Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hap, Semuanya Kini Ditahan

KPK akhirnya menahan 24 anggota DPR yang diduga menerima suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004. Tekanan politik, alasan sakit, dan lobi-lobi politik tak mempan membendung komisi ini menangkap serta menahan para politikus penerima suap itu. Nunun dan Miranda Goeltom tinggal menunggu waktu.

7 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR itu diterima penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis malam dua pekan lalu. Patra M. Zen memberitahukan bahwa kliennya, Panda Nababan, bakal terbang ke Batam besok untuk menghadiri Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Sebelumnya, Kamis pagi Panda sudah berkirim surat, menyatakan tak bisa datang memenuhi panggilan Komisi.

Padahal Jumat itu KPK sudah membuat agenda untuk Panda. Politikus 66 tahun ini akan diperiksa sebagai tersangka penerima suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004. Penyidik Komisi sudah melayangkan surat panggilan tiga hari sebelumnya. Patra meminta Komisi menunda pemeriksaan itu.

Ini berkaitan dengan gugatan Patra atas penetapan kliennya sebagai tersangka ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Patra meminta Komisi menunggu dulu hasil putusan gugatannya itu. ”Jawab dulu permintaan kami soal penundaan pemeriksaan,” kata Patra. KPK tak memberikan jawaban soal ini. Merasa sudah minta izin lewat surat, Panda tetap berangkat ke Batam esok harinya.

Merasa permintaan mereka diabaikan, enam penyidik bergerak ke Bandar Udara Soekarno-Hatta. Mereka juga dibekali surat perintah penangkapan, surat yang disiapkan jika anggota Komisi Hukum itu menolak untuk dijemput. Para penyidik mendapat informasi, Panda akan ke Batam dengan penerbangan Garuda pukul 11.00 WIB.

Tiba sekitar pukul 10.00, para penyidik langsung berjaga di pintu masuk Terminal 2F. Tak lama, yang ditunggu pun muncul. Ia turun dari Toyota Alphard hitam. Dua penyidik menghampiri dan memperkenalkan diri. Mereka meminta Panda ikut ke kantor Komisi.

”Oke, saya naik mobil sendiri,” kata Panda, seperti dituturkan Patra. Tak ada ketegangan apa pun dalam penjemputan itu. Enam penyidik mengikuti mobil Panda hingga tiba di kantor Komisi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dikepung puluhan wartawan, Panda menumpahkan kekesalannya. ”Saya sudah mengajukan surat penundaan pemeriksaan,” katanya, ”tapi tak direspons.”

Seusai pemeriksaan hari itu, Panda langsung ditahan. Ia digiring ke Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Sangkaannya: ia menerima dan mencairkan cek perjalanan senilai Rp 1,45 miliar, cek yang didapat lantaran memenangkan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. ”Kami tak menyangka akan langsung ditahan,” kata Patra.

Seorang sumber di KPK bercerita penahanan itu rencananya akan dilakukan sepekan sebelumnya. Pemimpin KPK sudah setuju dengan rekomendasi penyidik untuk menahan para tersangka kasus suap ini. Ini karena semua pemeriksaan sudah rampung dan berkasnya dinaikkan ke tahap penuntutan.

Ketua KPK Busyro Muqoddas mempunyai alasan kenapa pihaknya mesti menunda penangkapan itu. ”Kami sibuk membedah kasus Gayus Tambunan.” Sehari sebelumnya, lembaga ini memang baru mulai memeriksa bekas pegawai pajak golongan IIIa yang memiliki fulus lebih dari Rp 100 miliar yang diduga hasil dari jasanya membantu para pengemplang pajak itu.

l l l

Jumat dua pekan lalu, KPK membuat kejutan luar biasa. Komisi ini menahan 19 anggota DPR periode 1999-2004. Sepuluh orang dari PDI Perjuangan—termasuk Panda—tujuh dari Golkar, dan dua dari Partai Persatuan Pembangunan. Lima hari kemudian, tiga politikus PDI Perjuangan dan satu dari Golkar digelandang ke penjara. Dan Jumat pekan lalu, satu politikus lagi dari Partai Golkar, Hengky Baramuli, ditangkap.

Para tersangka itu sebagian tak lagi menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Ada yang kini menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan, pengusaha, atau kembali jadi pengusaha.

l l l

PENAHANAN berjemaah itu mengejutkan karena lembaga antikorupsi tersebut selama ini terkesan ”mati suri”. Juli lalu, setelah Komisi mengumumkan 25 anggota Dewan menjadi tersangka kasus cek pelawat itu, nyaris tak ada lagi gebrakan yang dilakukan Komisi. Publik geregetan karena Komisi seakan tak memiliki nyali menahan para tersangka. Kriminalisasi terhadap dua pemimpinnya, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, semakin membuat megaskandal ini terbengkalai.

Sumber Tempo di KPK bercerita, sejak puluhan anggota Dewan itu ditetapkan jadi tersangka, sejumlah politikus bergerilya dengan tujuan kasus penanganan cek pelawat ini terus tertunda atau bahkan mandek. Saat Busyro terpilih menjadi salah satu calon kuat Ketua KPK, sejumlah anggota DPR melakukan gerilya, melobi Busyro. Tujuannya agar Busyro tidak terlalu galak mengutak-atik kasus cek pelawat ini. Dimintai konfirmasi perihal ini, Busyro tak menyangkal atau juga membenarkan. ”Silakan buktikan saja dugaan itu,” katanya.

Tak hanya lewat Busyro. Empat pemimpin KPK lainnya tak luput dari rayuan para politikus Senayan yang koleganya terancam masuk penjara gara-gara kasus cek pelawat ini. Seorang petinggi Komisi mengkonfirmasi gaduhnya ajakan bertemu, baik melalui telepon maupun dengan alasan bertamu. ”Tapi semua ajakan itu ditolak,” katanya.

Ini lantaran konstruksi hukum kasus ini terang-benderang. Lima terdakwa yang divonis pengadilan korupsi sudah mengakui cek-cek itu berkaitan dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Mereka menunjuk peran Nunun Nurbaetie, istri bekas Wakil Kepala Kepolisian RI Adang Daradjatun, yang juga teman baik Miranda Goeltom, sebagai perantara pemberi 480 lembar cek itu.

Penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan cek-cek itu dibeli PT First Mujur Plantation and Industry dari Bank Internasional Indonesia pada hari dan jam yang sama dengan pemilihan Miranda. Cek ini berupa pinjaman dari Bank Artha Graha yang dijadikan alat transaksi jual-beli lahan sawit seluas 5.000 hektare di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Pemberi cek Hidayat Lukman, Direktur Utama First Mujur, dan penerimanya pengusaha bernama Ferry Yen. Pria 57 tahun yang punya nama alias Suhardi Suparman ini kemudian dinyatakan meninggal pada Januari 2007. Mata rantai aliran cek itu pun putus.

Bagaimana bisa cek itu sampai ke tangan Nunun dari Ferry Yen? Hanya Nunun yang bisa menjawab pertanyaan ini. Pengadilan tak bisa menghadirkannya karena Nunun keburu terbang ke Singapura dengan alasan mengobati penyakit lupa berat yang dideritanya. Padahal pengakuan lima terdakwa dalam sidang membuktikan dengan jelas peran Nunun sebagai pembagi cek itu.

Dalam amar putusannya, hakim menyarankan agar Nunun diadili secara in absentia—pengadilan tanpa dihadiri terdakwa. Syaratnya, menurut hakim Andi Bachtiar kala itu, KPK menyatakan Nunun sebagai tersangka lebih dulu. Statusnya yang hanya saksi membuatnya bebas dan berani mengabaikan panggilan pengadilan.

Ini pula yang didesak para pendukung politikus yang ditahan Komisi dua pekan lalu. Gayus Lumbuun, kolega Panda di Fraksi PDI Perjuangan, misalnya, mempertanyakan penahanan Panda yang dinilai tebang pilih. Gayus mempertanyakan KPK yang juga belum menangkap pemberi cek.

Jumat pekan lalu, Fahmi Idris dan Abdul Gafur, dua politikus senior Golkar, juga datang ke KPK. ”Kami mempertanyakan kenapa penerima suapnya ditahan tapi pemberinya masih bebas,” kata Fahmi. Bidikannya jelas mengarah kepada Miranda dan Nunun.

KPK tampaknya sudah siap menghadapi serangan soal ini. Menurut juru bicara KPK, Johan Budi, KPK memang berencana segera menjadikan Nunun sebagai tersangka. Kesaksian Nunun diharapkan bisa membongkar tali-temali sumber dan motif bagi-bagi cek perjalanan itu.

l l l

PENAHANAN puluhan politikus itu memang menimbulkan reaksi keras para anggota DPR. Belum ditetapkannya Nunun dan Miranda sebagai tersangka pemberi suap dijadikan alasan untuk menyerang KPK. Komisi Hukum menolak kehadiran Bibit dan Chandra dalam rapat dengan mempersoalkan pemberian deponering—pengesampingan kasus hukum untuk kepentingan publik—oleh Jaksa Agung. Keduanya jadi tersangka kasus suap yang tak bisa dibuktikan polisi. Komisi Hukum pernah berembuk menentukan status keduanya yang menghasilkan keputusan menolak keputusan deponering diserahkan kepada Jaksa Agung. Padahal sebelumnya mereka juga mempersoalkan kriminalisasi kepada Chandra dan Bibit oleh polisi.

Penolakan berlanjut oleh Tim Pengawas Penanganan Kasus Bank Century. Tim dari pelbagai fraksi dan komisi ini menolak kehadiran Bibit dan Chandra yang dinilai masih berstatus tersangka. ”Seorang tersangka tak patut hadir dalam rapat-rapat lembaga negara,” kata Gayus Lumbuun.

Kepada Tempo, seorang politikus PDI Perjuangan mengakui dibukanya kembali kasus cek pelawat itu juga telah menggoyang sikap solid fraksi-fraksi di DPR. ”Ini gempa bumi buat Senayan,” katanya. Publik memang menunggu kasus suap ini terbuka sebenderang-benderangnya.

Bagja Hidayat, Febriyan

Ramai-Ramai Menerima, Ramai-Ramai Masuk Penjara

Kini hampir semua anggota Komisi Keuangan DPR yang diduga menerima cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebentar lagi perkara mereka masuk pengadilan antikorupsi.

9 Juni 2004
Komisi Keuangan dan Perbankan DPR memilih Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia. Miranda menang dengan dukungan 41 suara melawan 13 suara.

4 Juli 2008
Agus Condro Prayitno, bekas anggota Komisi Keuangan dari Fraksi PDI Perjuangan, melapor ke KPK telah menerima cek pelawat senilai Rp 500 juta untuk memenangkan Miranda.

5 September 2008
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan transaksi 400 cek pelawat yang diuangkan anggota Komisi Keuangan, kerabat, atau stafnya.

6 Oktober 2008
Ketua KPK Antasari Azhar menyatakan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tidak dapat dijadikan alat bukti persidangan.

4 Mei 2009
Antasari ditahan di Polda Metro Jaya karena diduga terlibat pembunuhan Direktur PT Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.

8 Juni 2009
KPK menetapkan Hamka Yandhu (Fraksi Golkar), Endin A.J. Soefihara (Fraksi PPP), Dudhie Makmun Murod (Fraksi PDI Perjuangan), dan Udju Djuhaeri (Fraksi TNI/Polri) sebagai tersangka penerima cek pelawat.

8 Maret 2010
Dudhie menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Tiga hari kemudian sidang Udju digelar, dan sepekan kemudian giliran Endin dan Hamka.

17 Mei 2010
Hakim memvonis bersalah Endin J. Soefihara, Udju Djuhaeri, Hamka Yandhu, dan Dudhie Makmun Murod. Mereka dinyatakan terbukti menerima suap dalam bentuk cek pelawat.

16 Juni 2009
Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus penyalahgunaan wewenang pencekalan Anggoro Widjaja dan pencabutan cekal Joko S. Tjandra.

1 September 2010
KPK mengumumkan 26 nama mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan yang berstatus tersangka penerima cek pelawat.

25 November 2010
Busyro Muqoddas terpilih menjadi Ketua KPK. ”Saya akan memprioritaskan kasus cek pelawat,” kata Busyro.

24 Januari 2011
Jaksa Agung Basrief Arief mengeluarkan deponering untuk Bibit-Chandra.

28 Januari 2011
KPK memeriksa 19 tersangka cek pelawat dan menahan mereka. Di antaranya Panda Nababan dan Paskah Suzetta.

1 Februari 2011
KPK menangkap dan menahan tiga tersangka lain.

  1. Maximilian Willem Tutuarima
  2. Rusman Lumbantoruan
  3. Budiningsih

Mereka yang sudah divonis

  • Hamka Yandhu (Golkar), menerima Rp 2,25 miliar Divonis 2,6 tahun penjara, kini di penjara Salemba, Jakarta.
  • Endin A.J. Soefihara (Partai Persatuan Pembangunan), menerima Rp 500 juta Divonis 1,3 tahun plus denda Rp 100 juta. Ditahan di LP Pondok Rajeg, Bogor.
  • Udju Djuhaeri (Fraksi TNI/Polri), menerima Rp 500 juta Divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta, mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung
  • Dudhie Makmun Murod (PDI Perjuangan), menerima, Rp 500 juta Divonis 2 tahun penjara, kini di penjara Cipinang, Jakarta.
  • Total yang sudah terungkap: Rp 20,65 miliar

    Asal Muasal Cek

    Dibeli PT First Mujur Plantation and Industry dari Bank Internasional Indonesia melalui Bank Artha Graha.

  • Jumlah: 480 lembar
  • Nilai: Rp 50 juta perlembar
  • Total cek dibeli: Rp 24 miliar
  • Cek diduga dibawa Nunun Nurbaetie, diserahkan ke Arie Malangjudo.
  • Arie menyerahkan cek itu kepada empat anggota Komisi Keuangan mewakili fraksi mereka: Hamka Yandhu (Fraksi Golkar), Udju Djuhaeri (Fraksi TNI/Polri), Dudhie Makmun Murod (Fraksi PDIP), dan Endin A.J. Soefihara (Fraksi PPP).
  • Cek dibagikan kepada: 41 orang dari 54 anggota yang hadir. Dua anggota komisi, Mohammad S. Hidayat (Fraksi Partai Golkar), dan Rizal Djalil (Fraksi Reformasi), tidak hadir.

    Dalam Lingkaran Pemberi

  • Nunun Nurbaetie
    saksi
    Mengaku sakit amnesia, diperkirakan kini di Singapura. Diduga sebagai pemberi perintah pembagian cek pelawat.

  • Ahmad Hakim Safari alias Arie Malangjudo, mantan Direktur PT Wahana Esa Sejati
    saksi
    Berperan membagikan cek pelawat kepada para utusan fraksi.

  • Andy Kasih, Direktur Artha Graha
    saksi (sempat dicekal)

  • Hidayat Lukman, Direktur Utama PT First Mujur Plantation and Industry

  • Budi Santoso, Direktur Keuangan PT First Mujur Plantation and Industry
    saksi

  • Miranda Swaray Goeltom
    saksi
    Status: masuk daftar cegah tangkal.

    Naskah: Mustafa Silalahi
    Sumber: Pusat Data Analisa Tempo, wawancara

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus