DOSEN Indonesia tak perlu takut menganggur. Sebuah undangan lewat iklan di beberapa surat kabar Jakarta menjanjikan pekerjaan dengan imbalan yang menjanjikan. Dicari pensyarah, kata iklan itu, yang akan diberi gaji per bulan antara Rp 2 juta dan Rp 4 juta, dan setahun 13 kali gaji. Biaya pengobatan diganti 100%, disediakan uang perumahan sekitar Rp 100.000 tiap bulan, pinjaman mobil tanpa bunga, transportasi diganti penuh -- semuanya bebas pajak. Pendaftaran ditutup 7 Juli 1987. Pensyarah, bahasa Arab yang dimelayukan, artinya memang dosen. Adapun undangan itu datang dari Universiti Brunei Darussalam (UBD), negara tetangga yang baru merdeka di akhir 1983. Dan gayung ternyata bersambut. Menurut pihak Hubungan Masyarakat Kedutaan Brunei di Jakarta, "Sekitar 30 pelamar, sudah kami terima berkasnya." Dari jumlah tersebut, kata Zulhasril Nasir, Asisten Humas itu, lima di antaranya akhir bulan ini siap berdiri di depan para mahasiswa UBD. Dengan penduduk sekitar 220.000, negeri baru seluas lebih sedikit dari 5.600 km2 (sekitar delapan setengah kali luas DKI Jakarta) boleh dikata memang sepi. Apalagi universitasnya, yang baru berjalan dua tahun lalu -- dan baru membuka dua fakultas: Pendidikan, Sastera dan Sains -- baru punya sekitar 350 mahasiswa. Hal seperti itulah yang menantang Prof. Dr. Winarno Surakhmad, bekas Rektor IKIP Jakarta, untuk mengajukan diri sebagai pensyarah madya atau profesor. "Saya ingin mencari suasana baru," kata Winarno, 58 tahun, terakhir mengajar di Universitas Satya Wacana, Salatiga. Bagi pemikir pendidikan semacam Winarno, tawaran dari Brunei bukan sekadar berarti lapangan pekerjaan dengan gaji menarik. "Brunei negara kecil, tapi punya peluang besar dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial, khususnya pendidikan agama," kata Winarno, ayah empat anak. "Barangkali, ide-ide saya bisa diterima di Brunei." Indonesia merupakan negara keempat, setelah Malaysia, Singapura, dan Inggris, yang diharapkan oleh Universiti Brunei Darussalam bisa menyumbangkan dosen. Pilihan itu, menurut Zulhasril dari Humas Kedutaan Brunei, karena Malaysia dan Indonesia dari segi latar belakang kebudayaan dan sosial tak begitu jauh berbeda, terutama dalam hal latar belakang keagamaan, yaitu Islam. Selain itu, Indonesia, Malaysia, dan Singapura dianggap "banyak memiliki ahli yang sesuai dengan jurusan di UBD." Adapun Inggris dipilih, karena bekas penguasa Brunei hingga kedua negeri sudah saling mengenal. Sebelum UBD berdiri, kaum terpelajar Brunei menuntut pendidikan tinggi di Inggris. Mereka, setelah kembali di tanah air, memegang berbagai jabatan penting. Dan itulah sebabnya UBD agak sulit mencari dosen bangsa sendiri: habis disedot untuk keperluan pemerintahan. Tak cuma orang Jakarta, dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh pun datang tanggapan. Dr. Muhammad Nazir, 55 tahun, ingin menggunakan kesempatan itu guna menyumbangkan dan mengembangkan ilmu yang dipunyainya. Ia selama ini memang kurang merasa terpakai. Bukan karena macam-macam, tapi bekas Dekan Fakultas Pertanian yang sebenarnya lebih banyak bertugas sebagai Ketua Tim Pengawasan dan Pengendalian Wilayah Industri Aceh itu sudah pensiun. Brunei, negeri kaya minyak, dengan tingkat penghasilan rata-rata per tahun US$ 22.500, menjanjikan kemudahan belajar. Di sini mahasiswa bukannya membayar, tapi malah mendapat uang saku sekitar Rp 375.000 per bulan. Dengan ruang kuliah ber-AC, dengan laboratorium dan perpustakaan komplet, dengan kurikulum adapasi dari perguruan tinggi di Inggris, dengan bahasa pengantar Melayu dan Inggris, harapan memang besar. Kini, di UBD, dengan jumlah mahasiswa yang tak begitu besar, tiap mata kuliah hanya diikuti kurang dari 10 orang. Dengan demikian, dari dosen memang dituntut bimbingan secara individual. Yang mungkin agak aneh adalah pembagian jurusan. Satu fakultas disebut Fakultas Sastera dan Sains. Yang Sastera dibagi dalam jurusan: Sastera Melayu, Falsafah, Ekonomi, Sejarah, antara lain. Yang Sains: Biologi, Kimia, Fisika, Matematika. Fakultas Pendidikan tak terbagi-bagi dalam jurusan. Lain daripada itu, di sini ada kuliah wajib Bahasa Inggris. Dan, yang disebut mata kuliah (kursus istilah Bruneinya) Pemikiran Kritis. Itulah kuliah yang "mengajarkan prinsip dan alat asas yang boleh digunakan bagi menganalisa hujah-hujah." Tujuannya, "meninggikan kebolehan berhujah dengan kaedah yang sah dan cara pemikiran yang bernas." Adapun seleksi untuk para dosen Indonesia, tak disebutkan secara detail oleh Zulhasril Nasir. Syarat pokoknya, untuk pensyarah atawa dosen biasa harus sariana, lebih diutamakan sudah berpengalaman memberi kuliah. Untuk pensyarah kanan, dosen senior maksudnya, mesti bergelar doktor (Ph.D.) dan punya pengalaman lima tahun jadi dosen, atau sarjana dengan 8 tahun pcngalaman memberi kuliah. Sedangkan untuk pensyarah madya, adalah doktor yang telah menjadi dosen senior. Bagaimana bila tak cuma dosen, tapi juga mahasiswa Indonesia ke Brunei? Zulhasril tak menjawab. Mungkin memang belum terpikirkan. Yusroni Henridewanto, Laporan Muchsin Lubis (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini