Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, sebuah perkara korupsi yang sudah bertahun-tahun disidik kejaksaan juga terdampar dalam vonis yang sama: bebas untuk terdakwa. Kasus yang menghebohkan ini menyangkut dana cengkeh Rp 115 miliar, terdakwanya Nurdin Halid, yang adalah petinggi Golkar dan tokoh koperasi di Makassar. Nurdin Halid ini akhirnya divonis bebas pada Maret 1999.
Ternyata, di Makassar bukan cuma Nurdin Halid yang beruntung, karena selama setahun ini setidaknya ada 30 perkara bernasib serupa. Tak kurang seru, 14 dari 30 perkara korupsi yang divonis bebas itu diputus oleh Ketua Pengadilan Negeri Makassar sendiri, yakni Soewito. Tiga di antara perkara yang ditangani Soewito adalah perkara Nurdin Halid, Amiruddin Maula, dan Tahir Taliu.
Besarnya jumlah perkara korupsi yang divonis bebas di Makassar tentu amat memprihatinkan. Sangat wajar bila pengadilan di situ tak henti-henti diterpa gelombang demonstrasi. Pada Sabtu dua pekan lalu, misalnya, sejumlah pengunjuk rasa sampai memajang spanduk bertuliskan: Makassar, Surga Para Koruptor.
Tak kurang memprihatinkan adalah vonis bebas pada 14 Februari 2000 yang diketuk di Pengadilan Negeri Banda-aceh untuk kasus korupsi senilai Rp 216 juta dalam proyek air minum. Hakim menilai kedua terdakwa, mantan wali kota Banda-aceh Sayed Hussain Al-Haj serta bawahannya, Sayed Zainuddin, tidak terbukti korupsi.
Perihal tak cukup bukti semacam itu juga yang menyelamatkan mantan bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, dari sanksi hukum antikorupsi. Mahkamah militer di Semarang, pada Juli 1999, hanya tega menyimpulkan bahwa sang Kolonel berupaya menyuap Rp 1 miliar ke Yayasan Dharmais yang dipimpin mantan presiden Soeharto. Uang suap itu dimaksudkan untuk memuluskan usaha Sri Roso agar terpilih menjadi bupati untuk kedua kalinya. Karena welas asih petinggi mahkamah militer di Semarang, Sri Rosodiduga kuat terlibat kasus pembunuhan wartawan harian Bernas, Udinhanya divonis sembilan bulan penjara.
Para hakim umumnya berdalih bahwa berbagai vonis bebas di atas sudah diputuskan berdasarkan keyakinan dan fakta-fakta di persidangan. Kalaupun mau ditelusuri kelemahannya, menurut Hakim Tabyuni di Banda-aceh, itu semata-mata lantaran bukti-bukti yang diajukan jaksa sangat lemah. "Dalam perkara Sayed Hussain Al-Haj, jaksa juga tidak siap dalam mengajukan kasus itu," kata Tabyuni.
Kolega Tabyuni di Makassar, Hakim Soewitopensiun sejak awal Maret lalujuga sependapat. "Kalau fakta di persidangan mengharuskan kami memvonis bebas, ya, bebas. Jangan dicurigai ada apa-apanya," ujar Soewito, yang selalu mengendarai sedan BMW keluaran terakhir.
Korps jaksa tak begitu saja bisa menerima pelimpahan kesalahan ke alamat mereka. "Kurang bukti apa lagi? Dalam perkara Tahir Taliu, bukan hanya para saksi yang mengakui penggunaan uang negara, terdakwa pun mengakui hal itu," kata Kemas Yahya Rahman dari Kejaksaan Negeri Makassar. Dalam perkara Tahir, menurut Kemas, terdakwa mengaku bahwa uang Rp 300 juta hasil korupsi itu dibagi-bagikannya kepada tiga pejabat di Jakarta, dan Rp 423 juta dimasukkan ke rekening pribadi Tahir.
Argumentasi Jaksa Kemas mungkin ada benarnya. Ada contoh lain mengenai kasus korupsi di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulawesi Utara, lewat commercial paper senilai Rp 11 miliar. Semula, dua terdakwa, yakni mantan direktur utama BPD Sulawesi Utara Debir Urbanus Kaligis dan Presiden Direktur PT Oscar Rini Trading Company (ORTC), Johannes Oscar Pangemanan, masing-masing divonis 9 tahun dan 15 tahun penjara.
Tapi terdakwa ketiga, Rini Pangemanan Mamahit, yang menjabat Presiden Komisaris PT ORTC, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado. Belakangan, Mahkamah Agung meralat vonis bebas Rini. Istri Johannes Oscar itu divonis hukuman lima tahun penjara karena dianggap terbukti terlibat dalam kasus korupsi tersebut.
Tak dapat dimungkiri, para jaksa juga acap kali tak cermat memberkas kasus korupsi ke pengadilan. Bukti yang mencolok adalah perkara korupsi ruilslag Bulog-Goro dengan terdakwa Kepala Bulog Beddu Amang. Gara-gara jaksa tak mencantumkan status Beddu selaku anggota MPR, akibatnya pengadilan membatalkan perkara itu.
Fenomena yang sama terjadi dalam perkara korupsi Rp 5,8 miliar di Pengadilan Negeri Stabat, Langkat, sekitar 70 kilometer dari Medan. Jaksa tak mencantumkan status salah seorang terdakwa kasus itu, Rahmat Hasibuan, sebagai pegawai negeri. Terdakwa utamanya, Zulkifli Harahap, yang juga atasan Rahmat, bahkan sudah dua tahun tak bisa diperiksa jaksa. Itu karena Zulkifli disebutkan sedang sakit berat dan dirawat di Jakarta. Baru Ahad pekan lalu, jaksa berhasil memboyong Zulkifli ke Medan.
Selain tidak cermat, jaksa juga dianggap kurang piawai dalam mengegolkan perkara korupsi di pengadilan. Bahkan dalam kasus korupsi dengan terdakwa Nurdin Halid, jaksayang pasti diguyur uangsudah keburu menuntut terdakwa dengan vonis bebas.
Kasus korupsi Rp 20 miliar di BPD Jawa Tengah lain lagi ceritanya. Jaksa memecah perkara itu menjadi dua gelombang. Gelombang pertama mengajukan perkara korupsi senilai Rp 562 juta. Hasilnya, mantan Direktur Utama BPD Jawa Tengah, Panoet Harsono, divonis setahun penjara. Namun, begitu perkara gelombang kedua diajukan, terdakwa Panoet meninggal dunia pada 8 Oktober 1999. Tanpa kehadiran terdakwa, kasusnya pun sirna.
Daftar dosa dan kelemahan jaksa masih panjang, termasuk dugaan bahwa jaksa sengaja "memetieskan" berbagai kasus korupsi yang gencar dilaporkan masyarakat, terutama sejak gelora reformasi mewarnai negeri ini. Menurut Pengacara Soenanto Hadi Suseno, di Jawa Timur, dari segerobak perkara korupsi yang ada, cuma perkara kliennya, Mubayin, yang sampai ke pengadilan. Mubayin, yang dituduh memanipulasi dana sekitar Rp 80 juta dari para calon pegawai negeri, akhirnya divonis bebas. Tapi banyak kasus korupsi lainnya, seperti kasus BPD Jawa Timur, kasus Bupati Lamongan dan Bupati Tuban, tak terdengar kelanjutannya.
Gejala yang sama ditengarai terjadi di Bali. Sampai saat ini, baru perkara korupsi Rp 1, 9 miliar, dengan terdakwa Putu Wirya Masna, yang diadili. Putu ini pun akhirnya divonis bebas.
Dengan begitu banyak kegagalan dalam rapor penegakan hukum antikorupsi, yang berakibat koruptornya bebas alias tak dijebloskan ke penjara, masyarakat akhirnya meragukan kesungguhan lembaga peradilan dalam upaya memberantas korupsi. Tak terlalu salah pula jika mereka curiga, jangan-jangan para jaksa dan hakim harus dipensiunkan dini karena tak mampu mengemban misi reformasi. Belum terhitung adanya sinyalemen tentang permainan uang pada berbagai vonis bebas dalam kasus korupsi.
Tak mengherankan bila Pengacara Abraham Samad di Makassar merasa sangat yakin bahwa 99 persen hakim di daerah itu terlibat permainan uang. "Kalaupun ada satu hakim yang jujur, ia akan kalah dengan dua hakim lainnya dalam suatu perkara korupsi," kata Abraham. Ahli hukum di Makassar, Prof. Achmad Ali, membenarkan dugaan Abraham. "Dalam pengadilan kasus korupsi berlaku hukum pasar. Putusan dari hakim yang kuat latar belakang agamanya akan berbeda dengan putusan hakim yang taat mencari dana pensiun di dunia," kata Achmad Ali bertamsil.
Memang tak gampang membuktikan adanya suap di balik vonis. Selain jarang ada saksi, tanda bukti berupa kuitansi penerimaan uang dari terdakwa kepada hakim belum tentu disiapkan. Sekalipun demikian, terdakwa kasus korupsi kredit usaha tani senilai Rp 1,5 miliar, Jhen B. Akib, mengaku dirinya telah dipaksa menyerahkan uang Rp 53 juta kepada jaksa di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah. Itu sebabnya, istri Jhen melaporkannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta.
Kendati demikian, Jaksa Tenny M. Podungge membantah tudingan Jhen. "Tuduhan bahwa jaksa telah memeras terdakwa Jhen tidak benar. Bukti-bukti kuitansi pengeluaran uangnya bukan diterima jaksa, tapi diterima pengacaranya sendiri," ujar Tenny.
Benar-tidaknya tuduhan itu, seharusnya instansi kejaksaan segera mengusutnya secara tuntas. Demikian pula terhadap berbagai tudingan suap ke alamat hakim, yang semestinya diperiksa oleh Mahkamah Agung. Kalau tidak, dalam kondisi yang serba tidak sehat itu, ditambah dengan persepsi hakim yang masih konvensional dalam menguji kasus korupsi, bagaimana mungkin korupsi bisa diberantas? Apalagi selama 32 tahun Orde Baru, pelaku korupsi semakin canggih, baik dari segi modus maupun konspirasinya.
Berbagai kasus korupsi semasa Soeharto berkuasa tak jarang dilindungi dengan perangkat hukum, yang secara formal seolah-olah benarentah berupa perjanjian, kebijakan pemerintah, ataupun keputusan presiden. Lalu berdasar surat keputusan presiden, yang isinya juga sering bertentangan, uang negara dan dana yayasan yang diketuai Soeharto dengan mudahnya mengalir deras ke berbagai bisnis keluarga dan kroni Soeharto. Jadi, tak terlalu salah kalau ada pemeo baru seperti ini: Koruptor mati, hiduplah korupsi!
Happy S., J. Kamal Farza (Banda-aceh), Tomi Lebang (Makassar), dan Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo