Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Hakim Heru yang Vonis Bebas Ronald Tannur: Kami Bukan Lagi Pemain Tapi Sudah Pelatih

Terdakwa kasus suap Ronald Tannur, hakim nonaktif Heru Hanindyo memberikan sejumlah keterangan di persidangan. Bukan lagi pemain.

9 April 2025 | 07.07 WIB

Terdakwa kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, Heru Hanindyo mendengarkan keterangan saksi pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 8 April 2025. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Terdakwa kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, Heru Hanindyo mendengarkan keterangan saksi pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 8 April 2025. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Heru Hanindyo, menyoroti penggeledahan dan penyitaan oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan suap dan pengurusan perkara Gregorius Ronald Tannur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal ini dia ungkapkan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Dalam persidangan itu, Heru diperiksa sebagai terdakwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Mulanya, penasihat hukum Heru Hanindyo bertanya kepada kliennya. "Bisa dijelaskan tidak masalah penggeledahan dan penyitaan?" tanyanya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Selasa, 8 Mei 2025.

Heru menuturkan, saat itu penyidik mengatakan akan menggeledah kediamannya di Surabaya. Ia pun mempertanyakan dasarnya. Penyidik pun menunjukkan surat perintah penanganan perkara.

"'Ada izin enggak saudara?' saya tanya. 'Saya enggak perlu izin'. 'Saudara harus perlu izin, ini penangkapan apa? Kami ini hak subyektif,'," tutur Heru.

Ia lantas menelepon pimpinan Mahkamah Agung. Heru juga menghubungi pimpinan Kejaksaan Agung, tapi tidak diangkat.

"Kemudian disampaikan kepada para penyidik 'coba saudara minta izin dulu dan apakah sudah minta izin Ketua Pengadilan?' Tidak ada," kata Heru.

Kendati begitu, penyidik Kejagung tetap menggeledah rumahnya. Pada saat itu, lanjut dia, datanglah Ketua Pengadilan Tinggi. Hadir pula Wakil Ketua Pengadilan Tinggi, Hakim Tinggi Pengawas, Hakim Tinggi Humas, dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.

"Saat itu Wakil Ketua Pengadilan Negeri Pak Rustanto yang sekarang menjadi Ketua Pengadilan Negeri mengatakan 'saya tersinggung, kenapa tidak meminta izin'," ujar Heru.

Padahal, surat perintah penyidikan atau sprindiknya keluar pada 4 Oktober 2024. Sedangkan penggeledahan di rumahnya terjadi pada 23 Oktober 2024. Sehingga, menurut dia, ada cukup waktu untuk meminta izin sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Lalu dikatakan bahwa itu beritanya OTT (operasi tangkap tangan), bukanya saya tidak kooperatif," tutur Heru. Ia mengatakan, dirinya tahu hukum karena sering menangani praperadilan. "Kita terlatih, bukan pemain lagi, kita udah pelatih."

Heru juga menyoroti Pasal 26 Undang-Undang Peradilan Umum. Pasal tersebut menyatakan, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan dapat ditangkap atau ditahan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua MA dan Menteri Kehakiman. 

Namun, dalam pasal itu juga terdapat pengecualian apabila: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati; atau c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.

"Berita acara penggeledahan, penyitaan, penahanan sampai penangkapan, tidak satu lembar pun diberikan kepada saya," kata Heru. "Ini sudah melanggar betul asas KUHAP maupun asas hak sipil."

Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul didakwa menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura (S$). Jaksa Penuntut Umum atau JPU menduga hadiah atau janji itu untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepada tiga hakim tersebut. Ketiganya diduga telah mengetahui uang yang diberikan oleh pengacara Lisa Rahcmat adalah untuk menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap kliennya Ronald Tannur dari seluruh dakwaan penuntut umum.

Selain itu, jaksa penuntut umum menilai Erintuah Damanik juga menerima uang gratifikasi. Duit uang diterima itu sebesar Rp 97,5 juta, S$ 32 ribu, dan 35.992,25 ringgit (RM). 

Mangapul juga didakwa menerima gratifikasi. Ia diduga menerima uang tunai sebesar Rp 21,4 juta, 2.000 dolar Amerika Serikat (US$), dan S$ 6.000.

Sedangkan Heru Hanindyo didakwa menerima gratifikasi berupa uang sebesar Rp 104.500.000 atau Rp 104,5 juta, US$ 18.400, S$ 19.100, 100.000 yen, 6.000 euro, dan 21.715 riyal.

Ketiganya didakwa menerima suap ihwal vonis bebas Ronald Tannur yang melanggar Pasal 12c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Atas penerimaan gratifikasinya, ketiganya didakwa melanggar Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Pilihan Editor:

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus