WARGA Krobungan mengenal Salidin alias Tirjo, 55 tahun, sebagai orang yang kurang bersahabat. Ia, misalnya, enggan bekerja bakti. Suatu kali pamong desa pernah menegurnya. Tapi Salidin tak mau mengerti. Justru sebaliknya, rambut pamong desa dijambak. Lalu Salidin membentak, "Saya tak mau diperintah." Bukan cuma itu. Tali air yang mengaliri sawah penduduk diubahnya agar tertuju ke sawah garapannya. Terakhir desas-desus tentang "dosa"-nya bertambah: Salidin tukang santet. Dan kini, si tukang santet bertubuh kekar itu tak kembali ke rumahnya. Naisyah, anak angkatnya, cemas, melapor ke polisi. Berdasar laporan itu, polisi mengumpulkan berbagai keterangan tentang Salidin. Ada yang menyebutkan Salidin pernah terlibat pertengkaran soal sawah. Yang lain menceritakan bahwa Salidin, karena sifatnya yang pemberang, punya beberapa musuh. Cuma Mbok Su, seorang dari tiga istrinya, memberi keterangan lebih pasti: sebelum menghilang Salidin dijemput seseorang yang akan memberinya pekerjaan. Tapi belakangan Salidin diketahui telah tewas. Sebuah gundukan tanah di tengah sawah dipastikan sebagai tempat mayat Salidin disembunyikan. Ketika lokasi "penyimpanan mayat" itu diketahui pada malam hari, polisi memutuskan akan membongkar ketika pagi datang. Terlambat. Ada yang lebih dulu membongkar kuburan itu. Jalan kembali buntu. Sampai seminggu lewat, yang ditemukan malah kepingan tengkorak, potongan daging, dan tulang manusia. Mengerikan, memang. Letaknya di semak-semak, sekitar 1,5 km dari kuburan itu. Bagian tubuh manusia itu diselidiki laboratorium kriminal Polda Jawa Timur. Termasuk barang bukti yang lain, berupa gesper ikat pinggang. Dari bukti itu didapatlah kesimpulan: itu mayat Salidin. Polisi memperkirakan ada 12 orang yang terlibat menghabisi Salidin. Malah Tomin, menantu Salidin, di antara yang dicurigai, dan ia memang mengaku. "Dia ikut membunuh mertuanya karena Salidin tukang santet," tutur Letkol Soeparno, Kapolres Probolinggo, pada TEMPO. Pada 10 Juni lalu, seorang dari kelompok pelaku menjemput Salidin. Tamu itu membujuk Salidin pergi ke kota. Di kota, kata sang tamu, Salidin akan diberi pekerjaan. Tapi itu hanya dalih. Di tengah jalan sebelas orang, termasuk Tomin, menghadang Sahdin. "Hai, dukun santet. Kalau benar-benar kebal, buktikan pada kami," teriak salah seorang. Kontan Salidin naik pitam. Kakinya mengambil langkah bergegas. Tapi dari balik tubuhnya, si penantang mengeluarkan sebilah kayu. Dan, ciaaat, sepuluh lelaki menyerbu Salidin. Kayu dihujamkan berkali-kali. Salidin menjerit. "Kami makin bersemangat. Sebab, ternyata Mbah Salidin rupanya tak kebal," kata Tomin. Salidin terjerembab bersamaan dengan tiga pisau disarangkan ke tubuhnya. Setelah ia tamat riwayat, kemudian para pengeroyok itu menguburkan mayat Salidin. Tapi polisi tak yakin Salidin dibunuh lantaran santet. "Itu hanya fitnah untuk mendeskreditkan Almarhum," kata Soeparno. Adapun Tomin, yang mengambil anak angkat Salidin sebagai istri kedua, kerap dimarahi mertuanya itu. Menurut rekan Tomin, Aji dan Amad, sebetulnya Tomin membunuh Salidin karena dendam. "Ia sering dibentak, dan tidak dihargai sama sekali," katanya. Dan bisa jadi dendam Tomin, yang bertubuh kerempeng dan pendiam, kemudian dimanfaatkan pihak lain untuk membalas dedam. Yang jelas, hingga kini polisi masih mengejar 11 pelaku yang masih buron. Akan halnya ilmu hitam bernama santet, bisa membuat orang yang dikerjai menjadi sakit atau mati. Karena ilmu itu dianggap merugikan, di tahun 1985 di Jember dan Probolinggo, beberapa dukun santet dibantai penduduk -- setelah mereka diyakinkan bahwa orang-orang tersebut dukun santet. Santet atau bukan, matinya Salidin akan dibuktikan di pengadilan. Berkas Tomin, pekan ini, telah dikirim ke pengadilan setempat. Bunga Surawijaya bersama Herry Mohammad (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini