Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Semut-Semut Gula Haram

Polisi menetapkan delapan orang tersangka kasus penyelundupan gula. Pihak yang diduga terlibat sama-sama cuci tangan.

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDAI saja manisnya teh atau kopi yang Anda teguk pagi ini berasal dari gula selundupan, apa yang Anda pikirkan? Mungkin Anda akan merasa berdosa dan tiba-tiba terbayangkan betapa sakitnya hati para petani tebu. Kini hidup mereka semakin sulit karena gula dari tebu yang mereka hasilkan harus bersaing dengan gula selundupan yang lebih murah. Akibatnya, hasil panen tebu mereka menjadi kurang berharga.

Masuknya gula selundupan di pasaran bukan tidak mungkin telah terjadi berkali-kali, kendati sebagian dari praktek kotor ini telah terbongkar. Baru-baru ini sekitar 73 ribu ton gula haram juga telah dicegat sebelum beredar di pasaran.

Ribuan ton gula putih itu kini tertahan di gudang Bandhagharareksa di Kelapa Gading, dan gudang Hobros di kawasan Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta. Dalam dua pekan terakhir, satu per satu "semut" yang terlibat penyelundupan gula itu diperiksa dan ditahan kepolisian. Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Polisi Suyitno Landung, Rabu pekan lalu menyebut jumlah tersangka kasus gula ilegal ini mencapai delapan orang.

Dua tersangka yang telah ditahan adalah Kepala Divisi Perdagangan Induk Koperasi Unit Desa (Inkud), Abdul Waris Halid, dan Effendi Kemek dari konsorsium pengimpor gula. Dua tersangka lainnya, Andi Badar Saleh dan Jack Tanim, yang disebut-sebut sebagai penghubung antara pihak konsorsium dan Inkud, hingga kini masih buron.

Suyitno Landung juga menyebut tiga pejabat Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tanjung Priok I sebagai tersangka. Mereka adalah Wahyono (Kepala Kantor), Yamiral (Kepala Seksi Pencegahan dan Penyelidikan), dan M. Zein (Kepala Sub-Direktorat Intelijen). Satu lagi dari pihak importir, Direktur PT Phoenix Commodities Raja Banerjee, yang kini masih berada di Thailand. Adapun beberapa saksi yang kini masih diperiksa bisa saja menyusul menjadi tersangka.

Sejumlah tersangka dituduh terlibat dalam pemalsuan bill of lading atau dokumen pengapalan dan eigen lossing atau surat permohonan pembongkaran. Menurut polisi, di antara para tersangka, Effendi Kemek telah mengaku memalsukan dokumen tersebut. Kedua dokumen itulah yang membuat arus penyelundupan nyaris sempurna dan tak terdeteksi.

Kasus ini terungkap setelah Menteri Perindustrian Rini Soewandi menjenguk sejumlah gudang penimbunan di kawasan Tanjung Priok, pertengahan bulan lalu. Ternyata gula asal Thailand itu diketahui masuk dengan dilengkapi dokumen palsu. Sebab, tata niaga impor gula yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643/MPP/Kep/IX/2002 menyebut keran impor gula itu ditutup pada 30 April 2004. Pembatasan ini dilakukan untuk melindungi gula petani menjelang masa giling 2004. Namun ribuan ton gula itu terus mengalir hingga akhir Mei.

Impor ilegal tersebut memanfaatkan collateral management agreement atau surat perjanjian kerja sama dengan jaminan Inkud bersama PT Sucofindo, Standard Chartered Bank, dan Phoenix Commodities. Dalam perjanjian ini, Standard Chartered berperan sebagai pemberi kredit kepada Phoenix untuk membeli gula dari sentra perdagangan di Thailand. Adapun Sucofindo bertanggung jawab atas gula tersebut, mulai dari muatan dibongkar hingga barang dikeluarkan dari gudang atas permintaan Inkud. Phoenix menjual gula ke Inkud atas nama PTPN X (satu dari lima perusahaan yang mengantongi izin impor gula).

Dari perjanjian itu berlayarlah 12 kapal dengan lambung penuh gula dari Thailand. Kapal itu menuju Pelabuhan Tanjung Priok dan satu kapal lagi bersandar di Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka membongkar muatan dan mengosongkan isi lambungnya pada pertengahan Mei lalu.

Ribuan ton gula itu lolos meski melanggar batas waktu yang ditentukan dalam SK 643, karena adanya surat yang dari Irwan Basri, Direktur Pemasaran PTPN X. Dalam surat bertanggal 6 Mei itu Irwan memohon izin membongkar muatan di Kantor Pelayanan Bea Cukai Tipe A Tanjung Priok. Bea Cukai menyetujuinya dengan menerbitkan surat pada 11 Mei. Terbitnya surat Bea Cukai ini tanpa mempedulikan izin impor gula yang mestinya sudah basi.

Terbitnya surat dari Bea Cukai ini mengakibatkan tiga aparatnya menjadi tersangka. Apalagi, kepada TEMPO, pihak PTPN X membantah pernah mengeluarkan surat permohonan itu. "Itu bukan surat permohonan dari PTPN X," kata Direktur Utama PTPN X, Duduh Sadarachmat, membela aparatnya. Surat permohonan bongkar muatan yang mencatut nama Irwan inilah yang diduga palsu.

Duduh membenarkan adanya perjanjian kerja sama impor gula antara PTPN X dan Inkud. Perjanjian yang diteken Waris Halid?adik Ketua Inkud Nurdin Halid?mewakili Inkud dan Duduh dari pihak PTPN X itu memang menyebut berakhirnya kerja sama pengiriman gula pada 31 Mei atau mundur sebulan dari SK Menteri No. 643. Untuk mengulur batas waktu impor hingga akhir Mei, PTPN X menyampaikan surat permohonan izin perpanjangan waktu pengapalan kepada Dirjen Bea dan Cukai pada 14 April.

Namun sampai 30 April?batas waktu yang tercantum dalam SK 643?permohonan PTPN X tidak mendapat tanggapan. PTPN X akhirnya mengikuti batas waktu impor yang ada pada SK Menteri tersebut. Itu sebabnya, mereka menampik bahwa gula yang berdatangan melewati batas waktu itu miliknya.

Adapun Inkud, yang dalam dokumen collateral management agreement bertindak sebagai pemesan, juga tidak terang-terangan mengakui sebagai pemilik gula tersebut. Ketua Inkud Nurdin Halid menyebut gula itu milik konsorsium. Inkud hanya bekerja sama dengan PTPN X sebagai importir terdaftar gula. "Inkud hanya mendapat fee," katanya.

Anehnya, konsorsium yang terdiri dari lima perusahaan pun menolak mengakui sebagai pemilik gula yang tersimpan di gudang Hobros dan BGR. Menurut Direktur PT Mega Raya Sejahtera (salah satu dari konsorsium gula), Mulyo Setiawan, mereka hanya ikut dalam impor gula 32.920 ton. Itu pun datang sebelum 30 April sesuai dengan SK Menteri No. 643.

Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Wilayah PTPN XI, Arum Sabil, mengaku heran dengan sikap Inkud. Sebab, dalam perjanjian kerja sama penjaminan, Inkud berperan sebagai pembeli. Sedangkan lima perusahaan yang disebut sebagai konsorsium itu tidak disebutkan.

Karena tidak ada pihak yang mengaku sebagai pemilik, muncullah usul agar pemerintah menyita gula itu sebagai cadangan nasional. Usul lain menuntut agar dimusnahkan. Rencana pemusnahan ini membuat Phoenix kelabakan. Mereka mengaku berhak atas 56 ribu ton di antara gula selundupan itu. Sebab, Inkud baru membayar 15 persen sebagai uang muka. "Kami minta gula itu segera di re-ekspor," kata Elza Syarief, kuasa hukum Rakesh Sodhia, Direktur Phoenix Commodities PVT Ltd., yang berpusat di Thailand.

Hanya, soal pelanggaran impor, Phoenix angkat tangan. "Kami hanya melakukan hubungan kerja sama dengan Inkud yang diwakili Abdul Waris Halid," kata Elza. Kerja sama itu berpegang pada surat perjanjian impor gula antara PTPN X dan Inkud yang menyebut berakhir pada 31 Mei.

Menurut Edison Betaubun, yang menjadi pengacara Abdul Waris, kliennya hanya mewakili Inkud dalam kerja sama dengan konsorsium gula atas petunjuk PTPN X. Ia juga mengaku tidak terlibat dalam pembuatan dua dokumen palsu yang diributkan itu. Menurut Edison, otak pemalsuan dokumen adalah dan JT (Jack Tanim) selaku pelaksana dari konsorsium. Kemudian Effendi Kemek sebagai pegawai pada konsorsium yang membuatkan dokumen palsu. "Inkud hanya tanda tangan," katanya.

Dalam kasus ini Abdul Waris dijerat dengan Pasal 263 dan Pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman hingga enam tahun penjara. Edison mengatakan, penyidik di kepolisian terlalu tergesa-gesa dalam menentukan tersangka dalam kasus gula ilegal. Dia menilai aparat menetapkan status tersangka pada kliennya karena Menteri Perindustrian dan Perdagangan sudah telanjur menyebut gula itu ilegal. "Dan aparat ingin membenarkan omongan pejabat itu," katanya. Abdul Waris sendiri hanya bersedia menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) sebagai saksi, tapi sebagai tersangka ia masih menolaknya.

Siapa pun otak sesungguhnya, pelanggaran batas waktu impor telah terjadi. Mengetahui praktek ini, tidak terbayangkan betapa sakitnya hati para petani tebu.

Agung Rulianto, Martha Wartha, Muhamad Nafi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus