Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penyidik belum menetapkan tersangka dalam dugaan perundungan mahasiswa Universitas Diponegoro.
Perlu ada sanksi berat kepada pelaku untuk memberikan efek jera.
Perundungan akan tetap menjadi persoalan selama budaya hierarki antara senior dan junior masih kuat.
KEPOLISIAN Daerah Jawa Tengah belum menetapkan tersangka dalam dugaan perundungan terhadap mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Aulia Risma Lestari. Padahal penanganan perkara ini sudah dinaikkan ke tahap penyidikan sejak 7 Oktober 2024. "Penyidik berhati-hati (untuk menetapkan tersangka)," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Artanto, Jumat, 15 Oktober 2024. “Asas praduga tak bersalah harus dipenuhi.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Artanto, kepolisian akan mempercepat penanganan perkara tersebut dengan selalu memperhatikan prinsip kehati-hatian. Saat ini penyidik masih mendalami hasil gelar perkara agar tidak salah menentukan langkah. “Penyidik masih perlu melengkapi beberapa persyaratan guna membuat terang tindak pidana yang terjadi,” katanya.
Kematian Aulia mendapat perhatian publik. Ia ditemukan meninggal di tempat indekosnya di Jalan Lempongsari, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada 12 Agustus 2024. Dari hasil penyelidikan, tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Polisi menduga perempuan itu tewas setelah menyuntikkan obat penenang dalam dosis tinggi kepada dirinya sendiri. Belakangan muncul dugaan Aulia melakukan tindakan itu karena mendapat perundungan selama menjalani pendidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk memastikan dugaan itu, Kementerian Kesehatan membentuk tim investigasi. Tim ini menemukan fakta-fakta seputar permintaan uang kepada mahasiswa PPDS Universitas Diponegoro, termasuk Aulia. Bahkan Aulia ditunjuk menjadi bendahara yang bertugas mengumpulkan uang Rp 20-40 juta per bulan. Diduga faktor inilah yang membuat Aulia tertekan sehingga merasa putus asa. Temuan tim investigasi Kementerian Kesehatan ini sudah diserahkan ke polisi untuk ditindaklanjuti.
Petugas keamanan berjalan di samping spanduk kampanye Gerakan Zero Bullying, di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, kompleks RSUP Dr Kariadi, Kota Semarang, Jawa Tengah, 15 Agustus 2024. ANTARA/Aji Styawan
Menurut Artanto, penyidik telah menyiapkan sejumlah pasal yang bisa digunakan untuk menjerat tersangka. Di antaranya adalah pasal tentang pemerasan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 368 ayat 1 dan Pasal 335 ayat 1 butir 1.
Ahli hukum pidana sekaligus Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, berpendapat, dalam kasus Aulia Risma, sebenarnya ada sejumlah pasal yang dapat digunakan untuk menjerat tersangka perundungan. Hanya, sangkaan itu membutuhkan bukti yang benar-benar kuat. “Bukti yang menunjukkan kematian Aulia disebabkan oleh tindakan kekerasan, baik fisik maupun psikis, yang termasuk kategori perundungan,” katanya.
Misalnya Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan luka berat hingga kematian. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat tersangka. Ada juga Pasal 170 KUHP tentang kekerasan dengan pengeroyokan dan Pasal 335 KUHP tentang pengancaman.
Selain itu, kata Usman, penyidik bisa menggunakan Pasal 310 KUHP tentang penyerangan kehormatan atau nama baik korban. Pasal ini dapat diterapkan selama pelaku melakukan kekerasan psikis berbentuk penyebarluasan pernyataan-pernyataan yang merugikan nama baik korban.
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, sependapat dengan Usman. Bahkan penyidik juga bisa menggunakan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. “Atau Pasal 170 KUHP kalau ada perundungan fisik dan psikis meski belum dianiaya,” kata Fickar.
Ahli hukum pidana Azmi Syahputra berpandangan, penerapan pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat para pelaku perundungan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat kasus terjadi. Karena itu, penyidik perlu memiliki bukti-bukti yang cukup sebelum menjerat pelaku. “Kalau kita lihat kasus itu, mungkin ada pemerasan, pencemaran nama, perbuatan tidak menyenangkan,” katanya.
Bahkan, jika dalam kasus ini terbukti ada kesengajaan penghilangan nyawa, tersangka bisa dikenai pasal-pasal pembunuhan, seperti Pasal 338 KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 341 KUHP, dan Pasal 458 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2023 KUHP. Selain itu, Pasal 336 KUHP mengatur tentang pembunuhan, sedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru, pengancaman pembunuhan diatur dalam Pasal 449.
Menurut Usman Hamid, meski ancaman pidana untuk pelaku perundungan cukup memadai, kasus-kasus baru tetap muncul. Persoalan ini terjadi karena masih kuatnya budaya hierarki antara senior dan junior dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tidak terkecuali di pendidikan dokter spesialis. “Korban sering enggan melaporkan karena takut akan dampak buruk pada jenjang pendidikan atau kariernya di masa depan,” kata Usman. Budaya ini juga yang pada akhirnya justru melindungi pelaku.
Untuk memberikan efek jera, Usman setuju bila pelaku perundungan dikenai pidana berat. Apalagi dalam kasus yang berujung pada kematian korban. Selain pidana penjara, pelaku bisa dikenai denda atau diwajibkan memberikan kompensasi kepada keluarga korban sebagai bentuk ganti rugi atas kerugian materiel dan immateriel.
Azmi justru berpendapat efektivitas aturan untuk menjerat pelaku perundungan perlu dievaluasi. Sebab, banyak kasus perundungan yang tidak tersentuh hukum. Selain itu, diperlukan sarana dan prasarana di setiap institusi/lembaga untuk merespons aksi perundungan di lingkungan masing-masing secara cepat. “Upaya pencegahan harus ada,” ucapnya. Ia optimistis perudungan bisa ditangani jika tingkat kesadaran hukum masyarakat ditingkatkan.
Azmi sepakat dengan Usman tentang ancaman pidana berat bagi pelaku perundungan. Bahkan bila perlu, hukuman dalam bentuk ganti rugi secara finansial dibakukan. “Jadi tidak hanya sanksi badan dan sanksi sosial, tapi perlu ada sanksi finansial terhadap pelaku bullying,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo