Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hati-hati: jangan-jangan anda ...

Setelah perkawinan rio tambunan dengan emilia contesa berjalan beberapa bulan, masalah kawin cerai disorot lagi. undang -undang perkawinan disambut semua agama dengan membuat aturan pelaksanaan sendiri. (hk)

15 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN pasangan Emilia Contesa - Rio Tambunan kini sedang asyik menikmati hidup rukun dan bahagia. Tentu sambil melupakan apa yang pernah terjadi sebelum mereka mencapai jenjang yang sekarang ini. Syukur. Namun agaknya di tengah madu cinta mereka, masih ada tersisa 'kasus hukum' yang tertinggal diam-diam menjadi perkara. Ternyata perkara perceraian antara Rio dengan Jaoni, isteri pertamanya, yang berlangsung sejak tahun 1973, belum beres. Nyonya Oloan Jaoni Tampubolon masih mengunakan hak bandingnya atas keputusan pengadilan tingkat pertama, yang menceraikannya dari suami dan bapak anak-anaknya. Belum ada kata putus dari hakim, tapi mengapa perkawinan Rio-Emil dapat berlangsung? Soal inilah kabarnya yang akan digugat oleh calon janda Rio Tambunan. Pernikahan mereka, tanggal 30 Maret di Gereja Bethel-Jatinegara, di samping dipersoalkan sahnya oleh Jaoni, juga diperbincangkan oleh keluarga Emil sendiri. Pihak keluarga Emil berkeberatan. Berlangsungnya pernikahan adalah tanpa seizin mereka. Emil belum mencapai umur yang bisa memberinya hak kawin tanpa ijin orang tua. Berapa sih umur Emil sebenarnya-19 tahun seperti yang diumumkannya sendiri, atau ia lahir tahun 1952 seperti yang tertera dalam SIM-nya? Bapak Emil, M. Hasan Ali, mengatakan: pokoknya Emil belum dewasa, belum 21 tahun, yang menurut Undang-Undang Perkawinan (UUP) masih harus mendapat izin orang tuanya kalau hendak menikah. Pendeta Sapulete yang menikahkan Rio dengan Emil mengelak. Ia toh telah mendapat keterangan dari 'wali' Emil, bahwa keluarga pengantin ini nun jauh di Banyuwangi sudah setuju. Dan menurut Sapulete, 'wali' itu yang tidak lain tante Emil sendiri --yang harus bertanggungjawab jika fihak keluarganya mengajukan keberatannya. Betapapun, fihak Kantor Catatan Sipil tampaknya tak hendak mundur dari keadaan yang sudah terjadi seperti itu. Namun juga diakui, untuk pencatatan-pencatatan berikut mereka akan lebih cermat lagi. "Bahkan bagi yang sudah berusia 21 tahun sekalipun, sedapat-dapatnya kami akan mengusahakan surat izin orang tua", kata J.Patinaya, Wakil Kepala Kantor Catatan Sipil kepada TEMPO (edisi 17 April). Itu perkara Emil dan Rio. Secara umum jelaslah, kalau pejabat yang berwenang sudah menyatakan sesuatu perkawinan itu sah, maka itu harus diartikan, resminya, calon-calon mempelai itu sebelumnya telah memenuhi semua syarat. Dan syarat-syarat itu, oleh UUP yang berlaku efektif sejak 1 Oktober tahun lalu itu--setelah dikeluarkannya peraturan pelaksanaannya -- telah diperinci. Mula-mula, seperti pada Pasal 2 (1), "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dari sini jelas, pernikahan atau perkawinan itu disandarkan pada dasar agama. Baru kemudian pengantin, diwajibkan oleh undang-undang agar mencatatkan diri pada pejabat catat nikah--lazimnya Penghulu bagi yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil bagi lainnya. Ternyata pada praktek perkawinan, banyak hal-hal yang dapat menarik perhatian. Dan diam-diam dipersoalkan orang sebagai persoalan baru. Mula-mula yang akan terhapus oleh ketentuan ini ialah anggapan bahwa, dengan sepotong surat nikah saja--bagaimanapun cara mendapatkannya--urusan sudah beres. Bahkan ada yang merasa bangga, jika surat itu keluar dari Kantor Catatan Sipil - yang konon punya harga di atas surat nikah yang dipunyai oleh pribumi.Maklum yang bercokol di kantor itu, dulu, amtenar Belanda - namanya saja amtenar burgerlijke stand. MALAH begitu penting surat BS yang bisa diperoleh asal memenuhi syarat administrtif itu, sehingga memberi kesempatan untuk disalahgunakan. Sudah jadi rahasia umum kejadian seperti ini: Ada wanita warganegara asing, atau yang tak berkewarganegaraan, yang berani membayar ratusan ribu rupiah untuk memperoleh sepotong surat nikah. Caranya tidak terlalu rumit. Cari saja pemuda yang bersedia dibayar untuk bersama-sama meneken,surat kawin di Kantor Catatan Sipil. Di belakang itu dibuat semacam perjanjian, biasanya di atas kertas segel, yang menyatakan bahwa perkawinan itu hanya formalitas belaka. Begitu mendapat surat nikah, maka keduanya bersama-sama menghadap hakim untuk menyetujui perceraian. Alasan yang paling dapat diterima, salah satu mengaku saja telah berzina.Beres. Lalu dengan sepotong surat nikah itu, sebelum gugatan cerai itu dibuat, si wanita asing itu akan bisa memperoleh surat kewarganegaraan dengan mudah dan murah. Untuk memenuhi berbagai syarat, malah untuk mendapatkan pemuda yang bersedia menjadi 'suami', tidak susah pula mencari calonya. Selagi syarat-syarat administratif dipenuhi, Kantor Catatan Sipil memang tak ada alasan untuk menolak pasangan suami isteri yang berkawin-surat semacam itu. Gde Pudja MA, Direktur Jenderal Bimas Hindu & Budha, menyayangkan kalau masih ada umat yang dibimbingnya melakukan kawin-surat dalam arti baik sekalipun. "Mereka harus diberi pengertian bahwa perkawinan itu suci maka harus dilakukan melalui upacara agama lebih dulu? baru kemudian dicatatkan untuk administrasi"? kata Pudja. Umumnya kalangan agama lain juga sepakat begitu. "Itu yang diminta oleh gereja sejak dulu", kata PN Harefa, Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen Protestan. Di beberap pelosok, sebut saja di Nias, menurut Harefa sudah sejak lama masyarakat mementingkan upacara agama dan adat dari pada soal kewajiban pencatatan. Dulu, sebelum UUP efektif, mungkin ini dosa terhadap negara. Tapi bukan apa-apa, "soalnya mereka terlalu jauh untuk mencapai Kantor Catatan Sipil". Dirjen: Bimas Katolik, Ign. Djoko Moeliono bersuara senada. Masa lalu pasangan pengantin harus dicatat dulu, baru diberkati oleh pastor. Sekarang, kata Dirjen, "apa ke gereja dulu atau ke Kantor Catatan Sipil? tidak. menjadi soal". Apalagi, ada katanya "Imam atau Pastor itu juga sebagai pembantu pejabat pen catat nikah". Bagi umat Islam, yang instansi Ditjen Bimas Islam-nya paling sibuk melaksanakan UUP, perkawinan haruslah pertama-tama sah menurut agama. Ini persoalan pokok. Malah begitu pentingnya upacara agama, sehingga di sana-sini ada yang melalaikan kewajiban yang lain, yakni mendaftarkan perkawinan mereka. Memang praktek yang tampaknya unik, tapi selama ini banyak yang mengerjakannya. Bila segala sesuatunya sudah memenuhi ketentuan agama, ada wali atau naib, ada dua orang saksi lalu terjadi ijababul, maka sahlah sudah pasngan pengantin itu. Ulama Hamka misalnya, pernah juga menikahkan pasangan tenar dua tahun lalu: Syarifa Syifa & Jemsar. Ijab-qabul-dilakukan di rumah Hamka, sebagai wali nikah, tanpa dihadiri oleh pejabat pencatat nikah. Baru setelah selesai berdoa dan khotbah, Buya menganjurkan agar mempelai mencatatkan perkawinan mereka ke kantor, yang tempatnya di seberang rumahnya. Kejadian ini,amat jamak, dimana-mana. Di sini peranan pencatat ikah betul-betul nomor dua. Ini juga terjadi di beberapa daerah yang melazimkan apa yang disebut kawin-gantung. Malah di Aceh dulu orang lazim menikahkan anaknya yang masih berada di gendongan ibunya. Sulit untuk membuat kesimpulan mutlak terhadap apa yang telah dilakukan oleh Buya Hamka atau ulama lain yang menyetujui cara begitu. Perkawinan Syifa-Jemsar tampaknya beres. Pada kasus yang lain, misalnya, ada gugatan dari pihak lain mengenai apakah perkawinan yang tak dihadiri pejabat nikah itu memang betul-betul telah memenuhi syarat agama. "Tidak ada yang bertanggungjawab", kata Djazuli, Direktur Urusan Agama, "karena yang bertanggungjawab dan yang mengawasi berlangsungnya perkawinan itu adalah hak dan kewajiban pejabat pencatat nikah, yang telah mendapatkan pendidikan secukupnya untuk itu". MENIKAHKAN pasangan pengantin secara diam-diam, walau telah memenuhi ketentuan hukum agama -- begitu anggapannya 'akan punya akibat yang luas, kata Djazuli. Pejabat yang bersangkutan, sebelum mencatat, belum tentu dapat diyakinkan memang betul-betul telah terjadi suatu pernikahan yang sah. Dan pejabat dalam hal ini tidak akan mudah diyakinkan. "Malah adalah haknya untuk meragukan", sebut Djazuli. Namun jalan belum buntu.Yang bersangkutan dapat minta keputusan pengadilan dan "dari hakhn baru akan terbukti, apakah sudah terjadi perkawinan yang sah atau belum". Umat Khonghucu juga menyambut gembira lahirnya UUP. Musyawarah Nasional ke III Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) bulan Desember lalu di Tangerang, telah membuat semacam peraturan pelaksanaan UUP bagi umatnya. Judul peraturannya: Hukum Perkawinan Agama Khonghucu Indonesia. Sebelum maju mencatatkan diri ke Kantor catatan Sipil, umat Nabi Khonghucu ini dalam perkawinan harus memenuhi segala upacara agama. Upacara keagamaan itu mereka sebut Peneguhan Pernikahan atau Liep Gwan. Dengan sepotong surat Liep Gwan itu, yang ditanda-tangani oleh pengurus organisasi umat, barulah "pengantin itu sah menurut UUP, yaitu sah menurut hukum agama", kata Chandra, jubir MATAKIN di Jakarta. Bagaimana tanpa Liep Gwan? "Itu namanya kawin-surat", kata Chandra, "dan itu sudah tak dibenarkan oleh undang-undang yang baru". Tapi kenyataannya hak Kantor Catatan Sipil masih dapat menerima pencatatan perkawinan semacam yang tidak dikehendaki Chandra itu. "Harusnya tidak boleh lagi", kata Chandra. Namun,dalam hal ini kami masih bingung", kata R. Pramono, Pengurus Luar Biasa pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta. Karena yang masih dipegangnya masih pedoman lama. Pedoman baru malah belum mengaturnya. Keinginan MATAKIN itulah yang kini sedang digarap oleh pengurusnya, "agar Kantor Catatan Sipil bertindak konsekwen, menolak setiap permohonan pencatatan, bagi pengantin penganut Khonghucu yang belum mendapat peneguhan", kata Chandra. Di luar golongan agama, ternyata ada golongan lain, yang punya kesibukan menyambut lahirnya UUP yang sudah berumur lebih tujuh bulan itu. Mereka adalah golongan Aliran Kepercayaan. terdiri 120 organisasi yang tergabung dalam Sekretariat Kerjasama Kepercayaan Pusat (SKK). Diam-diam organisasi ini telah menyusun petunjuk kepada anggotanya tentang bagaimana melaksanakan UUP bagi Penganut Kepercayaan. Jelasnya kini mereka telah mempunyai cara bagaimana menyelenggarakan perkawinan yang sah menurut faham mereka. Dulu, "dalam perkawinan dan segala hal kami memakai baju orang lain, memakai baju agama - umumnya. agama Islam", kata Arimurthy SH, Sekjen SKK Pusat. Dan sekarang "kami telah mempunyai tata-cara sendiri, yang sah menurut aliran kepercayaan", katanya lagi". Malah sejak tujuh bulan belakangan ini, sejak berlakunya UUP, ternyata sudah beberapa anggota penghayat kepercayaan mempraktekkan cara baru perkawinan dan meninggalkan cara yang biasanya mereka lakukan (lihat: Ijab Kepercayaan). "Pokoknya kami jangan dipaksa untuk memakai baju orang lain", tegas Arimurthy. Sampai sekarang memang belum tampak ada yang mempersoalkan apa yang dilakukan SKK.Tampaknya Kantor Catatan Sipil bakal sibuk. Selama ini instansi ini bekerja mencatat perkawinan golongan Eropa, Tionghoa, Kristen, Campuran dan golongan ke V yakni yang beragama Hindu dan orang India. Dan sejak UUP berlaku - kalau semuanya lancar - warga aliran kepercayaan akan berbondong-bondong ke sana. Kesibukan memang tampak lebih dari sebelum ada UUP. Namun prosedur kawin di sana,menurut rut R. Pramono, tidak banyak berbeda. Ia masih berpegang pedoman lama:"Untuk perkawinan umat Kristen, pelaksanaannya tetap seperti dulu, di Catatan Sipil dulu baru pemberkatan di Gereja". Bukankah menurut UUP sahnya sebuah perkawinan lebih dulu harus sah menurut "agama dan kepercayaannya itu"? Lagi-lagi pejabat ini masih bingung. Sebab dalam pedomam berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri Nomor 221 a Tahun 1975, "tidak disebutkan mengenai perubahan semacam itu, jadi kami masih tetap mengikuti cara yang dulu juga", kata Pramono. Kalau begitu orang masih mempersoalkan di manakah sebenarnya posisi upacara agama dalam menentukan sah dan tidaknya sebuah perkawinan. Sebab membaca saja bunyi UUP orang akan punya kesimpulan: pejabat pencatat nikah memang berhak menolak sesuatu permohonan pencatatan, sepanjang permohonan itu tidak memenuhi syarat administratif. Namun instansi ini sama sekali tidak berwenang mengurungkan berlangsungnya sesuatu perkawinan yang sudah sah memenuhi syarat-syarat agama. Pendapat ini tertulis juga dalam Perumusan Undang-Undang Perkawinan bagi umat Hindu Dharma, yang ditandatangani oleh Perumusnya, I Wayan Surpha di Denpasar bulan April. Memang ada ancaman pidana bagi pasangan pengantin yang tidak memenuhi syarat administrasi itu -- menurut Peraturan Pelaksanaan UUP. Tapi setelah membayar denda Rp 7.500, adakah ini mempengaruhi sah dan tidak sesuatu perkawinan yang telah sah menurut agama? Sulit untuk dijawab. Tapi bulan Maret tahun lalu, sebelum UUP mempunyai Peraturan Pelaksanaan, Hakim Bismar Siregar sudah menjawab soal itu. Perkawinan Soepartono-Theresia Abastasia Darminah, yang dilakukan di gereja 6 tahun sebelumnya dan tidak tercatat di kantor Catatan Sipil, diputuskannya sebagai perkawinan yang sah. Walaupun waktu itu masih berlaku ketentuan hukum bahwa perkawinan umat Kristen, seperti kedua pasangan di atas, baru dianggap sah bila sudah tercatat di Kantor Catatan Sipil (Stb 33-74 jo 36-657). Bahkan ulama yang berani menikahkan pengantin begitu saja, sebelum dicatat oleh amtenar yang berwenang, dapat dihukum pidana dengan denda Rp 4.500 (KUHP 530). Tapi,"kelalaian memenuhi syarat formil, hendaknya jangan meniadakan keabsahan perkawinan itu sendiri", begitu pertimbangan Bismar, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur itu. "Cukuplah bila diadakan penyempurnaan syarat formil itu saja", lanjutnya (TEMPO, 24 Mei 1975). MALAH sebelum perkara itu, pada bulan Oktober 1974,Bismar juga telah mensahkan perkawinan antara Nyoek Siong dengan Tjoen Nio. Memang betul pasangan ini,yang sudah hidup bersama-sama bertahun-tahun, tidak mempunyai surat kawin - dan ini melanggar undang-undang. Namun, begitu pertimbangan hakim, "mereka telah memenuhi syarat pernikahan menurut tata-hidup yang berlaku, yaitu adat nenek-moyangnya". Cukupkah kawin adat itu saja? "Pernikahan adat Tionghoa, mempunyai nilai yang rebih tinggi dari nilai formil (kewajiban mencatatkan pernikahan - red) semata", timbang hakim itu pula (TEMPO, 9 Maret 1975). Pejabat Departemen Agama sulit menjawab soal itu selangsung Bismar. Karena memang bukan tugasnya menafsirkan bunyi undang-undang seleluasa Hakim. Namun ada jalan tengah yang aman: "UUP sudah mengatur secara wajar, bagaimana baiknya sebuah perkawinan dilangsungkan--tanpa melanggar hukum agama", kata Pudja. "Apa salahnya jika hukum negara itu kita patuhi bersama-sama dengan hukum agama?" lanjutnya. Tentang sulitnya mematuhi hukum negara itu, "memang soal lain", kata Pudja pula. Sebab di Bali, misalnya, hanya ada sebuah Kantor Catatan Sipil, di Denpasar. Ini tak terjangkau oleh orang Bali seluruhnya. Pemerintah Daerah Bali. atas instruksi Gubernur, sudah ambil kebijaksanaan.Camat-camat diangkat untuk menjabat sebagai pejabat pencatat nikah. "Ini memang tak ada peraturannya, tapi orang kawin toh tidak harus menunggu peraturan, jadi itu tidak soal - asal lancar saja", kata Pudja. Ternyata ini juga belum lancar. Sebab kebiasaan orang Bali--yang cukup melaporkan, bahwa mereka telah melangsungkan perkawinan secara adat kepada Banjar secara lisan--masih sulit untuk memenuhi prosedur yang dianggapnya tetek-bengek. Bagi Pudja,pemuka agama ini, "itu masih belum apa-apa". Yang sulit mereka lebih menganggap, pemenuhan syarat itu tak lebih dan tak kurang cuma berarti harus keluar biaya. Apalagi besarnya yang tak seragam dan kadang-kadang dirasakan terlampau tinggi buat kantong kebanyakan. Jadi tak pula dapat dipersalahkan sikap orang sana yang polos itu: "Kawin saja sekarang mesti kena bayar pajak". Sebab selain pungutan resmi, mereka juga kena pungutan lain-lain. Untuk kas desa misalnya. "Ini yang membuat dan menambah keenggaan rakyat untuk taat", tambah Pudja. Pasal biaya kawin yang simpang-siur memang bukan urusan orang Bali saja.Berbagai daerah umumnya mempunyai keluhan yang sama. Biaya tinggi serta seragam lagi. Memang itu baru keluhan dan belum pernah terjadi ada orang yang urung menikah karena tak kuat bayar modin. Namun jika rakyat dituntut untuk mematuhi prosedur yang memusingkan sebelum NTR, mereka juga berhak memperoleh pelayanan yang wajar. Bukankah sudah ada instruksi Menteri Agama mengenai biaya NTR? Orang Semarang mengeluh, seperti yang pernah diberitakan Antara, karena untuk NTR mereka harus keluar biaya antara Rp 10 ribu sampai Rp 25 ribu. Padahal resminya untuk Nikah cuma Rp 500, untuk Talaq Rp 500 dan Rujuk Rp 250. Dari Pusat cuma sebegitu, namun Kantor Wilayah (tingkat propinsi) berwenang menentukan biaya tambahan. Dan ini, menurut Kepala Kanwil di Semarang, Djohan Muchari, bukan salah yang menentukan. Tapi entah mengapa sampai pada masyarakat jumlahnya sudah mencapai sekian. Untnk itu ia telah mendekati Pemda agar menentukan lebih seragam lagi. Calon-calon janda di Purwakarta konon juga mengeluh. Mereka kabarnya sulit untuk memperoleh status jandanya karena prosedur gugatan cerai (fasah) dianggapnya sungguh sulit. Untuk memenuhi UUP mengenai fasah itu, bagi calon janda yang suaminya gaib entah di mana berada tanpa kabar berita -- mereka harus memasang iklan pengumuman sedikitnya dua kali dalam tenggang waktu sehulan. Biaya pemasangan iklan tidak murah bukan? Setelah itu mereka harus sabar menunggu perkembangan pengumumannya sampai tiga bulan. Sehingga untuk fasah sedikitnya mereka harus menahan diri lima bulan. Sungguh berat beban caLon janda itu memenuhi UUP, seperti yang diakui sendiri oleh Ketua Pengadilan Agama Purwakarta, Tb. H. Ishak kepada Pikiran Rakyat bulan lalu. Bagi masyarakat Bandung, Pengadilan Agama menjanjikan kelonggaran. Yakni buat yang tak mampu, Pengadilan tidak akan menarik pungutan apa-apa. Pelaksanaan UUP memang banyak ragamnya terterap di seluruh pelosok tanah air. Ada daerah yang ragu-ragu. ada yang-- tenang dan ada yang merasa tidak ada apa-apa. Ditjen Bimas Islam memang sibuk, karena pelaksanaan UUP itu banyak menuntut pekerjaan. Penataran petugas pengadilan dan KUA, menurut Djazuli dalam enam bulan terakhir ini sudah memadai. Penambahan personil sekarang malah dapat prioritas. Sudah 1020 orang diangkat: 400 orang untuk melengkapi jumlah hakim & panitera, 600 pejabat KUA dan 20 tukang ketik. "Ini masih jauh dari mencukupi", kata Djazuli, "karena di setiap kecamatan sedikitnya harus ada 12 orang di Jawa dan 9 orang untuk luar Jawa". Tapi lumayan. Hanya sarana seperti gedung KUA dan Pengadilan Agama belum tampak ada kemajuan. Ada yang masih nebeng kantor instansi lain. Bimas lain (Katolik, Protestan, Hindu & Budha), tenang Karena urusan pelaksanaan UUP menjadi urusan orang lain, praktisnya Kantor Catatan Sipil dan Pengadilan Negeri. Dan tentu saja yang lebih sibuk menyesuaikan diri adalah masyarakat yang ingin kawin, cerai sampai yang mau poligami. Sementara laporan ini baru menyangkut seruan bagaimana kawin yang benar, yang sah dan tentang poligami (lihat box). UUP sendiri tetap masih empuk untuk diperkatakan lebih jauh dari aspek-aspek lain. Bukankah UUP itu lahir dengan tersendat-sendat, bagaikan bayi yang keluar belum cukup bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus