CALON-CALON hakim agung tengah dipersiapkan. Ketua DPR Daryatmo awal bulan ini menyatakan telah menerima surat dari Presiden Soeharto mengenai penggantian hakim agung termasuk ketuanya. Menurut undang-undang, kata Daryatmo, pencalonan hakim agung diajukan oleh DPR. Jumlah calon, katanya lagi, disediakan dua kali lebih banyak dari yang diperlukan. Berapa? Masih belum dipastikan berapa sebaiknya hakim agung yang harus duduk di MA. Prof. Oemar Seno Adji, Ketua MA sekarang, menyebutkan jumlah 20-30 orang. Berapa jumlah hakim agung yang ideal, kata Seno Adji, sulit ditentukan. Ncgeri Bclanda, yang penduduknya hanya 10 juta jiwa, punya 22 hakim agung. Mahkamah Agung Prancis diisi hakim agung sekitar 70 orang. Bahkan Italia punya hakim agung sampai 100-an. "Waktu dulu saya minta 17," kata Seno Adji, "sudah dikritik karena dianggap terlalu banyak dan berlebih-lebihan." Yang di MA sekarang memang 17 hakim agung -- termasuk ketua dan wakilnya. Tapi yang sekian itu pun sekarang tinggal 12 orang. Salah seorang hakim agung, D. Lumbanraja, meninggal dunia. Yang lain sudah pensiun. Padahal, dengan personalia yang tak lengkap itu, MA harus menghadapi perkara yang deras mengalir ke sana. "Dua kali lebih banyak dari sebelum 5 tahun lalu," kata Seno Adji. Dan dalam ketidaklengkapannya itu MA belakangan ini dalam sorotan. Bahkan, mengutip kecaman anggota Komisi Ill/DPR RI V.B. da Costa, "dalam sejarah belum pernah gambaran tentang MA begitu brengsek seperti sekarang ini." Banyak laporan masyarakat yang bisa ditunjukkan da Costa untuk menopang kritiknya terhadap lembaga pengadilan tertinggi negara tersebut. Satu contoh menarik dikemukakan da Costa mengenai proses peradilan sengketa sesama keturunan Cina memperebutkan Pabrik Tekstil Damaitex di Semarang yang dikelola oleh PT Damai. Keputusan kasasi MA terhadap perkara tersebut, menurut da Costa, begitu saja turun sebelum Pengadilan Tinggi Semarang memeriksa dan memutus perkara di tingkat banding. Memang sebuah perkara yang menarik. Damaitex, milik Sutanto, terlibat utang sekitar Rp 1,3 milyar. Puluhan krediturnya serentak menggulung pabrik tekstil tersebut melalui pengambilalihan PT Damai. Tak puas hanya dengan sebuah pabrik, mereka mengincar scbuah gudang, yang resminya dipergunakan Sutanto untuk menyimpan peralatan pabriknya yang lain, Sinar Pantja Djaja. Alasannya, gudang di seberang Damaitex di Jalan Simongan, masih merupakan bagian dari PT Damai yang harus diambil alih. Penuh Persoalan Sutanto berang dan menolak tuntutan krediturnya. Tapi penolakannya berkor panjang. Ia dan anaknya, Hendra, dijebloskan ke tahanan karena dituduh menggelapkan gudang. Merasa diperlakukan tak adil -- didakwa menggelapkan harta miliknya sendiri -- Sutanto dan Hendra mengadu-balik: menuduh wakil krediturnya, Gwan Kang dan Liong Tiauw, menduduki Damaitex secara paksa. Proses perkara mereka penuh persoalan Hendra, misalnya, diseret ke pengadilan tanpa pernah diperiksa polisi atau jaksa sebagai terdakwa. Berkas yang ada di muka hakim adalah kesaksiannya yang diberikan kepada polisi sehubungan dengan pengaduannya sendiri terhadap Gwan Kang dan Liong Tiauw. Protesnya tak didengarkan majelis hakim yang dipimpin oleh Nyonya T.A. Soedjadi Merasa tak bakal memperoleh keadilan, Hendra dan ayahnya tak mau menghadiri sidang, dan memilih sembunyi ke luar negeri. Timbul persoalan lain ketika hakim melanjutkan pemeriksaan dan menjatuhkan putusan tanpa dihadiri terdakwa: apakah penggelapan dan penipuan, yang bukan merupakan perkara subversi atau ekonomi, dapat diadili secara in-absentia? Sementara putusan hakim (hukuman penjara 3 tahun bagi Sutanto dan 4 tahun terhadap Hendra), yang belum final (karena dimintakan banding), diiklankan di Harian Suara Merdeka (Semarang) -- tanpa jelas siapa pemasangnya. Perkara sampai di Pengadilan Tinggi Semarang -- di sini pun tak kurang pula menariknya. Putusan banding cuma berisi permtah agar Pengadilan Negeri Semarang membuka kembali persidangan dan memeriksa serta memutus perkara dengan dihadiri para terdakwa. Dengan begitu Pengadilan Tinggi belum berkenan memeriksa materi perkara. Jaksa menuntut kasasi ke MA. Sikap badan pengadilan tertinggi negara tersebut sebenarnyalah sudah dapat diperhitungkan akan membenarkan Pengadilan Negeri Sebuah surat MA, yang ditandatangani Seno Adji sendiri (6 September 1979), menyatakan hal itu. Alasannya bila terdakwa pernah menghadiri sidang, maka untuk selanjutnya ia tetap dian gap hadir walaupun ia kemudian tak mau duduk di muka hakim. Yang di luar dugaan ialah kenyataan MA langsung memutuskan materi perkara: menghukum Sutanto dan Eendra masing-masing 1 tahun 6 bulan penjara karena dianggap terbukti melakukan penggelapan . Hal itulah yang menambah bahim bagi da Costa mengecam MA. Sebab, seperti dikemukakan Woerjanto, pembelaSutanto dan Hendra, "MA telah melanggar hukum". Seharusnya, menurut Woerjanto, "MA hanya memutuskan prosedur -- perkara harus dibuka kembali di pengadilan tingkat pertama atau tidak - dan bukan mengenai materi yang tidak dimintakan kasasi baik oleh jaksa maupun terdakwa." Tentang hal itu Seno Adji tak banyak komentar. "Keputusan diambil dalam pleno lengkap . . . bukan mau saya yang jadi," katanya. "Saya juga memutus perkara dengan ini," katanya seraya menunjuk dadanya. "Jika hati nurani saya kcliru, apa iya 12 hakim agung yang lain juga keliru?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini