"Penghayat Kepercayaan adalah manusia ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa serta menjunjung tinggi kehormatan dan martabat bangsa dan
negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila..."
BEGITU antara lain bunyi Panca Budi Barata, yang diucapkan oleh
pasangan pengantin penganut kepercayaan, dalam acara Paugeran
Moral Kepercayaan. Selesai dengan upacara-upacara berikutnya.
maka sahlah sudah perkawinan yang terhitung model baru semenjak
berlakunya UUP, menurut petunjuk Sekretariat Kerjasama
Kepercayaan (SKK) Pusat.
"Ini baju kami sendiri", kata Arimurthy SE, Sekjen SKK pusat
kepada TEMPO. "Selama ini kami harus meminta keadaan: memakai
baju agama untuk setiap perkawinan anggota kami,karena itulah
yang diakui negara",katanya. Dan dengan mengutip bunyi UUP,
"Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu", maka Arimurthy
berpendapat "Pemerintah telah memberi kesempatan kepada golongan
kepercayaan. yang bukan agama ini, untuk menyelenggarakan
perkawinan menurut kepercayaan kami".
Perkawinan Secara Hukum Kepercayaan pun benar-benar sudah
terjadi. Tanggal 2 Nopember 1975, di Desa Bangunsari, Kabupaten
Madiun, antara R. Slamet Riyadi beragama Islam dengan Rr.
Suharwati, penganut aliran. kepercayaan Ilmu Sejati. Pada
tanggal 18 Nopember juga telah menikah dengan hukum kepercayaan
Perjalanan antara Misiran dengan Gimah, juga dari Kabupaten
Madiun. Dari aliran kepercayaan Sapta Darma Indonesia Surabaya,
juga telah menikah tanggal 29 Oktober, Sarno dengan Wani.
Berikutnya, masih dari aliran kepercayaan Sapta Darma Indonesia
Surabaya, tanggal 4 Desember telah menikah Kemis alias Djoko
dengan JD Sri. Dan menurut Arimurthy yang begitu juga sudah
terjadi di Yogya dan Purwokerto.
Kalau boleh disebut perjuangan, maka kata 'kepercayaan' seperti
yang tercantum dalam UUP itu adalah "kerja SKK Pusat
semenjak.undang-undang itu masih dalam rancangan", kata pengurus
ini. Jadi itu bukan cuma sebuah kata, yang kebetulan saja ada di
sana, dan kemudian dicoba dimanfaatkan oleh golongan kepercayaan
untuk memproklamirkan kehendaknya tnengadakan tata-cara
perkawinan sendiri. "Juga itu bukan kekacauan istilah yang lalu
kami manfaatkan, tapi itu memang betul-betul sejalan dan senafas
dengan GBHN".
Betul begitu? Djazuli, Dektur Urusan Agama pada Departemen
Agama, sulit menjelaskan. Namun yang nyata, katanya, "itu soal
interpretasi terhadap bunyi undang-undang saia". Ia berpendapat,
"kata-kata 'kepercayaan itu' tak lebih berarti agama juga".
Betapapun fihak SKK tetap berpegang pada pendiriannya bahwa UUP
telah memberi kelonggaran kepada penganut kepercayaan untuk
mempraktekkan upacara perkawinan menurut kepercayaan mereka. Dan
ini disadari oleh Arimurthy sendiri. Kelonggaran itu akan
berarti mengajak anggota organisasinya memilih hukum sipil dan
meninggalkan hukum Islam dalam melaksanakan perkawinan dengan
cara mereka itu. Karena, seperti yang sudah terjadi, dengan
tata-cara perkawinannya itu mereka harus mencatatkan diri ke
Kantor Catatan Sipil.
Adakah semua anggota SKK akan menuruti petunjuk Pusat? "Kami
tidak akan memaksa, karena merubah kebiasaan, betapapun itu
tidak benar, sangat sulit untuk cepat dapat diterima. Jadi saya
serahkan kembali persoalannya kepada mereka. Yang penting
pemerintah sudah memberi kesempatan kepada penganut kepercayaan,
tinggal bagaimana kita menggunakan kesempatan: menanggalkan baju
orang lain, yang berbentuk agama itu, atau kembali kepada
kepribadian dan kepercayaan kita sendiri", kata Arimurthy.
Kantor Catatan Sipil tentu belum semuanya bersedia menerima
pendaftaran pengantin yang berkartu-penduduk Islam itu--yang
mestinya dicatat oleh penghulu di Kantor Urusan Agama. "Saya
tidak gusar", kata Sekjen SKK yang sering berpidato di TV itu.
"Maklum masa peralihan, mungkin masih kurang lancar pelayanannya
pada masyarakat penganut kepercayaan. Tapi saya yakin prinsipnya
instansi itu akan menerima, buktinya dalam formulir yang sudah
ditentukan Menteri Dalam Negeri telah tertera kata 'kepercayaan'
di samping kata 'agama' ".
Berapa banyak kira-kira anggota SKK yang akan berganti hukum
itu? "Wah saya tidak dapat memastikan", kata Arimurthy. "Dan itu
memang tidak penting, karena kami tak hendak menimbulkan kesan:
mau merebut massa agama". Arimurthy, mewakili SKK, nampak
gembira menyambut UUP. Agaknya mereka telah merasa menemukan
tempatnya dalam nasyarakat. 'Tidak lagi harus disebut sampah
masyarakat, klenik, berbahaya dan harus diawas-awasi - tapi kami
telah diakui eksistensinya oleh UUP". kata Arimurthy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini