Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Hilangnya Mbah Salidin

Salidin di Probolinggo tewas dikeroyok 12 orang, dituduh tukang santet. Pelakunya antara lain Tomin, menantu korban. Terungkap setelah mayat korban digali dari kuburannya.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WARGA Krobungan mengenal Salidin alias Tirjo, 55 tahun, sebagai orang yang kurang bersahabat. Ia, misalnya, enggan bekerja bakti. Suatu kali pamong desa pernah menegurnya. Tapi Salidin tak mau mengerti. Justru sebaliknya, rambut pamong desa dijambak. Lalu Salidin membentak, "Saya tak mau diperintah." Bukan cuma itu. Tali air yang mengaliri sawah penduduk diubahnya agar tertuju ke sawah garapannya. Terakhir desas-desus tentang "dosa"-nya bertambah: Salidin tukang santet. Dan kini, si tukang santet bertubuh kekar itu tak kembali ke rumahnya. Naisyah, anak angkatnya, cemas, melapor ke polisi. Berdasar laporan itu, polisi mengumpulkan berbagai keterangan tentang Salidin. Ada yang menyebutkan Salidin pernah terlibat pertengkaran soal sawah. Yang lain menceritakan bahwa Salidin, karena sifatnya yang pemberang, punya beberapa musuh. Cuma Mbok Su, seorang dari tiga istrinya, memberi keterangan lebih pasti: sebelum menghilang Salidin dijemput seseorang yang akan memberinya pekerjaan. Tapi belakangan Salidin diketahui telah tewas. Sebuah gundukan tanah di tengah sawah dipastikan sebagai tempat mayat Salidin disembunyikan. Ketika lokasi "penyimpanan mayat" itu diketahui pada malam hari, polisi memutuskan akan membongkar ketika pagi datang. Terlambat. Ada yang lebih dulu membongkar kuburan itu. Jalan kembali buntu. Sampai seminggu lewat, yang ditemukan malah kepingan tengkorak, potongan daging, dan tulang manusia. Mengerikan, memang. Letaknya di semak-semak, sekitar 1,5 km dari kuburan itu. Bagian tubuh manusia itu diselidiki laboratorium kriminal Polda Jawa Timur. Termasuk barang bukti yang lain, berupa gesper ikat pinggang. Dari bukti itu didapatlah kesimpulan: itu mayat Salidin. Polisi memperkirakan ada 12 orang yang terlibat menghabisi Salidin. Malah Tomin, menantu Salidin, di antara yang dicurigai, dan ia memang mengaku. "Dia ikut membunuh mertuanya karena Salidin tukang santet," tutur Letkol Soeparno, Kapolres Probolinggo, pada TEMPO. Pada 10 Juni lalu, seorang dari kelompok pelaku menjemput Salidin. Tamu itu membujuk Salidin pergi ke kota. Di kota, kata sang tamu, Salidin akan diberi pekerjaan. Tapi itu hanya dalih. Di tengah jalan sebelas orang, termasuk Tomin, menghadang Sahdin. "Hai, dukun santet. Kalau benar-benar kebal, buktikan pada kami," teriak salah seorang. Kontan Salidin naik pitam. Kakinya mengambil langkah bergegas. Tapi dari balik tubuhnya, si penantang mengeluarkan sebilah kayu. Dan, ciaaat, sepuluh lelaki menyerbu Salidin. Kayu dihujamkan berkali-kali. Salidin menjerit. "Kami makin bersemangat. Sebab, ternyata Mbah Salidin rupanya tak kebal," kata Tomin. Salidin terjerembab bersamaan dengan tiga pisau disarangkan ke tubuhnya. Setelah ia tamat riwayat, kemudian para pengeroyok itu menguburkan mayat Salidin. Tapi polisi tak yakin Salidin dibunuh lantaran santet. "Itu hanya fitnah untuk mendeskreditkan Almarhum," kata Soeparno. Adapun Tomin, yang mengambil anak angkat Salidin sebagai istri kedua, kerap dimarahi mertuanya itu. Menurut rekan Tomin, Aji dan Amad, sebetulnya Tomin membunuh Salidin karena dendam. "Ia sering dibentak, dan tidak dihargai sama sekali," katanya. Dan bisa jadi dendam Tomin, yang bertubuh kerempeng dan pendiam, kemudian dimanfaatkan pihak lain untuk membalas dedam. Yang jelas, hingga kini polisi masih mengejar 11 pelaku yang masih buron. Akan halnya ilmu hitam bernama santet, bisa membuat orang yang dikerjai menjadi sakit atau mati. Karena ilmu itu dianggap merugikan, di tahun 1985 di Jember dan Probolinggo, beberapa dukun santet dibantai penduduk -- setelah mereka diyakinkan bahwa orang-orang tersebut dukun santet. Santet atau bukan, matinya Salidin akan dibuktikan di pengadilan. Berkas Tomin, pekan ini, telah dikirim ke pengadilan setempat. Bunga Surawijaya bersama Herry Mohammad (Biro Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus