Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ikan Teri Tersangkut Videotron

Perkara korupsi proyeksi videotron Kementerian Koperasi segera masuk pengadilan. Putra Menteri Koperasi, yang diduga mendudukkan pesuruhnya sebagai direktur utama di perusahaan yang memenangi proyek itu, lolos.

10 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengenakan pakaian batik merah, Hendra Saputra tak banyak berbicara. Pria 32 tahun itu lebih banyak mendengar dan hanya sesekali mengangguk saat petugas Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan membacakan ringkasan berkas perkaranya setebal sekitar 10 sentimeter. "Nanti dalam sidang kamu katakan apa adanya, jangan ditutupi," ujar petugas itu.

Akhir Februari lalu, Hendra didatangkan kembali ke Kejaksaan. Pemberkasan perkara yang menjerat pria yang berpendidikan hanya sampai kelas III sekolah dasar itu sudah selesai. Berkas tersebut tinggal dilimpahkan ke pengadilan. Kejaksaan menetapkan Hendra sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan videotron di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah. Kerugian atas kasus ini, menurut Kejaksaan, sekitar Rp 4,7 miliar.

Hendra dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Ia terancam hukuman 20 tahun penjara. Dalam kasus ini, Hendra tercatat sebagai Direktur Utama PT Imaji Media, perusahaan yang memenangi proyek videotron-papan reklame elektronik berukuran raksasa. Dalam dokumen Kejaksaan, namanya tertulis: Ir Hendra Saputra. Imaji pemenang tender pengadaan videotron senilai total Rp 23,4 miliar.

Selain Hendra, tersangka lain dalam kasus ini adalah Hasnawi Bachtiar dan Kasiyadi. Untuk proyek videotron tersebut, Hasnawi merupakan pejabat pembuat komitmennya. Adapun Kasiyadi anggota panitia lelang. Berbeda dengan Hendra, dua orang terakhir ini berkas pemeriksaannya belum rampung.

Perkara rasuah videotron Kementerian Koperasi dan UKM mulai disidik Kejaksaan pada Juni 2013. Itu setelah Kejaksaan menerima laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan 2012 pada Mei 2013. Pada awal penyidikan, Kejaksaan menghitung kerugian atas proyek di kementerian yang dipimpin Syariefuddin Hasan itu Rp 17 miliar. Belakangan, Kejaksaan meralat: kerugiannya Rp 4,7 miliar. Angka terakhir ini bersumber dari kerugian berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada Februari 2014.

Sejak kasus ini menggelinding ke Kejaksaan, mereka melakukan pemanggilan terhadap Hendra. Namun, berkali-kali dipanggil Kejaksaan, ia tak datang. Belakangan, diketahui ia ternyata "kabur" ke Kalimantan Timur. Pada Oktober 2013, Kejaksaan mencokok bapak satu anak itu di Samarinda.

Saat diperiksa, Hendra mengaku tak tahu soal PT Imaji Media. Ia mengaku hanya sebagai office boy di PT Rifuel, perusahaan milik Riefan Avrian, putra Syarief Hasan. Kepada Tempo, Hendra mengaku dulu ia pernah diminta menandatangani sebuah dokumen oleh anggota staf PT Rifuel. "Saya tak menyangka tanda tangan itu kemudian membuat saya begini," ucapnya.

Dari hasil penelusuran Tempo, PT Rifuel menempati sebuah ruangan di Kompleks ITC Fatmawati Blok B2 Nomor 6 lantai 5, Jakarta Selatan. Menurut salah seorang anggota staf pengelola gedung tersebut, Rizal, sudah lima bulan kantor itu tak beroperasi. "Masih ada meja dan kursinya, tapi tak ada orang-orang di dalamnya," kata Rizal.

Kejaksaan telah memeriksa Riefan dua kali, yakni pada November dan Desember 2013. Kepada penyidik, anak sulung Ketua Harian Partai Demokrat itu membantah terkait dengan pengadaan proyek videotron. "Dia bahkan mengaku tak mengenal Hendra," ujar Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Ida Bagus Wiswantanu, Jumat pekan lalu, kepada Tempo.

Hingga saat ini Kejaksaan belum menetapkan Riefan sebagai tersangka. "Belum ada bukti kuat untuk menyeretnya," kata Wiswantanu. Menurut dia, proses selanjutnya akan bergantung pada penemuan fakta baru di pengadilan.

Menurut Wiswantanu, tender proyek videotron diikuti PT Rifuel dan PT Imaji Media. Imaji, dia melanjutkan, dipersiapkan untuk memenangi tender pengadaan videotron.

Sebagai perusahaan, PT Rifuel terhitung masih gres, baru didirikan pada 2010. Adapun Imaji jauh lebih muda, berdiri pada 2012. Menurut Wiswantanu, dari penyelidikan, kedua perusahaan itu ternyata memalsukan rekam jejak prestasi mereka. "Profilnya disebut sudah mengerjakan ini-itu, padahal belum."

Saat menelisik Imaji, para jaksa juga hanya menemukan "jejak" kantor perusahaan itu. Di dokumen, perusahaan tersebut tercatat beralamat di Rumah Kantor Crown Palace Blok C 35, Jakarta Selatan. Tapi, saat didatangi, kantor itu sudah berbeda penghuni.

Kontrak pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron kepada PT Imaji Media dimulai pada 18 Oktober 2012 dengan jangka waktu pelaksanaan 65 hari kerja atau 1 Desember 2012. Ruang lingkup pekerjaannya meliputi pembangunan konstruksi videotron, pengadaan videotron, genset, dan instalasi listrik, serta pembuatan materi awal videotron.

Pekerjaan ini telah dibayar penuh pada 17 Desember 2012. Dana proyek dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011. Dari anggaran videotron sebesar Rp 23,4 miliar, belakangan diketahui sebesar Rp 2,6 miliar merupakan pekerjaan yang tidak dilaksanakan tapi dibayarkan.

Badan Pemeriksa Keuangan menemukan sejumlah keganjilan terhadap proses lelang yang dimenangi Imaji. Itu, antara lain, penawaran Imaji untuk pekerjaan konstruksi tidak dilengkapi metode pelaksanaan dan analisis harga satuan. Lalu jenis genset yang digunakan ternyata merek Perkinsi 400 KVA. Padahal, sesuai dengan perjanjian, semestinya 500 KVA.

Sejak kasus ini mencuat, Riefan seperti raib. Pekan lalu Tempo berusaha meminta konfirmasi kepada Riefan dengan mendatangi dan menitipkan surat di apartemennya di Senayan. Tapi hingga kini tak ada jawaban. Menteri Syariefuddin Hasan menegaskan ia tak tahu-menahu proses pengadaan videotron di kementeriannya. Semua proses, kata dia, ditandatangani bawahannya. "Saya sama sekali tak tahu. Semuanya terjadi di eselon II," ujarnya.

Luputnya Riefan sebagai tersangka dalam kasus ini mengundang kritik sejumlah aktivis antikorupsi. Mereka juga menuduh Kejaksaan sangat lamban menyelesaikan perkara ini.

Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)UchokSky Khadafi, misalnya, menuding Kejaksaan tak optimal melakukan penyidikan sehingga hanya berhenti pada Hendra, Hasnawi, dan Kasiyadi. "Nuansa politis terlalu besar bagi Kejaksaan untuk menuntaskan kasus," kata Uchok. Karena itu, ia menyarankan Kejaksaan melimpahkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi. "Apa yang didakwa dan dituntut oleh Kejaksaan hanya ikan terinya saja," ujar Uchok.

Ida Bagus Wiswantanu menegaskan bahwa pihaknya tak mendapat intervensi dari siapa pun dalam mengusut kasus ini. Dia juga membantah berita yang menyebutkan KPK melakukan supervisi atas perkara ini. "Tak ada supervisi karena kasus ini sudah tahap penyerahan berkas. Tinggal menunggu persidangan," katanya.

Yuliawati, Tri Artining Putri, Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus