Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ijab kepercayaannya itu

Aliran kepercayaan mengadakan perkawinan model baru berdasarkan hukum kepercayaan. mereka menganggap tak perlu lagi mengikuti cara islam dan mereka merasa eksistensi mereka diakui uup. (hk)

15 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Penghayat Kepercayaan adalah manusia ber-Ketuhanan Yang Maha Esa serta menjunjung tinggi kehormatan dan martabat bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila..." BEGITU antara lain bunyi Panca Budi Barata, yang diucapkan oleh pasangan pengantin penganut kepercayaan, dalam acara Paugeran Moral Kepercayaan. Selesai dengan upacara-upacara berikutnya. maka sahlah sudah perkawinan yang terhitung model baru semenjak berlakunya UUP, menurut petunjuk Sekretariat Kerjasama Kepercayaan (SKK) Pusat. "Ini baju kami sendiri", kata Arimurthy SE, Sekjen SKK pusat kepada TEMPO. "Selama ini kami harus meminta keadaan: memakai baju agama untuk setiap perkawinan anggota kami,karena itulah yang diakui negara",katanya. Dan dengan mengutip bunyi UUP, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu", maka Arimurthy berpendapat "Pemerintah telah memberi kesempatan kepada golongan kepercayaan. yang bukan agama ini, untuk menyelenggarakan perkawinan menurut kepercayaan kami". Perkawinan Secara Hukum Kepercayaan pun benar-benar sudah terjadi. Tanggal 2 Nopember 1975, di Desa Bangunsari, Kabupaten Madiun, antara R. Slamet Riyadi beragama Islam dengan Rr. Suharwati, penganut aliran. kepercayaan Ilmu Sejati. Pada tanggal 18 Nopember juga telah menikah dengan hukum kepercayaan Perjalanan antara Misiran dengan Gimah, juga dari Kabupaten Madiun. Dari aliran kepercayaan Sapta Darma Indonesia Surabaya, juga telah menikah tanggal 29 Oktober, Sarno dengan Wani. Berikutnya, masih dari aliran kepercayaan Sapta Darma Indonesia Surabaya, tanggal 4 Desember telah menikah Kemis alias Djoko dengan JD Sri. Dan menurut Arimurthy yang begitu juga sudah terjadi di Yogya dan Purwokerto. Kalau boleh disebut perjuangan, maka kata 'kepercayaan' seperti yang tercantum dalam UUP itu adalah "kerja SKK Pusat semenjak.undang-undang itu masih dalam rancangan", kata pengurus ini. Jadi itu bukan cuma sebuah kata, yang kebetulan saja ada di sana, dan kemudian dicoba dimanfaatkan oleh golongan kepercayaan untuk memproklamirkan kehendaknya tnengadakan tata-cara perkawinan sendiri. "Juga itu bukan kekacauan istilah yang lalu kami manfaatkan, tapi itu memang betul-betul sejalan dan senafas dengan GBHN". Betul begitu? Djazuli, Dektur Urusan Agama pada Departemen Agama, sulit menjelaskan. Namun yang nyata, katanya, "itu soal interpretasi terhadap bunyi undang-undang saia". Ia berpendapat, "kata-kata 'kepercayaan itu' tak lebih berarti agama juga". Betapapun fihak SKK tetap berpegang pada pendiriannya bahwa UUP telah memberi kelonggaran kepada penganut kepercayaan untuk mempraktekkan upacara perkawinan menurut kepercayaan mereka. Dan ini disadari oleh Arimurthy sendiri. Kelonggaran itu akan berarti mengajak anggota organisasinya memilih hukum sipil dan meninggalkan hukum Islam dalam melaksanakan perkawinan dengan cara mereka itu. Karena, seperti yang sudah terjadi, dengan tata-cara perkawinannya itu mereka harus mencatatkan diri ke Kantor Catatan Sipil. Adakah semua anggota SKK akan menuruti petunjuk Pusat? "Kami tidak akan memaksa, karena merubah kebiasaan, betapapun itu tidak benar, sangat sulit untuk cepat dapat diterima. Jadi saya serahkan kembali persoalannya kepada mereka. Yang penting pemerintah sudah memberi kesempatan kepada penganut kepercayaan, tinggal bagaimana kita menggunakan kesempatan: menanggalkan baju orang lain, yang berbentuk agama itu, atau kembali kepada kepribadian dan kepercayaan kita sendiri", kata Arimurthy. Kantor Catatan Sipil tentu belum semuanya bersedia menerima pendaftaran pengantin yang berkartu-penduduk Islam itu--yang mestinya dicatat oleh penghulu di Kantor Urusan Agama. "Saya tidak gusar", kata Sekjen SKK yang sering berpidato di TV itu. "Maklum masa peralihan, mungkin masih kurang lancar pelayanannya pada masyarakat penganut kepercayaan. Tapi saya yakin prinsipnya instansi itu akan menerima, buktinya dalam formulir yang sudah ditentukan Menteri Dalam Negeri telah tertera kata 'kepercayaan' di samping kata 'agama' ". Berapa banyak kira-kira anggota SKK yang akan berganti hukum itu? "Wah saya tidak dapat memastikan", kata Arimurthy. "Dan itu memang tidak penting, karena kami tak hendak menimbulkan kesan: mau merebut massa agama". Arimurthy, mewakili SKK, nampak gembira menyambut UUP. Agaknya mereka telah merasa menemukan tempatnya dalam nasyarakat. 'Tidak lagi harus disebut sampah masyarakat, klenik, berbahaya dan harus diawas-awasi - tapi kami telah diakui eksistensinya oleh UUP". kata Arimurthy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus