpan di fakultas, demi mencegah reaksi negatif dari pihak ketiga," ujar Daru, Rabu pekan lalu.

Pelarangan peredaran Lentera edisi terakhir itu memicu reaksi keras dari kalangan pegiat organisasi pers dan kebebasan berekspresi. Sebanyak 24 organisasi melaporkan perkara ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kamis pekan lalu. "Kami menilai pelarangan itu melanggar hak warga negara mendapat informasi dan memberangus kebebasan mengeluarkan pendapat," kata Iman D. Nugroho, Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

Bersama AJI, organisasi lain yang melapor ke Komnas HAM di antaranya Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Mereka mendesak penghentian penarikan majalah dan mengecam intimidasi atas mahasiswa yang bergabung dalam Lentera.

Mendapat reaksi keras, Kepala Polres Salatiga Ajun Komisaris Besar Yudho Hermanto buru-buru menepis anggapan bahwa lembaganya yang berinisiatif membredel pers kampus. "Penarikan itu atas permintaan rektor," ujar Yudho.

* * * *

PENELITI Singgih Nugroho masih mengingat kesan dia atas enam mahasiswa yang menemuinya di kantor Persemaian Cinta Kemanusiaan (Percik), sekitar awal Agustus lalu. Percik merupakan organisasi penelitian yang didirikan mantan dosen UKSW, Pradjarta Dirjosanjoto, pada 1996. "Mereka sepertinya bukan mahasiswa ideologis. Masih culun-culun. Datang semata karena keingintahuan," kata Singgih, Kamis pekan lalu.

Mengaku tim redaksi majalah Lentera, mahasiswa itu datang menenteng fotokopi majalah Tempo edisi khusus "Pengakuan Algojo 1965" yang terbit pada 1 Oktober 2012. Mereka pun membawa buku karangan Singgih, Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa.

Keenam mahasiswa itu mengajak Singgih berdiskusi mengenai rentetan peristiwa seputar Gerakan 30 September 1965. Setelah mengulas beberapa hal yang telah ditulis dalam bukunya, Singgih menyarankan mahasiswa itu mewawancarai sejumlah narasumber dan menelusuri beberapa lokasi. Sejak itu, komunikasi antara Singgih dan mahasiswa berlanjut.

Momen 50 tahun peristiwa G-30-S rupanya memantik minat awak redaksi Lentera untuk menurunkan laporan utama seputar peristiwa tersebut. Dalam rapat redaksi pada Juli lalu, mereka sepakat berfokus mengulas peristiwa yang terjadi di sekitar Salatiga. "Masih sedikit ulasan sejarah Kota Salatiga yang dikaitkan dengan peristiwa 1965," Bima menerangkan alasan pemilihan tema liputan itu.

Singkat cerita, pada 9 Oktober lalu, majalah Lentera terbit dengan harga jual Rp 15 ribu per eksemplar. Sampul majalah diambil dari salah satu adegan film The Years of Living Dangerously tahun 1980. Adegan itu menggambarkan demonstrasi yang membawa bendera Partai Komunis Indonesia dan berbagai atribut berlambang palu-arit. Di bagian bawah majalah tercetak judul "Salatiga Kota Merah", juga dengan huruf merah.

Majalah setebal 42 halaman itu memuat berbagai artikel tentang peristiwa G-30-S di Salatiga. Laporan dibuka dengan kisah mantan Wali Kota Salatiga Bakrie Wahab yang dituding berafiliasi dengan PKI. Di bagian lain, ada laporan hasil penelusuran empat lokasi yang disebut-sebut tempat pembantaian simpatisan PKI, yakni Lapangan Skeep Tengaran, kebun karet di Tuntang dan Beringin, serta Gunung Buthak di Susukan. Narasumber yang diwawancarai di antaranya Kasriwo, 80 tahun, yang pernah menggali kuburan massal; Mbah Wiro, yang pernah membuang jenazah korban pembantaian ke Gunung Buthak; dan Yoso Dumeri, yang pernah membantu tentara menjaga tahanan anggota PKI.

Selain beredar di kampus, majalah itu dipajang di kios majalah di Kafe Godhong Pring. Ada juga mahasiswa yang mengecer majalah tersebut langsung ke pembeli.

Seminggu setelah majalah itu terbit, Rektor UKSW John Titaley memanggil awak redaksi Lentera. Sekitar pukul 21.00 pada 16 Oktober lalu, Bima dan tiga rekannya menemui rektor dan pejabat kampus di lantai dua Gedung Administrasi Pusat UKSW. Dalam pertemuan itu, pimpinan kampus menyampaikan keberatan "pihak luar" atas penerbitan majalah Lentera, terutama sampulnya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW Daru Purnomo membenarkan adanya pertemuan tersebut. Pimpinan universitas, kata dia, memang meminta penarikan majalah Lentera yang dijual di luar kampus. "Seminggu setelah terbit, banyak protes yang kami terima," ujar Daru.

Daru juga beralasan penarikan Lentera karena penerbitan majalah itu menyalahi prosedur. "Seharusnya sebelum terbit ada konsultasi dengan dekanat lebih dulu," katanya.

Mengelola majalah itu sejak 2013, Bima mengaku baru tahu soal keharusan adanya konsultasi dengan pejabat dekanat. Pada edisi-edisi sebelumnya, menurut dia, tim redaksi Lentera tak pernah berkonsultasi soal isi majalah dengan pihak kampus.

Edisi Lentera terakhir rupanya dibahas juga dalam pertemuan di rumah Wali Kota Salatiga Yuliyanto pada Jumat dua pekan lalu. Pada pertemuan menjelang tengah malam itu, hadir Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Salatiga Teddy Sulistyo, Kepala Polres Salatiga Yudho Hermanto, perwakilan komando distrik militer, dan pejabat rektorat UKSW. Dalam pertemuan itu, Rektor UKSW mengaku kecolongan dan meminta maaf. "Mereka menyatakan minta waktu untuk menarik majalah itu," ujar Yuliyanto.

Menurut Wali Kota, pertemuan digelar karena banyak protes atas penerbitan Lentera edisi terakhir. Protes terutama datang dari kalangan organisasi kemasyarakatan Islam. Salah satunya Forum Umat Islam Salatiga.

Ketua Forum Umat Islam Salatiga Arif Budianto berkeberatan disebut pihak yang meminta penarikan majalah. "Saya malah belum pernah melihat majalah itu," kata Arif, Kamis pekan lalu. Meski begitu, ia menyatakan tak terima bila Salatiga disebut Kota Merah. "Maksudnya merah apa? Apa darah, PDIP, atau PKI?" ujar Arif.

Sekretaris Jenderal Nasional Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Abdus Somad mengatakan pelarangan Lentera bukanlah kasus intervensi pertama atas penerbitan pers mahasiswa. Pimpinan kampus kerap mendikte atau berbuat sewenang-wenang bila liputan pers kampus tak sesuai dengan keinginan mereka. Salah satu penyebabnya, menurut Somad, karena pers mahasiswa tak diakui legalitasnya dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. "Lembaga pers yang diakui hanya yang berbadan hukum," kata Somad.

Menurut Iman D. Nugroho, meski legalitas lembaga pers mahasiswa belum diakui Undang-Undang Pers, aktivis pers kampus bisa termasuk kategori wartawan seperti diatur aturan tersebut. "Definisi wartawan adalah orang yang teratur melakukan kegiatan jurnalistik." Nah, ucap Iman, "Pers mahasiswa melakukan kegiatan itu."

Di samping itu, menurut Iman, penyebaran informasi lewat pers kampus dijamin Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28, yang mengatur hak kebebasan berpendapat dan berserikat. "Artinya, kebebasan pers mahasiswa pun harus dilindungi," ujar Iman.

Yuliawati, Rofiuddin (Salatiga)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus