Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Poligami dan cerai sekarang

Sejak undang-undang perkawinan berlaku efektif poligami di sumatera barat menurun tajam. sementara masalah perceraian di purwakarta dan bandung berhasil pula dibatasi. (hk)

15 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIDI-SIDI di Pariaman dan para Datuk di lain daerah di Minangkabau sana, menurut Pejabat KUA Sunatera Barat, penganut poligami yang getol. Orang sana menyebut itu sebagai kebiasaan turunn-temurun. Juga dibenarkan oleh hukum agama. Jadi bukan keserakahan semata. Seorang bergelar Sidi di Pariaman bila menerima pinangan fihak wanita, bisa berharga dua atau tiga ringgit mas. Pasaran dapat lebih tinggi dan itu, bila laki-laki tersebut tampak cerdas dan jago ngomong. Tapi hari-hari ini, sejak UUP berlaku, kabarnya pasaran Para Datuk dan Sidi jatuh. Tiga kwartal belum UUP (efektif 1 Oktober), angka pria yang kawin majemuk menakjubkan: 1082 orang yang tercatat. Dan pada enam bulan terakhir ini cuma terdaftar 8 orang yang menambah isterinya. Itu angka resmi yang masuk. Sebab, seperti kata Baharudin Buyung, Kepala KUA Payakumbuh, sebenarnya ada angka lain yang tak tercatat. Itu mestinya dari para pengantin yang menikah secara diam-diam. Baharudin, sebagai pejabat negara, tentu bleh, menyebut yang menikah diam-diam itu sebagai "kawin liar". Hal itu sedang dalam fikiran dan penelitiannya. Juga sedang dipelajarinya, bagaimana dapat menyelesaikan perkara yang begitu. "Sebab belum ada petunjuk dari atasan, bagaimana kita harus menuntut poligami liar", katanya. Nah, apa sebetulnva kata UUP' mengenai poligami? Bolehkah? "Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri .... ", begitu bunyi pasal 3 (1) dengan tambahan ayat bahwa poligami dibolehkan sejauh agama yang bersangkutan membenarkan. Bagi yang ingin menduakan isteri atau lebih mesti mendapat izin dari pengadilan. Caranya: ajukan dulu permohonan dengan disertai alasan-alasan yang dapat meyakinkan hakim bahwa yang bersangkutan memang perlu teman hidup selain bini pertama. Hakim akan mempertimbangkan apakah isteri pertama tidak berfungsi sebagai layaknya, adakah cacat badan atau penyakit yang tak mungkin disembuhkan, atau isteri pertama itu tak memberikan keturunan. Jika salah satu dari alasan itu masuk dalam pertimbangan hakim, ada harapan permohonannya akan dikabulkan. Harapan itu bakal menjadi kenyataan bila dalam pemeriksaan hakim si pemohon dapat menjamin nafkah semua anak isterinya dan berlaku adil kepada mereka. Serta satu hal yang penting, si pemohon harus dapat kerelaan dan izin dari fihak yang akan dimadu. Cerai Angka perceraian ternyata juga menurun. Di Aceh, umumnya, gugatan perceraian (fasah) datang dari para isteri yang menyatakan sudah terlalu lama ditinggalkan suami merantau tanpa nafkah lahir dan batin. Agar isteri-isteri cepat memperoleh status jandanya dan sempat membentuk rumahtangga baru, apalagi sikap pengadilan jika tidak cepat meluluskan permohonan mereka? Pengadilan Agama di Purwakarta, kabarnya, bersikap agak kaku menjalankan UUP. Banyak calon-calon janda terlantar, tidak mudah memperoleh status formil kejandaannya, karena sulitnya memenuhi prosedur perceraian. Di samping biaya di luar kemampuan, juga proses perceraian paling sedikit akan makan waktu 4 sampai 5 bulan. Sebenarnya itu masih lumayan. Coba tengok perkara perceraian bagi mereka yang tunduk hukum sipil. Perkara masih bisa beres di bawah waktu setahun saja, itu sudah baik. Yang parah jika permohonan isteri atau suami itu tidak selesai dalam peradilan tingkat pertama. Nyonya E, dari Bandung, sudah empat tahun ini menunggu penyelesaian perkara perceraiannya yang tercantol di meja banding Pengadilan Tinggi Bandung. Ia cemas dan gelisah. karena niatnya untuk berumahtangga lagi dengan pria idaman tertunda-tunda. Pengadilan Agama di Bandung mengumumkan, sebelum UUP, setiap bulan kantornya mengurus 200 perkara cerai. Sekarang paling tinggi 60 buah, seperti yang dikatakan Moh. Sahib, Wakil Ketua Pengadilan Agama Bandung. Namun di Sumatera Barat, walaupun angkanya cenderung menurun terus, angka perceraian masih tetap menyolok. Sebelum UUP bisa mencapai 1000 sampai 3000 per kwartal. Kwartal terakhir, sejak UUP, angka memang turun menjadi 386 buah. Jumlah itu dari perkara perceraian yang sudah beres, yakni yang sudah tercatat di Pengadilan Agama. Jadi bukan tak mungkin masih ribuan lagi yang menjatuhkan talaq diam-diam, yang lagi-lagi karena tradisi, jatuh begitu saja asal di muka dua saksi. Namun pada umumnya, begitu kata Direktur Urusan Agama Islam, Djazuli, "UUP sebagai ikhtiar membatasi poligami dan perceraian, sudah dapat dilihat hasilnya". Atau, seperti yang sering diucapkan Menteri Agama, "sebagai pintu darurat", poligami & perceraian "sudah digunakan orang secara semestinya", kata Djazuli. Talaq tidak lagi berjatuhan di mana para suami mau. Tidak juga dalat dikirim melalui bis-malam, sementara isteri harus menerima dengan tabah di rumah. Karena menurut UUP, di samping perceraian itu harus memenuhi syarat, juga "hanya dapat dilakukan di depan sidan pengadilan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus