BERAPA harga nyawa empat orang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB)? Tentu tak ternilai. Toh, majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung menolak tuntutan ganti rugi empat janda dosen IPB yang suaminya tewas akibat mobil yang ditumpangi tersambar kereta api. Padahal di sidang, Kamis dua pekan lalu, majelis hakim yang diketuai Muslim Sidik menyatakan Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) bersalah melakukan kelalaian sehingga keempat suami penggugat meninggal. Namun, majelis hanya menghukum Perumka mengganti kerugian kepada penggugat satu, Nyonya Endang Triwulaningsih Wahyudi, berupa sebuah mobil Toyota Super Kijang baru. Sementara ganti kerugian lain sebesar Rp 2 milyar akibat kehilangan kepala keluarga, yang dituntut para janda itu, ditolak majelis hakim. Putusan itu menggusarkan para penggugat. Penolakan itu, kata pengacara keempat janda tadi, Nyonya Amartiwi Saleh, tanpa pertimbangan hukum. "Itu kan tidak benar," kata Amartiwi dengan nada tinggi. Kematian suami, yang nyawanya terenggut karena kelalaian pegawai Perumka itu, tentu tak diinginkan keluarga korban. "Coba tanya para istri direksi Perumka, maukah suaminya meninggal, dan diganti uang Rp 500 juta. Saya pikir, istri mereka akan memilih suami dibandingkan uang Rp 500 juta," kata Amartiwi lagi. Nasib buruk yang menimpa empat janda itu berawal dari kecelakaan pada Juni dua tahun silam. Kala itu, Toyota Super Kijang yang ditumpangi empat dosen IPB, Wahyudi Sukardi, Ichwantoari, Herry Santoso, dan Syarif Hidayat, disambar kereta api di pintu lintasan kereta Jalan Raya Cimanggu, Kedung Badak, Bogor. Keempat korban tewas. Kecelakaan itu terjadi karena kelalaian penjaga pintu kereta di situ, Udin Tadjudin. Ketika mobil yang ditumpangi korban melewati rel tersebut, sedikit pun tak ada tanda-tanda kereta akan lewat. Pintu lintasan, misalnya, tetap terbuka. Rupanya, Udin ketika itu tidak ada di tempat tugasnya. Akibat kelalaian itu, pada November 1990, Udin dihukum 3 tahun 6 bulan penjara. Vonis hakim itu tentu saja tidak memulihkan kerugian para korban. Oleh karena itu, lewat pengacara Harjono Tjitrosoebono dan Amartiwi Saleh, janda keempat dosen tersebut menggugat Perumka. Mereka menuntut ganti rugi material dan imaterial. Kerugian material diperhitungkan sebagai akibat kehilangan suami dan ayah anak-anak yang seharusnya dapat melindungi, memelihara, dan membiayai ongkos kehidupan serta keperluan hari depan. Ongkos kehidupan yang dimaksud dinilai Rp 15 juta setahun, yang diperhitungkan dalam 20 tahun, atau Rp 300 juta per keluarga. Sedang perhitungan imaterial menyangkut kehidupan menjanda dan anak-anak yang menjadi yatim piatu. Kerugian itu dinilai Rp 200 juta per keluarga. Jadi, total kerugian yang dituntut empat keluarga tadi Rp 2 milyar. Selain itu, Nyonya Endang Triwulaningsih Wahyudi juga menuntut agar mobil miliknya yang ditabrak kereta api diganti Perumka. "Gugatan Rp 2 milyar itu tidak riil. Memang, pegawai Perumka salah, tetapi hitungan masa depan anak-anak korban itu tidak riil," kata Muslim. Jadi,"Saya pikir penggantian mobil kijang itu sudah cukup." Amartiwi menyatakan kekecewaannya dengan putusan hakim tersebut. "Seharusnya hakim mempertimbangkan, bukan menolak," katanya. Menurut Amartiwi, kalau hakim menganggap tuntutan itu terlalu banyak, dalam putusan kan dapat dikurangi. Ia menilai putusan hakim menolak ganti rugi, hanya karena Perumka perusahaan milik negara. "Biasa, kalau yang digugat pemerintah atau perusahaan milik pemerintah, selalu mentok," kata Amartiwi yang kini menyatakan banding. Sebaliknya, Perumka mengatakan puas dengan putusan hakim. Dan jika tergugat naik banding, Perumka juga akan ikut naik banding. Apa pun putusan hakim di tingkat banding atau kasasi nanti, kata Kepala Humas Perumka Joko Martoyo, akan tetap dijalani. "Kalau putusannya ganti mobil Kijang baru, ya, kami ganti ...." ujar Joko enteng. Sri Pudyastuti R. (Jakarta) dan Ahmad Taufik (Bandung).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini