MALAM belum larut. Baru pukul 22.15. Tapi Losmen Sidomukti di Purwakarta, Jawa Barat, itu sepi. Para tamu asyik nonton televisi. Juga Nyonya Cucu Cuminah, 73 tahun, pemilik losmen itu. Saat itulah tiga lelaki mengendap-endap di gang belakang kamar Cuminah. Mereka membobol tembok dengan palu dan obeng. Tak berisik. Bangunan itu keropos. Alexander Subandi, 30 tahun, salah seorang di antaranya, masuk kamar dan bersembunyi di kolong tempat tidur Cucu. Setelah acara televisi usai, Cucu masuk. Alex menyergapnya, membekap wajahnya dengan handuk. Si nenek melawan, menggigit tangan Alex. Alex kontan memukul tengkuk perempuan tua itu, lalu dibantingnya ke lantai. Dua anggota komplotannya yang lain, Agus Umar, 24 tahun, dan Lambong Sianturi, 35 tahun, masih menunggu di luar. Alex menggeledah kamar, tapi tak menemukan apa-apa. Kemudian ia melepaskan cincin emas di jari manis si nenek. Kawanan itu kabur, dan esoknya menjual cincin rampokannya. Tapi cuma laku Rp 5.000, sekadar buat beli rokok. Itu terjadi 23 Maret lampau. Esoknya, Bandi Supriyatna, 35 tahun, heran. Sudah pukul 09.00 majikannya tak muncul. Karyawan losmen itu mendapati Nyonya Cucu Cuminah, janda tanpa anak itu, tak bernyawa. Tulang lehernya patah, wajahnya lebam. Sebulan lebih, petugas Satserse Polres Purwakarta tak berhasil mengutak-atik misteri pembunuhan ini. Tapi suatu hari salah seorang reserse menganalisa satu-satunya bukti yang dulu ditemukannya. Dulu, ketika memeriksa kamar Cucu, polisi menemukan koran bekas di luar kamar yang memuat Teka-Teki Silang (TTS) yang sudah diisi. Iseng-iseng si reserse meneliti huruf-huruf yang tertera dalam kotak-kotak TTS itu. Tiba-tiba ia ingat tulisan tangan seorang residivis yang pernah ditahannya. Setelah dibandingkan, ternyata huruf-huruf TTS itu persis sama dengan tulisan tangan Alexander Subandi. Residivis yang biasa jadi calo karcis bioskop atau kereta api dan bertubuh kecil, berkulit hitam, serta berambut keriting itu diciduk. Dua tahun lalu, Alex dituduh membakar benang tenun milik pabrik tekstil Indaci, tempatnya bekerja di Jatiluhur. Ia divonis 6 bulan kurungan. Di depan polisi, mula-mula Alex menyangkal huruf-huruf TTS itu tulisannya. "Saya tak kenal itu tulisan siapa," katanya. Tapi polisi tak kalah akal. Alex diajak omong baik-baik. Dan esoknya, ia bersedia mengaku asal dikasih uang Rp 5.000 untuk menengok istri dan dua anaknya di Cimahi. Uang dikasih, dan ia mengaku membunuh Nyonya Cucu bersama dua kawannya. Tapi ia tak diizinkan menengok ke Cimahi. Polisi menjemput keluarganya, dipertemukan di tahanan. Dua hari kemudian, Agus dan Lembong dijaring. Kawanan penjahat itu hampir setiap malam memang suka nonton televisi di Losmen Sidomukti. Suatu malam ia mendengar, Almarhumah menerima uang Rp 50 juta, hasil penjualan losmen berkamar 12 buah itu. Disusunlah rencana merampok. Alex heran bagaimana polisi bisa menangkapnya, karena bukti-bukti sulit dilacak. Koran itu? "Semula koran saya pakai untuk alas duduk ketika kami berdoa di gang di luar kamar Nyonya Cucu," tutur Alex yang hanya tamat SMP. Sebelum beraksi, ketiganya berdoa semoga tak menyakiti, apalagi membunuh, si nenek. Adapun Agus, pemuda lajang lulusan SMA itu, katanya baru pertama kali merampok. Dua tahun lalu ia di-PHK-kan dari sebuah perusahaan swasta di Cilegon, Serang. "Ketika itu sakit hati saya, hingga uang pesangon Rp 60 ribu tak saya ambil," katanya. Lambong, bujangan tamatan STM jurusan mesin, memang penganggur. Ia bersedia membantu Alex, karena ketiganya akan berwiraswasta. Alex sangat menyesal. Mulutnya melongo mendengar cerita bahwa TTS itulah kunci pembuka kejahatannya. Katanya, "Selama menganggur, ya TTS itulah pengisi waktu saya." Senin pekan lalu di Pengadilan Negeri Purwakarta, Jaksa Makmun Atmasuwita menuntut mereka dengan hukuman: masing-masing 20 tahun. Mereka terperangah. Laporan Hasan Syukur (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini