Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hikayat Beras Wangi Rasa Klorin

Beras wangi asal Vietnam terendus mengandung klorin, yang berbahaya untuk kesehatan. Ditengarai ada kartel yang mengatur impor beras.

10 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bertandang ke rumah Billy Haryanto di Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat, awal Februari lalu. Menenteng beras wangi Vietnam, dua pegawai itu meminta informasi cara cepat membedakan beras premium dan medium. Billy adalah pedagang di Pasar Induk Beras dan Palawija di Cipinang, Jakarta Timur.

Melihat bekal kurang komplet, tuan rumah meminta tamunya membeli 10 kilogram Thai Hom Mali dan 2 kilogram Japonica di sebuah pasar swalayan. Thai Hom Mali dan Japonica merupakan varietas padi premium asal Thailand dan Jepang. "Agar jelas beda premium Vietnam dengan Thailand dan beras lokal," kata Billy kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Tamu istimewa mendatangi Billy dua pekan setelah mencuat berita marak beras impor asal Vietnam membanjiri pasar. Billy menjadi orang yang dicari karena dia yang pertama kali melaporkan beras ilegal itu kepada Bayu Krisnamurthi, saat Wakil Menteri Perdagangan itu mendampingi Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dalam inspeksi mendadak pada 22 Januari lalu.

Petugas pabean merespons kicauan Billy dengan menggelar pemeriksaan terhadap 32 kontainer berisi 800 ton beras asal Vietnam. Beras yang diimpor CV Pangan Sejahtera, CV Kusuma Food Indonesia, dan PT Tri Mitra Makmur Lohata itu diduga menyalahi dokumen importasi. Karena tak tahu membedakan beras, pejabat Bea dan Cukai menyebar anak buahnya menemui para pedagang di pasar Cipinang.

Billy mengatakan dua pegawai itu cukup lancar mempelajari beragam jenis beras. Satu jam bertamu di rumah Billy, keduanya pamit. Bukan hanya Billy, Rudi Siswanto dan Hendra, pedagang beras impor di Cipinang, juga mengatakan didatangi petugas pabean. "Saya kasih contoh berasnya," ujar Hendra.

Informasi dari lapangan menjadi bahan berharga bagi penyidik Bea dan Cukai. Sebab, tiga hari kemudian, Menteri Keuangan Chatib Basri dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono mengumumkan bahwa beras yang ditangkap itu diduga menyalahi aturan impor.

Dalam penyelidikan, petugas menemukan surat persetujuan impor yang diterbitkan Kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa beras yang boleh diimpor adalah Thai Hom Mali. Celakanya, beras di kontainer yang dikemas dalam karung 25 kilogram itu bertulisan premium fragrant rice merek Lotus milik CV Pangan Sejahtera dan fragrant rice merek Eagle milik PT Kusuma Food Indonesia. Adapun beras milik Lohata dikemas dalam karung 50 kilogram tanpa merek.

Ribut-ribut penyetaraan Thai Hom Mali dengan beras wangi Vietnam sampai juga ke telinga pejabat Kedutaan Besar Thailand di Jakarta. Atase perdagangan Vilasinee Nonsrichai mengatakan Thai Hom Mali merupakan nama dan jenis beras yang didaftarkan sebagai komoditas asli Thailand. "Thailand satu-satunya negara yang memiliki Thai Hom Mali," katanya. "Tidak ada satu pun negara yang dapat mengklaim nama itu."

n n n

MENDAPATI sejumlah kejanggalan, penyidik Bea dan Cukai terus melakukan penelitian terhadap beras hasil tangkapan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menguji kandungan zat kimia di dalam beras asal Vietnam itu. "Sebagai pembanding, beberapa penyidik terbang ke Vietnam mencari sampel beras," ujar sumber Tempo.

Pada 18 Februari lalu, tiga sampel beras itu dibawa ke Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Subang, Jawa Barat. Bukan hanya itu, petugas juga membawa dua sampel beras yang diambil acak dari Pasar Beras Cipinang.

Lima sampel itu diuji untuk mengetahui kandungan klorin atau zat pemutih. Pemutih ini banyak dipakai agar beras terlihat kinclong. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 32 Tahun 2007, klorin dilarang dicampur dalam sumber karbohidrat itu.

Setelah melalui pengujian laboratorium, pada 26 Februari terbit hasilnya. "Ternyata bulir-bulir beras itu mengandung klorin, zat pemutih yang dilarang," kata sumber tadi.

Salinan dokumen hasil laboratorium yang diterima Tempo menunjukkan lima sampel beras asal Vietnam itu mengandung klorin berkisar 28,772-107,909 miligram per kilogram. Surat itu diteken Manajer Teknis Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Kementerian Pertanian Ami Teja Rakhmi (baca: "Si Putih dari Vietnam").

Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Susiwijono Moegiarso tidak menyangkal ada uji laboratorium beras asal Vietnam. "Tapi saya belum tahu hasilnya," ujarnya Kamis pekan lalu.

n n n

SIKAP tegas Direktorat Bea dan Cukai membongkar impor beras ilegal membuat gerah pejabat Kementerian Perdagangan. Pasalnya, mereka adalah instansi yang mengatur penunjukan importir dan pembagian kuota impor beras.

Seorang pejabat Kementerian Keuangan mengatakan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi sempat berusaha melobi petinggi Bea dan Cukai meminta agar penangkapan beras impor tidak dilanjutkan ke penyidikan. "Cukup pelanggaran administratif saja," kata pejabat itu mengutip permintaan Bayu.

Namun permintaan itu sia-sia. Penyidik Bea dan Cukai tetap berkukuh ada penyimpangan dalam impor 800 ton beras asal Vietnam. Bayu membantah soal adanya upaya intervensi proses penyidikan di Bea dan Cukai. "Info dari mana?" ujarnya.

Susiwijono mengaku tidak mendengar adanya upaya intervensi itu. Namun yang jelas, kata dia, penyidik memastikan ada pelanggaran pasal pidana dalam kegiatan impor tersebut. "Kami sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri Jakarta Utara."

Tak hanya sampai di situ, petugas intelijen Bea dan Cukai lebih jauh meneliti siapa pemain besar dalam impor beras itu. Sejumlah petugas disebar mencari informasi peta importir. Menurut sumber Tempo, temuan di lapangan cukup mengejutkan. "Karena 58 importir terdaftar hanya dikuasai oleh tiga orang," ucapnya. "Mereka adalah Efendi Ng, Mustika, dan Yudi, pengusaha Surabaya."

Selain Efendi Ng, yang dikenal dengan nama Hansen, ada Grup Mustika-yang dua perusahaannya, CV Kusuma Food Indonesia dan CV Pangan Sejahtera, tertahan di Bea dan Cukai Priok. Selain itu, Mustika memiliki perusahaan lagi, yakni PT Lautan Mas Pertiwi dan CV Cipta Harapan Bersama.

Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Seluruh Indonesia (Perpadi) Jakarta Nellys Soekidi mengatakan Grup Mustika dikenal sebagai Lautan Mas. Perusahaan ini dikenal sebagai pebisnis lama. Menurut data importasi Bea dan Cukai, grup ini mengimpor beras khusus dari Thailand, Amerika Serikat, India, dan Vietnam.

Sumber Tempo mengatakan perusahaan ini dimiliki oleh Mustika, tapi untuk importasi dikendalikan anaknya, Felix. Awal Januari lalu, Tempo mendatangi gudang Lautan Mas, yang berada di Sentra Industri Pergudangan Elang Laut, Jalan Kamal Muara, Jakarta Utara. Namun dia tidak berada di tempat.

Efendi Ng merupakan pemain besar importasi beras Vietnam. Dia bukan pedagang beras, melainkan pengusaha ekspedisi muatan kapal laut yang mengantongi izin sebagai importir. "Saya kenal Efendi," kata Rudi, importir sekaligus pedagang beras di Cipinang.

Sepak terjang Hansen dikenal sejak ia menjadi pengurus pusat Perpadi. Namanya sempat mencuat saat terjadi konflik di antara pengurus. Hansen dituding kerap menjual nama Perpadi untuk melobi pejabat guna mendapatkan izin impor.

Nellys mengatakan mengenal Hansen. Menurut dia, lelaki asal Medan itu telah dicopot sebagai pengurus sejak tiga tahun lalu. "Soal sepak terjangnya, saya tidak tahu," ujarnya.

Seorang importir bercerita, lewat lobi terhadap pejabat Kementerian Pertanian, Hansen kerap mendapat kuota besar. Kuota itu dibagi-bagi untuk perusahaan yang merapat kepadanya. Adapun lobi Hansen ke pejabat Kementerian Perdagangan adalah menyebutkan keterangan Thai Hom Mali ditambahkan "beras wangi". Cara ini untuk mengelabui petugas pabean.

Direktur Jenderal Pemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian Yusni Emilia Harahap belum bisa dimintai tanggapan soal ini. Dia tidak menjawab pertanyaan tertulis yang dikirimkan ke telepon selulernya.

Menteri Pertanian Suswono pernah mengatakan persoalan masuknya beras wangi Vietnam terjadi akibat ketidakcocokan antara rekomendasi impor yang diterbitkan instansinya dan surat persetujuan impor (SPI) yang diterbitkan Kementerian Perdagangan. Dalam rekomendasi ditulis Thai Hom Mali, tapi di SPI yang tertulis thai hom mali/beras wangi (dalam huruf kecil). "Ini peluang pelanggaran."

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengaku tidak mengetahui peran Hansen di balik izin impor yang diterbitkannya. Dia juga menyangkal ada intervensi terkait dengan penyebutan beras wangi. "Yang pasti itu tidak melanggar aturan," ucapnya.

Menurut dia, merek Thai Hom Mali telah dipatenkan oleh pemerintah Thailand. Namun bukan berarti importir tak bisa membeli beras sejenis dari negara lain. "Dapat dibeli di negara lain yang tersedia stok," katanya.

Dari penelusuran Tempo diketahui, dari 41 ribu ton realisasi impor beras Vietnam, kelompok Hansen mengantongi kuota 300-1.800 ton per tahun. Importir lain hanya kebagian rata-rata 100-200 ton.

Seorang pedagang beras besar membuka kiat Hansen mendapatkan kuota jumbo. Menurut dia, Hansen meminjam bendera perusahaan lain ke sesama pengusaha ekspedisi dan pedagang beras. "Fee yang dia bayar Rp 100-150 per kilogram," ujarnya.

Harga pedagang berbeda dengan banderol yang disodorkan pengusaha ekspedisi. Seorang pengusaha ekspedisi yang kerap mengimpor hortikultura mengatakan memasang tarif Rp 2 juta per kontainer. "Dari saya, Hansen dan grupnya meminjam dua perusahaan," katanya Kamis pekan lalu. Total kuota impor yang dikantongi dua perusahaan ini mencapai 72 kontainer atau 1.800 ton.

Iwan Zakaria, Komisaris CV Pari Pangan Utama, mengaku empat CV miliknya dipinjam Hansen. "Pinjam meminjam ini biasa," ujarnya.

Saat dimintai konfirmasi, Hansen mengakui baru menekuni bisnis impor dari Vietnam sejak tahun lalu. Dia tidak membantah jika disebut mengantongi sejumlah kuota untuk perusahaannya. "Tapi kuota saya kecil," katanya.

Namun dia menyangkal jika dikatakan kerap meminjam perusahaan lain dan mengatur kuota impor di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. "Astaga, itu tidak benar," ucapnya.

Akbar Tri Kurniawan, Iqbal Muhtarom, Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus