Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Harjono di vonis palsu

Ketua Ikadin Harjono Tjitrosoebono tampil di persidangan sebagai saksi dalam perkara Abdul Nasser, tersangka pemalsuan vonis Mahkamah Agung. sebagian besar isi Bap dibantah.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang Sabtu pekan lalu sesak pengunjung, sejenak hening. Pada saat itu seorang saksi penting, Harjono Tjitrosoebono, tokoh dunia advokat, bersafari abu-abu tua, memasuki ruangan dengan langkah tegap, dan tanpa senyum. Lebih dramatis lagi, ketua umum Ikadin itu dikawal sejumlah anggotanya, di antaranya Maruli Simorangkir, Hotma Sitompul, John Pieter Nazar, Sudjono, dan T.M. Abdullah. Hari itu adalah penampilan pertama Harjono sebagai saksi dalam perkara Abdul Naser, tersangka pemalsuan vonis Mahkamah Agung (MA). Abdul Naser, karyawan Mahkamah Agung itu, dituduh jaksa memalsukan putusan MA terhadap Tony Goritman, terpidana dalam kasus penyelundupan rotan, yang menjadi klien Harjono. Putusan MA asli yang menghukum Tony tiga tahun penjara dan denda Rp 10 juta, menurut jaksa, telah disulap menjadi vonis bebas. Imbalannya, Abdul Naser mendapat uang Rp 50 juta dari Tony Goritman. Apa hubungan Harjono? Pengacara senior itu, menurut Berita Acara Pemeriksaan (BAP), setidaknya, mengetahui jual beli vonis palsu itu. Bahkan, dalam rekonstruksi polisi, Harjono menyaksikan penyerahan vonis palsu itu oleh Abdul Naser kepada Tony, dan sebaliknya penyerahan uang dari Tony ke Abdul Naser. Namun, di persidangan, dengan suara mantap dan tegas, Harjono membantah kembali sebagian besar pengakuannya di polisi. Menurut Harjono, yang benar, pada Mei 1990, Naser datang ke rumahnya menawarkan bantuan untuk mengurus perkara kasasi Tony Goritman. "Saya waktu itu menjawab, kalau mau membantu sih boleh saja. Tapi terdakwa tidak menjelaskan apa bentuk bantuannya, dan saya juga tidak menanyakan bagaimana proses membantunya." Jawaban Harjono segera ditukas anggota majelis Sarwono. "Kenapa keterangan Saudara berbeda dengan BAP?" Ketika ditanya maksud kedatangannya ke Hotel Borobudur, tempat berlangsungnya negosiasi antara Naser dan Tony, Harjono menjawab tegas, karena ingin mendengar berita baik tentang putusan MA yang menguntungkan kliennya. "Secara moril saya ingin membantu mengenai berita kebebasan klien saya, dan memberi penjelasan secara hukum apakah benar putusan itu menguntungkan atau tidak." Saat Harjono tiba di hotel itu, di situ sudah ada Tony Goritman dan Lukman Harjono ((direktur dan pemilik PT Bali Rotan Mas Surabaya). Beberapa saat kemudian, datanglah Naser. "Saya lihat Naser membawa tumpukan berkas, tapi saya tidak tahu isi berkas itu," kata Harjono. Naser, Lukman, dan Tony, menurut Harjono, yang kemudian memisahkan diri, terlibat pembicaraan serius. "Saya tidak tahu isi pembicaraan mereka," ujarnya. Toh Harjono, yang pernah membela kasus Bank Duta dan peristiwa Malari ini, mengakui bahwa dia pernah diperlihatkan putusan MA yang membebaskan Tony. "Saya hanya membaca diktumnya sepintas. Saya simpulkan, akibat diktum itu klien saya bebas. Karena hanya melihat sepintas, saya tak tahu kalau itu ternyata vonis palsu." Tentang imbalan Rp 50 juta, yang diterima Naser sebagai "ganti ongkos" membuat vonis palsu, Harjono mengaku tidak tahu menahu. Jawaban itu membuat Hakim Ketua Syafei Hidayat emosi. Sebab, di BAP disebutkan Naser minta Harjono membayar "upahnya" Rp 50 juta, dan Harjono meneruskan permintaan itu pada Lukman. "Anda kan profesional. Jadi jangan pura-pura tidak tahu," kata Hakim Syafei sambil menggebrak meja. Kali ini tangan Harjono terlihat gemetar. "Seingat saya, Naser tak pernah bicara soal uang," jawab Harjono tersendat. Tampaknya majelis belum puas. "Kami tahu ini bukan perkara Saudara, jadi kami tidak akan menggali lebih dalam. Tapi tolong ceritakan yang benar. Keterangan Saudara berbeda dengan BAP," kata Syafei. Toh, Harjono bergeming dengan keterangannya, dan menyatakan tak pernah memberi keterangan seperti dalam BAP. "Bahwa BAP itu diubah, ya, saya tidak tahu," katanya enteng. Perkara dengan tersangka Harjono sendiri, hingga sekarang belum jelas benar. Perkara yang pernah diajukan ke kejaksaan itu dikembalikan Kejaksaan Tinggi Jakarta ke polisi untuk dilengkapi. "Sekarang berkasnya masih berada di Mabes Polri, belum dikirim lagi ke kejaksaan," ujar Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, B.T.P. Siregar. Aries Margono dan Nunik Iswardhani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus