MUNGKIN pasangan Emilia Contesa - Rio Tambunan kini sedang asyik
menikmati hidup rukun dan bahagia. Tentu sambil melupakan apa
yang pernah terjadi sebelum mereka mencapai jenjang yang
sekarang ini. Syukur.
Namun agaknya di tengah madu cinta mereka, masih ada tersisa
'kasus hukum' yang tertinggal diam-diam menjadi perkara.
Ternyata perkara perceraian antara Rio dengan Jaoni, isteri
pertamanya, yang berlangsung sejak tahun 1973, belum beres.
Nyonya Oloan Jaoni Tampubolon masih mengunakan hak bandingnya
atas keputusan pengadilan tingkat pertama, yang menceraikannya
dari suami dan bapak anak-anaknya. Belum ada kata putus dari
hakim, tapi mengapa perkawinan Rio-Emil dapat berlangsung? Soal
inilah kabarnya yang akan digugat oleh calon janda Rio Tambunan.
Pernikahan mereka, tanggal 30 Maret di Gereja Bethel-Jatinegara,
di samping dipersoalkan sahnya oleh Jaoni, juga diperbincangkan
oleh keluarga Emil sendiri. Pihak keluarga Emil berkeberatan.
Berlangsungnya pernikahan adalah tanpa seizin mereka. Emil belum
mencapai umur yang bisa memberinya hak kawin tanpa ijin orang
tua.
Berapa sih umur Emil sebenarnya-19 tahun seperti yang
diumumkannya sendiri, atau ia lahir tahun 1952 seperti yang
tertera dalam SIM-nya? Bapak Emil, M. Hasan Ali, mengatakan:
pokoknya Emil belum dewasa, belum 21 tahun, yang menurut
Undang-Undang Perkawinan (UUP) masih harus mendapat izin orang
tuanya kalau hendak menikah. Pendeta Sapulete yang menikahkan
Rio dengan Emil mengelak. Ia toh telah mendapat keterangan dari
'wali' Emil, bahwa keluarga pengantin ini nun jauh di Banyuwangi
sudah setuju. Dan menurut Sapulete, 'wali' itu yang tidak lain
tante Emil sendiri --yang harus bertanggungjawab jika fihak
keluarganya mengajukan keberatannya.
Betapapun, fihak Kantor Catatan Sipil tampaknya tak hendak
mundur dari keadaan yang sudah terjadi seperti itu. Namun juga
diakui, untuk pencatatan-pencatatan berikut mereka akan lebih
cermat lagi. "Bahkan bagi yang sudah berusia 21 tahun sekalipun,
sedapat-dapatnya kami akan mengusahakan surat izin orang tua",
kata J.Patinaya, Wakil Kepala Kantor Catatan Sipil kepada TEMPO
(edisi 17 April).
Itu perkara Emil dan Rio. Secara umum jelaslah, kalau pejabat
yang berwenang sudah menyatakan sesuatu perkawinan itu sah, maka
itu harus diartikan, resminya, calon-calon mempelai itu
sebelumnya telah memenuhi semua syarat. Dan syarat-syarat itu,
oleh UUP yang berlaku efektif sejak 1 Oktober tahun lalu
itu--setelah dikeluarkannya peraturan pelaksanaannya -- telah
diperinci. Mula-mula, seperti pada Pasal 2 (1), "Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu". Dari sini jelas, pernikahan
atau perkawinan itu disandarkan pada dasar agama. Baru kemudian
pengantin, diwajibkan oleh undang-undang agar mencatatkan diri
pada pejabat catat nikah--lazimnya Penghulu bagi yang beragama
Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi lainnya.
Ternyata pada praktek perkawinan, banyak hal-hal yang dapat
menarik perhatian. Dan diam-diam dipersoalkan orang sebagai
persoalan baru. Mula-mula yang akan terhapus oleh ketentuan ini
ialah anggapan bahwa, dengan sepotong surat nikah
saja--bagaimanapun cara mendapatkannya--urusan sudah beres.
Bahkan ada yang merasa bangga, jika surat itu keluar dari Kantor
Catatan Sipil - yang konon punya harga di atas surat nikah yang
dipunyai oleh pribumi.Maklum yang bercokol di kantor itu, dulu,
amtenar Belanda - namanya saja amtenar burgerlijke stand.
MALAH begitu penting surat BS yang bisa diperoleh asal memenuhi
syarat administrtif itu, sehingga memberi kesempatan untuk
disalahgunakan. Sudah jadi rahasia umum kejadian seperti ini:
Ada wanita warganegara asing, atau yang tak berkewarganegaraan,
yang berani membayar ratusan ribu rupiah untuk memperoleh
sepotong surat nikah. Caranya tidak terlalu rumit. Cari saja
pemuda yang bersedia dibayar untuk bersama-sama meneken,surat
kawin di Kantor Catatan Sipil. Di belakang itu dibuat semacam
perjanjian, biasanya di atas kertas segel, yang menyatakan bahwa
perkawinan itu hanya formalitas belaka. Begitu mendapat surat
nikah, maka keduanya bersama-sama menghadap hakim untuk
menyetujui perceraian. Alasan yang paling dapat diterima, salah
satu mengaku saja telah berzina.Beres. Lalu dengan sepotong
surat nikah itu, sebelum gugatan cerai itu dibuat, si wanita
asing itu akan bisa memperoleh surat kewarganegaraan dengan
mudah dan murah. Untuk memenuhi berbagai syarat, malah untuk
mendapatkan pemuda yang bersedia menjadi 'suami', tidak susah
pula mencari calonya.
Selagi syarat-syarat administratif dipenuhi, Kantor Catatan
Sipil memang tak ada alasan untuk menolak pasangan suami isteri
yang berkawin-surat semacam itu. Gde Pudja MA, Direktur Jenderal
Bimas Hindu & Budha, menyayangkan kalau masih ada umat yang
dibimbingnya melakukan kawin-surat dalam arti baik sekalipun.
"Mereka harus diberi pengertian bahwa perkawinan itu suci maka
harus dilakukan melalui upacara agama lebih dulu? baru kemudian
dicatatkan untuk administrasi"? kata Pudja. Umumnya kalangan
agama lain juga sepakat begitu. "Itu yang diminta oleh gereja
sejak dulu", kata PN Harefa, Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas)
Kristen Protestan. Di beberap pelosok, sebut saja di Nias,
menurut Harefa sudah sejak lama masyarakat mementingkan upacara
agama dan adat dari pada soal kewajiban pencatatan. Dulu,
sebelum UUP efektif, mungkin ini dosa terhadap negara. Tapi
bukan apa-apa, "soalnya mereka terlalu jauh untuk mencapai
Kantor Catatan Sipil". Dirjen: Bimas Katolik, Ign. Djoko
Moeliono bersuara senada. Masa lalu pasangan pengantin harus
dicatat dulu, baru diberkati oleh pastor. Sekarang, kata Dirjen,
"apa ke gereja dulu atau ke Kantor Catatan Sipil? tidak. menjadi
soal". Apalagi, ada katanya "Imam atau Pastor itu juga sebagai
pembantu pejabat pen catat nikah".
Bagi umat Islam, yang instansi Ditjen Bimas Islam-nya paling
sibuk melaksanakan UUP, perkawinan haruslah pertama-tama sah
menurut agama. Ini persoalan pokok. Malah begitu pentingnya
upacara agama, sehingga di sana-sini ada yang melalaikan
kewajiban yang lain, yakni mendaftarkan perkawinan mereka.
Memang praktek yang tampaknya unik, tapi selama ini banyak yang
mengerjakannya. Bila segala sesuatunya sudah memenuhi ketentuan
agama, ada wali atau naib, ada dua orang saksi lalu terjadi
ijababul, maka sahlah sudah pasngan pengantin itu. Ulama Hamka
misalnya, pernah juga menikahkan pasangan tenar dua tahun lalu:
Syarifa Syifa & Jemsar. Ijab-qabul-dilakukan di rumah Hamka,
sebagai wali nikah, tanpa dihadiri oleh pejabat pencatat nikah.
Baru setelah selesai berdoa dan khotbah, Buya menganjurkan agar
mempelai mencatatkan perkawinan mereka ke kantor, yang tempatnya
di seberang rumahnya. Kejadian ini,amat jamak, dimana-mana. Di
sini peranan pencatat ikah betul-betul nomor dua. Ini juga
terjadi di beberapa daerah yang melazimkan apa yang disebut
kawin-gantung. Malah di Aceh dulu orang lazim menikahkan anaknya
yang masih berada di gendongan ibunya.
Sulit untuk membuat kesimpulan mutlak terhadap apa yang telah
dilakukan oleh Buya Hamka atau ulama lain yang menyetujui cara
begitu. Perkawinan Syifa-Jemsar tampaknya beres. Pada kasus yang
lain, misalnya, ada gugatan dari pihak lain mengenai apakah
perkawinan yang tak dihadiri pejabat nikah itu memang
betul-betul telah memenuhi syarat agama. "Tidak ada yang
bertanggungjawab", kata Djazuli, Direktur Urusan Agama, "karena
yang bertanggungjawab dan yang mengawasi berlangsungnya
perkawinan itu adalah hak dan kewajiban pejabat pencatat nikah,
yang telah mendapatkan pendidikan secukupnya untuk itu".
MENIKAHKAN pasangan pengantin secara diam-diam, walau telah
memenuhi ketentuan hukum agama -- begitu anggapannya 'akan punya
akibat yang luas, kata Djazuli. Pejabat yang bersangkutan,
sebelum mencatat, belum tentu dapat diyakinkan memang
betul-betul telah terjadi suatu pernikahan yang sah. Dan
pejabat dalam hal ini tidak akan mudah diyakinkan. "Malah adalah
haknya untuk meragukan", sebut Djazuli. Namun jalan belum
buntu.Yang bersangkutan dapat minta keputusan pengadilan dan
"dari hakhn baru akan terbukti, apakah sudah terjadi perkawinan
yang sah atau belum".
Umat Khonghucu juga menyambut gembira lahirnya UUP. Musyawarah
Nasional ke III Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
(MATAKIN) bulan Desember lalu di Tangerang, telah membuat
semacam peraturan pelaksanaan UUP bagi umatnya. Judul
peraturannya: Hukum Perkawinan Agama Khonghucu Indonesia.
Sebelum maju mencatatkan diri ke Kantor catatan Sipil, umat
Nabi Khonghucu ini dalam perkawinan harus memenuhi segala
upacara agama. Upacara keagamaan itu mereka sebut Peneguhan
Pernikahan atau Liep Gwan. Dengan sepotong surat Liep Gwan itu,
yang ditanda-tangani oleh pengurus organisasi umat, barulah
"pengantin itu sah menurut UUP, yaitu sah menurut hukum agama",
kata Chandra, jubir MATAKIN di Jakarta. Bagaimana tanpa Liep
Gwan? "Itu namanya kawin-surat", kata Chandra, "dan itu sudah
tak dibenarkan oleh undang-undang yang baru".
Tapi kenyataannya hak Kantor Catatan Sipil masih dapat menerima
pencatatan perkawinan semacam yang tidak dikehendaki Chandra
itu. "Harusnya tidak boleh lagi", kata Chandra. Namun,dalam hal
ini kami masih bingung", kata R. Pramono, Pengurus Luar Biasa
pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta. Karena yang masih
dipegangnya masih pedoman lama. Pedoman baru malah belum
mengaturnya. Keinginan MATAKIN itulah yang kini sedang digarap
oleh pengurusnya, "agar Kantor Catatan Sipil bertindak
konsekwen, menolak setiap permohonan pencatatan, bagi pengantin
penganut Khonghucu yang belum mendapat peneguhan", kata Chandra.
Di luar golongan agama, ternyata ada golongan lain, yang punya
kesibukan menyambut lahirnya UUP yang sudah berumur lebih tujuh
bulan itu. Mereka adalah golongan Aliran Kepercayaan. terdiri
120 organisasi yang tergabung dalam Sekretariat Kerjasama
Kepercayaan Pusat (SKK). Diam-diam organisasi ini telah menyusun
petunjuk kepada anggotanya tentang bagaimana melaksanakan UUP
bagi Penganut Kepercayaan. Jelasnya kini mereka telah mempunyai
cara bagaimana menyelenggarakan perkawinan yang sah menurut
faham mereka. Dulu, "dalam perkawinan dan segala hal kami
memakai baju orang lain, memakai baju agama - umumnya. agama
Islam", kata Arimurthy SH, Sekjen SKK Pusat. Dan sekarang "kami
telah mempunyai tata-cara sendiri, yang sah menurut aliran
kepercayaan", katanya lagi".
Malah sejak tujuh bulan belakangan ini, sejak berlakunya UUP,
ternyata sudah beberapa anggota penghayat kepercayaan
mempraktekkan cara baru perkawinan dan meninggalkan cara yang
biasanya mereka lakukan (lihat: Ijab Kepercayaan). "Pokoknya
kami jangan dipaksa untuk memakai baju orang lain", tegas
Arimurthy. Sampai sekarang memang belum tampak ada yang
mempersoalkan apa yang dilakukan SKK.Tampaknya Kantor Catatan
Sipil bakal sibuk. Selama ini instansi ini bekerja mencatat
perkawinan golongan Eropa, Tionghoa, Kristen, Campuran dan
golongan ke V yakni yang beragama Hindu dan orang India. Dan
sejak UUP berlaku - kalau semuanya lancar - warga aliran
kepercayaan akan berbondong-bondong ke sana. Kesibukan memang
tampak lebih dari sebelum ada UUP. Namun prosedur kawin di
sana,menurut rut R. Pramono, tidak banyak berbeda. Ia masih
berpegang pedoman lama:"Untuk perkawinan umat Kristen,
pelaksanaannya tetap seperti dulu, di Catatan Sipil dulu baru
pemberkatan di Gereja". Bukankah menurut UUP sahnya sebuah
perkawinan lebih dulu harus sah menurut "agama dan
kepercayaannya itu"? Lagi-lagi pejabat ini masih bingung. Sebab
dalam pedomam berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 221 a
Tahun 1975, "tidak disebutkan mengenai perubahan semacam itu,
jadi kami masih tetap mengikuti cara yang dulu juga", kata
Pramono.
Kalau begitu orang masih mempersoalkan di manakah sebenarnya
posisi upacara agama dalam menentukan sah dan tidaknya sebuah
perkawinan. Sebab membaca saja bunyi UUP orang akan punya
kesimpulan: pejabat pencatat nikah memang berhak menolak sesuatu
permohonan pencatatan, sepanjang permohonan itu tidak memenuhi
syarat administratif. Namun instansi ini sama sekali tidak
berwenang mengurungkan berlangsungnya sesuatu perkawinan yang
sudah sah memenuhi syarat-syarat agama. Pendapat ini tertulis
juga dalam Perumusan Undang-Undang Perkawinan bagi umat Hindu
Dharma, yang ditandatangani oleh Perumusnya, I Wayan Surpha di
Denpasar bulan April. Memang ada ancaman pidana bagi pasangan
pengantin yang tidak memenuhi syarat administrasi itu -- menurut
Peraturan Pelaksanaan UUP. Tapi setelah membayar denda Rp 7.500,
adakah ini mempengaruhi sah dan tidak sesuatu perkawinan yang
telah sah menurut agama? Sulit untuk dijawab.
Tapi bulan Maret tahun lalu, sebelum UUP mempunyai Peraturan
Pelaksanaan, Hakim Bismar Siregar sudah menjawab soal itu.
Perkawinan Soepartono-Theresia Abastasia Darminah, yang
dilakukan di gereja 6 tahun sebelumnya dan tidak tercatat di
kantor Catatan Sipil, diputuskannya sebagai perkawinan yang sah.
Walaupun waktu itu masih berlaku ketentuan hukum bahwa
perkawinan umat Kristen, seperti kedua pasangan di atas, baru
dianggap sah bila sudah tercatat di Kantor Catatan Sipil (Stb
33-74 jo 36-657). Bahkan ulama yang berani menikahkan pengantin
begitu saja, sebelum dicatat oleh amtenar yang berwenang, dapat
dihukum pidana dengan denda Rp 4.500 (KUHP 530). Tapi,"kelalaian
memenuhi syarat formil, hendaknya jangan meniadakan keabsahan
perkawinan itu sendiri", begitu pertimbangan Bismar, Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur itu. "Cukuplah bila
diadakan penyempurnaan syarat formil itu saja", lanjutnya (TEMPO,
24 Mei 1975).
MALAH sebelum perkara itu, pada bulan Oktober 1974,Bismar juga
telah mensahkan perkawinan antara Nyoek Siong dengan Tjoen Nio.
Memang betul pasangan ini,yang sudah hidup bersama-sama
bertahun-tahun, tidak mempunyai surat kawin - dan ini melanggar
undang-undang. Namun, begitu pertimbangan hakim, "mereka telah
memenuhi syarat pernikahan menurut tata-hidup yang berlaku,
yaitu adat nenek-moyangnya". Cukupkah kawin adat itu saja?
"Pernikahan adat Tionghoa, mempunyai nilai yang rebih tinggi
dari nilai formil (kewajiban mencatatkan pernikahan - red)
semata", timbang hakim itu pula (TEMPO, 9 Maret 1975).
Pejabat Departemen Agama sulit menjawab soal itu selangsung
Bismar. Karena memang bukan tugasnya menafsirkan bunyi
undang-undang seleluasa Hakim. Namun ada jalan tengah yang aman:
"UUP sudah mengatur secara wajar, bagaimana baiknya sebuah
perkawinan dilangsungkan--tanpa melanggar hukum agama", kata
Pudja. "Apa salahnya jika hukum negara itu kita patuhi
bersama-sama dengan hukum agama?" lanjutnya. Tentang sulitnya
mematuhi hukum negara itu, "memang soal lain", kata Pudja pula.
Sebab di Bali, misalnya, hanya ada sebuah Kantor Catatan Sipil,
di Denpasar. Ini tak terjangkau oleh orang Bali seluruhnya.
Pemerintah Daerah Bali. atas instruksi Gubernur, sudah ambil
kebijaksanaan.Camat-camat diangkat untuk menjabat sebagai
pejabat pencatat nikah. "Ini memang tak ada peraturannya, tapi
orang kawin toh tidak harus menunggu peraturan, jadi itu tidak
soal - asal lancar saja", kata Pudja.
Ternyata ini juga belum lancar. Sebab kebiasaan orang Bali--yang
cukup melaporkan, bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan
secara adat kepada Banjar secara lisan--masih sulit untuk
memenuhi prosedur yang dianggapnya tetek-bengek. Bagi
Pudja,pemuka agama ini, "itu masih belum apa-apa". Yang sulit
mereka lebih menganggap, pemenuhan syarat itu tak lebih dan tak
kurang cuma berarti harus keluar biaya. Apalagi besarnya yang
tak seragam dan kadang-kadang dirasakan terlampau tinggi buat
kantong kebanyakan. Jadi tak pula dapat dipersalahkan sikap
orang sana yang polos itu: "Kawin saja sekarang mesti kena bayar
pajak". Sebab selain pungutan resmi, mereka juga kena pungutan
lain-lain. Untuk kas desa misalnya. "Ini yang membuat dan
menambah keenggaan rakyat untuk taat", tambah Pudja.
Pasal biaya kawin yang simpang-siur memang bukan urusan orang
Bali saja.Berbagai daerah umumnya mempunyai keluhan yang sama.
Biaya tinggi serta seragam lagi. Memang itu baru keluhan dan
belum pernah terjadi ada orang yang urung menikah karena tak
kuat bayar modin. Namun jika rakyat dituntut untuk mematuhi
prosedur yang memusingkan sebelum NTR, mereka juga berhak
memperoleh pelayanan yang wajar. Bukankah sudah ada instruksi
Menteri Agama mengenai biaya NTR? Orang Semarang mengeluh,
seperti yang pernah diberitakan Antara, karena untuk NTR mereka
harus keluar biaya antara Rp 10 ribu sampai Rp 25 ribu. Padahal
resminya untuk Nikah cuma Rp 500, untuk Talaq Rp 500 dan Rujuk
Rp 250. Dari Pusat cuma sebegitu, namun Kantor Wilayah (tingkat
propinsi) berwenang menentukan biaya tambahan. Dan ini, menurut
Kepala Kanwil di Semarang, Djohan Muchari, bukan salah yang
menentukan. Tapi entah mengapa sampai pada masyarakat jumlahnya
sudah mencapai sekian. Untnk itu ia telah mendekati Pemda agar
menentukan lebih seragam lagi.
Calon-calon janda di Purwakarta konon juga mengeluh. Mereka
kabarnya sulit untuk memperoleh status jandanya karena prosedur
gugatan cerai (fasah) dianggapnya sungguh sulit. Untuk memenuhi
UUP mengenai fasah itu, bagi calon janda yang suaminya gaib
entah di mana berada tanpa kabar berita -- mereka harus memasang
iklan pengumuman sedikitnya dua kali dalam tenggang waktu
sehulan. Biaya pemasangan iklan tidak murah bukan? Setelah itu
mereka harus sabar menunggu perkembangan pengumumannya sampai
tiga bulan. Sehingga untuk fasah sedikitnya mereka harus menahan
diri lima bulan. Sungguh berat beban caLon janda itu memenuhi
UUP, seperti yang diakui sendiri oleh Ketua Pengadilan Agama
Purwakarta, Tb. H. Ishak kepada Pikiran Rakyat bulan lalu. Bagi
masyarakat Bandung, Pengadilan Agama menjanjikan kelonggaran.
Yakni buat yang tak mampu, Pengadilan tidak akan menarik
pungutan apa-apa.
Pelaksanaan UUP memang banyak ragamnya terterap di seluruh
pelosok tanah air. Ada daerah yang ragu-ragu. ada yang-- tenang
dan ada yang merasa tidak ada apa-apa. Ditjen Bimas Islam memang
sibuk, karena pelaksanaan UUP itu banyak menuntut pekerjaan.
Penataran petugas pengadilan dan KUA, menurut Djazuli dalam enam
bulan terakhir ini sudah memadai. Penambahan personil sekarang
malah dapat prioritas. Sudah 1020 orang diangkat: 400 orang
untuk melengkapi jumlah hakim & panitera, 600 pejabat KUA dan 20
tukang ketik.
"Ini masih jauh dari mencukupi", kata Djazuli, "karena di setiap
kecamatan sedikitnya harus ada 12 orang di Jawa dan 9 orang
untuk luar Jawa". Tapi lumayan. Hanya sarana seperti gedung KUA
dan Pengadilan Agama belum tampak ada kemajuan. Ada yang masih
nebeng kantor instansi lain. Bimas lain (Katolik, Protestan,
Hindu & Budha), tenang Karena urusan pelaksanaan UUP menjadi
urusan orang lain, praktisnya Kantor Catatan Sipil dan
Pengadilan Negeri.
Dan tentu saja yang lebih sibuk menyesuaikan diri adalah
masyarakat yang ingin kawin, cerai sampai yang mau poligami.
Sementara laporan ini baru menyangkut seruan bagaimana kawin
yang benar, yang sah dan tentang poligami (lihat box). UUP
sendiri tetap masih empuk untuk diperkatakan lebih jauh dari
aspek-aspek lain. Bukankah UUP itu lahir dengan
tersendat-sendat, bagaikan bayi yang keluar belum cukup bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini