KEJAKSAAN Agung mengukir sejarah baru: punya Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (TUN). Selasa pekan ini, posisi Wakil Jaksa Agung itu akan ditempati Duyeh Suherman, 59 tahun. Ia dilantik bersama tiga Jaksa Agung Muda (JAM) baru: Soehadibroto (Perdata dan Tata Usaha Negara), Adrianuddin Salim (Pengawasan), dan Mohamad Hasan (Tindak Pidana Umum -- menggantikan posisi Duyeh). Dengan tambahnya satu bidang baru itu, kini Kejaksaan Agung memiliki enam JAM (termasuk Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Intelijen, dan Pembinaan). Yang paling menarik untuk disimak, munculnya jabatan baru Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara. Ia diberi tugas khusus untuk mewakili Pemerintah dalam menghadapi kasus-kasus perdata dan tata usaha negara. Kasus-kasus itu belakangan memang terasa kian marak. Untuk perkara yang ditangani PTUN Jakarta saja, pada periode 1991, tercatat 132 perkara yang masuk. Sementara itu, biro-biro hukum berbagai instansi pemerintah tak punya tenaga terampil untuk beracara di pengadilan. Belum lagi gugatan perdata yang diajukan warga terhadap pejabat dan instansi pemerintah di pengadilan negeri. Dan dengan bidang baru itu pula, diharapkan Pemerintah semakin aktif mengejar uang dan harta hasil korupsi melalui gugatan perdata. Selama ini, umumnya pelaku korupsi hanya ditunut hukuman badan, denda, dan barang buktinya disita. Struktur baru itu juga memberi keluwesan pada jaksa. Dulu, jaksa hanya bisa mewakili Pemerintah di pengadilan, tapi sekarang ia bisa melakukan negosiasi di luar pengadilan untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan Pemerintah. "Kejaksaan itu merupakan government law firm. Kita akan menuju ke sana, membantu Pemerintah dan instansinya dalam pelayanan hukum." Menurut JAM Perdata dan Tata Usaha Negara Soehadibroto, tugasnya tak cuma mewakili negara atau Pemerintah, tapi juga kepentingan masyarakat. Tugas semacam itu sudah lama dikenal di negara maju, seperti di Amerika -- disebut class action. "Ini adalah masalah baru di Indonesia," kata alumni UI 1963 itu. Misalnya, kata Soehadibroto, ada pabrik yang mencemari sungai, sehingga banyak penduduk yang mandi di situ terserang penyakit kulit. Menurut sistem hukum Indonesia sekarang, jika akan menuntut pabrik itu, setiap orang yang terkena penyakit harus memberikan surat kuasa pada pengacara. "Seribu orang yang menuntut, seribu pula surat kuasanya." Dengan struktur yang baru, menurut Soehadibroto, tanpa ada surat kuasa, atas nama masyarakat, jaksa bisa menggugat pabrik pencemar tadi ke pengadilan perdata. Dalam sejarah peradilan, masyarakat selalu gagal menuntut masalah seperti ini, seperti yang dialami Pengacara R.O. Tambunan dan organisasi lingkungan hidup Walhi. Tambunan, dengan mengatasnamakan masyarakat, mencoba menggugat Bentoel Remaja, yang ketika itu mengeksploatasi remaja sedang merokok dalam iklannya. Sementara itu, Walhi menggugat PT Inti Indorayon karena pencemaran lingkungan. Tapi kedua gugatan itu ditolak hakim karena si pengacara tak mendapat kuasa tertulis dari orang-orang yang merasa dirugikan. "Nantinya tugas itu diambil kejaksaan atas nama masyarakat. Jadi, silakan memberi masukan pada kejaksaan," kata Soehadibroto. Tentang tenaga, menurut Soehadibroto -- bekas Koordinator Staf Ahli Jaksa Agung -- pihak kejaksaan diam-diam sudah lama menyiapkannya. "Kini kami punya 300 jaksa perdata yang tersebar di seluruh kejaksaan," katanya. Kelahiran pos baru kejaksaan itu -- juga Wakil Jaksa Agung -- merupakan perwujudan UU Kejaksaan 1991. Menurut Jaksa Agung Singgih, fungsi Wakil Jaksa Agung itu sekarang amat diperlukan, "Agar tugas-tugas Jaksa Agung yang strategis bisa dikerjakan dengan lebih baik." Aries Margono dan Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini