Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhan, menyebut netizen, dalam perannya sebagai warga sipil, lebih gesit mengungkap kasus korupsi dibandingkan dengan penyidik atau aparat penegak hukum. Pernyataan ini ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam kegiatan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2024 di Gedung Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta Selatan pada Senin, 9 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kadang-kadang, netizen itu lebih gesit kerjanya daripada penyidik. Penyidik belum mengungkapnya, netizen sudah ke mana-mana," kata Kurnia di STIK, Senin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam forum yang dihadiri puluhan pejabat kepolisian itu, Kurnia menyinggung bahwa partisipasi masyarakat sipil dalam memberantas korupsi sudah cukup tinggi. Namun, pengaruhnya tidak optimal karena sering kali dijegal aparat penegak hukum, khususnya kepolisian. Ada 3 alasan yang disebut Kurnia menghalangi partisipasi publik.
"Ketiga alasan tersebut adalah pemolisian, minim akses, dan ancaman digital." ucapnya.
Kurnia menilai polisi sering kali mengabaikan masyarakat sipil yang ingin membuat laporan tentang suatu kasus. Berbeda dengan laporan pejabat yang langsung cepat ditangani saat mereka datang melaporkan kasus pencemaran nama baik.
“Kalau pejabat misalnya melaporkan pencemaran nama baik, hitungan menit keluar itu LP-nya. Hitungan menit. Kita di masyarakat, melaporkan dugaan tindak pidana berjam-jam berdebat sama pegawai di Mabes Polri,” ujarnya.
Peneliti ICW itu membagikan pengalaman pribadinya dalam membuat laporan. Ia bercerita pernah berdebat dulu selama dua jam dengan penyidik saat membuat laporan soal dugaan tindak pidana korupsi salah satu mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Tapi ketika rekan saya di ICW, namanya Mas Egi Primayogha, dilaporkan saat itu oleh KSP Pak Jenderal Purnawirawan Moeldoko, tujuh menit itu keluar LP-nya." ujarnya.
Dia meminta hal ini harus diperbaiki. "Jadi, selaras dengan jargonnya presisi. Jangan jargonnya presisi tapi implementasinya masih banyak masalah,” ucapnya.
Alasan kedua, adalah masyarakat sulit mengakses informasi dari pemerintah karena banyak informasi yang ditutup. "Harus sengketa dulu ke Komisi Informasi misalnya,” ujarnya.
Masyarakat juga takut berpartisipasi melaporkan tindak pidana korupsi lantaran acap kali mendapat ancaman digital. Salah satunya adalah mendapat serangan buzzer sampai diretas. Kurnia bercerita bahwa WhatsApp-nya pernah diretas.
“Dulu ketika advokasi Capim KPK, WhatsApp saya 3 jam hilang. Ketika advokasi revisi undang-undang KPK, akademisi-akademisi diretas. Enggak mungkin polisi enggak baca itu beritanya. Deliknya ada kok bisa ditangani. Tapi, enggak ada sampai sekarang penyelesaiannya,” tuturnya.
Dalam forum itu, Kurnia menantang peserta yang hadir untuk mengucapkan apa pernah Kepolisian menyelesaikan laporan soal tindak pidana penyadapan. "Coba sebutkan satu saja!" ucapnya. "Tidak pernah, kan?"
Pilihan Editor: Sidang PK Jessica Wongso, Jaksa Serahkan Bukti Tambahan