Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Industri perbankan mengenal istilah bank pemerintah, bank swasta, bank asing, dan bank campuran. Tanpa memperhitungkan apakah pola pembentukannya sesuai dengan kaidah bahasa atau tidak, yang jelas kalangan perbankan memahami istilah itu. Bank pemerintah diartikan sebagai bank milik pemerintah, bank swasta sebagai bank milik pihak swasta atau partikelir, bank asing sebagai bank milik pihak asing, serta bank campuran sebagai bank milik bank domestik dan bank asing.
Jika ayat (1) pasal 5 UU Perbankan 1992 memilah bank atas bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR), tempat acuan kepemilikan itu semestinya dapat diterapkan pada kedua jenis bank tersebut. Nyatanya tidak demikian. Keempat istilah itu hanya ditujukan kepada bank umum. Memang, belum ada pihak asing yang memiliki BPR, sehingga kita belum perlu istilah ”BPR asing”. Tetapi kita mengenal BPR yang dimiliki pemerintah daerah (pemda), meski kita tetap tak mengenal istilah ”BPR pemda”.
Bank umum milik pemerintah daerah tak masuk kategori bank pemerintah. Ia punya nama tersendiri, yakni bank pembangunan daerah (BPD) atau bank daerah. Istilah pertama jauh lebih sering digunakan ketimbang istilah kedua. Tapi kedua istilah itu sama-sama tak menyimpan konsep kepemilikan pemda.
Istilah bank pemerintah sendiri hanya disematkan untuk bank umum yang dimiliki negara atau pemerintah pusat (pemerintah Indonesia). Sebagaimana istilah BPD dengan bank daerah, pemakaian istilah bank pemerintah sering dipertukarkan secara enteng dengan istilah bank negara. Padahal, konsep ”negara” dan ”pemerintah” berbeda.
Karena itu, mana yang benar? Bank negara atau bank pemerintah? Boleh jadi, yang benar malah bank negara, kalau kita ingat ada Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara). Lebih dari itu, pemerintah memuat citra kekuasaan, dan pemilik kekuasaan bisa berganti setiap saat. Jadi, pemiliknya adalah negara, sedangkan pemerintah hanya menjadi pengelolanya. Tapi, untuk sementara, tulisan ini memanfaatkan istilah yang lebih umum: bank pemerintah.
Kadang-kadang dipakai pula istilah bank persero untuk menggantikan bank pemerintah. Padahal, kata persero pun tak merujuk ke pemilikan negara. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menunjuk kata ”pesero” untuk maksud kata ”persero” tersebut. KBBI memaknai kata pesero secara umum: pemegang saham, yang berarti bisa siapa saja. Kalaupun yang dituju dengan kata persero itu adalah perseroan terbatas (PT), kepemilikan PT pun dapat digenggam siapa saja.
Tepat-tidaknya penggunaan beberapa istilah itu tak pernah dipersoalkan masyarakat, bahkan oleh kalangan perbankan sendiri. Satu istilah yang pernah diperdebatkan tentang tepat-tidaknya penggunaannya adalah ”bank swasta”. Yang diperdebatkan adalah tepatkah pemakaian istilah tersebut untuk bank umum yang badan usahanya didirikan di atas landasan hukum Indonesia, tapi sebagian besar sahamnya atau dominasi kepemilikan sahamnya ada di tangan pihak asing. Pertanyaan sebaliknya, tidak layakkah bank seperti itu disebut sebagai bank asing. Ketika di negeri ini juga ada bank umum yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung atau tak langsung oleh pemerintah asing, pertanyaan ”pantaskah bank itu disebut sebagai bank umum pemerintah asing” tak pernah mencuat ke permukaan.
Kemudian, masih dalam konteks kepemilikan, ada pula istilah bank publik. Kalau mengikuti paradigma empat istilah tadi (bank pemerintah, bank swasta, bank asing, dan bank campuran), istilah bank publik dapat dimaknai sebagai bank umum yang kepemilikan sahamnya didominasi publik atau masyarakat. Faktanya, kebanyakan tak seperti itu. Kata ”publik” dalam istilah tersebut tampaknya dicomot dari frasa go public. Istilah bank go public memang dikenal, tapi tak sesanter istilah bank publik. Bank go public dimaksudkan sebagai bank yang mencatatkan penjualan sahamnya di bursa saham, dalam hal ini Bursa Efek Jakarta.
Konsep ”kepemilikan” dalam keempat istilah tadi dipahami kalangan perbankan tidak dalam makna yang tunggal atau netral. Di sana sudah tersisipi makna ”dominasi”.
Titik pangkal problem semua itu tampaknya adalah mudahnya kita menghilangkan atau melesapkan kata tertentu yang melengkapi istilah atau terminologi tertentu. Kita melakukannya secara serampangan. Penyebab lain adalah keserampangan memilih kata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo