VB. da Costa, anggota Komisi III/DPR, menemukan lagi sebuah
"kartu buruk" lembaga peradilan. Ia menunjuk proses sebuah
perkara pidana di Pengadilan Negeri Semarang yang dianggapnya
"tidak fair". Pekan lalu da Costa terbang ke Semarang untuk
"melihat-lihat" lebih jauh keadaan di sana.
Perkara bermula dari sengketa sesama keturunan Cina dari Hokcia
di sana. Pabrik Tekstil Damaitex di Jalan Simongan (Semarang)
dari P.T.Damai milik Sutanto Djaja, terlibat utang besar. Ke-69
kreditur, sambil menuduh perusahaan itu sengaja tak mau membayar
utang, serentak menagih. Mereka menuntut Rp 1,3 milyar.
Sutanto kewalahan. Ia terdesak oleh cara penyelesaian yang
ditentukan para krediturnya. Yaitu: P.T. Damai harus menyerahkan
Damaitex berikut semua perlengkapannya. Dengan begitu utang
boleh dianggap lunas.
Untuk menunjukkan itikad baik Sutanto menerima cara penyelesaian
demikian. Untuk itu ia memberi kuasa kepada Panitia 7 -- yang
dibentuk para kreditur -- untuk melakukan tindakan pendahuluan.
Tapi dua hari kemudian, kreditur langsung menduduki dan
mengambil alih pabrik itu. Pimpinan pabrik, Hendra, anak
Sutanto, dipaksa meneken sebuah surat perjanjian penyerahan
Damaitex. Kemudian diteruskan pembuatan akte pengunduran para
direktur dan penyerahan seluruh saham kepada para kreditur.
Bersembunyi
Sutanto terpepet dan angkat kaki dari pabrik yang telah
dibangunnya sejak 1961. "Padahal nilai semuanya itu," seperti
pernah dikatakan Sutanto, "jauh lebih banyak dari yang mereka
anggap sebagai utang kami. " Itu pun belum cukup. Sebab,
ternyata, sebuah gudang yang berisi peralatan mesin pabrik
tekstil lain milik Sutanto, Sinar Pantja Djaja (SPD), juga
diincar para kreditur. Alasannya, gudang berikut isinya, seperti
pernah dikatakan salah seorang direktur baru yang kini berkuasa,
Tan A Tong, merupakan bagian dari P.T. Damai yang juga harus
diserahkan sebagai pembayaran utang.
Karena Sutanto menolak, pimpinan Damai yang baru mengadukannya
dengan alasan telah melakukan kejahatan penggelapan dan
penipuan. Kali ini Sutanto -- yang merasa dituduh menggelapkan
harta bendanya sendiri -- bertahan. Ia dan anaknya, Hendra,
mengadu balik ke polisi: menuduh wakil para krediturnya, Hoo
Gwan Kang dan Hoo Liong Tiauw menduduki dan mengambil alih
pabrik secara paksa.
Pengadilan berlangsung segera. Bahkan pengaduan Sutanto yang
diajukan belakangan, beberapa waktu sesudah lawannya mengadu,
ternyata disidangkan duluan. Putusannya? Gwan Kang dan Liong
Tiauw, para terdakwa, dibebaskan setelah jaksa menuntut bebas
pula.
Setelah masalah itu beres barulah Sutanto dan Hendra diadili.
Dan sejak permulaan sidang Hendra, melalui pembelanya, telah
mengingatkan hakim akan sesuatu yang ganjil, ia tak pernah
diperihsa -- baik oleh polisi maupun jaksa -- sebagai terdakwa.
Suatu hal tidal lazim, memang. Berkas yang ada di muka hakim,
katanya, adalah hasil polisi ketika memeriksanya sebagai saksi
terhadap perkara pertama yang diadukannya (TMPO, 1 April
1978).
Walaupun Hendra bersikeras menunjukkan hal-hal yang ganjil
--kemungkinan terjadi pemalsuan berita-acara pemeriksaan oleh
petogas hukum -- Hakim Nyonya T.A. Soedjadi yang memimpin
sidang, tetap melanjutkan pemeriksaan. Melihat gelagat demikian
Sutanto dan Hendra tak mau lagi menghadiri sidang. Ayah dan anak
ini bersembunyi.
Sidang pengadilan terhenti? Ternyata tidak. Hakim melanjutkan
pemeriksaan dan memutuskan perkara tanpa hadirnya terdakwa.
Walaupun perkara penggelapan & penipuan bukanlah perkara
pelanggaran (yang bisa diputus secara verstek) atau subversi dan
ekonomi (yang bisa diadili in-absentia). Sebab, menurut majelis
hakim, walaupun tanpa terdakwa perkara "tidak seharusnya
dibiarkan berhenti sebagai perkara yang 'tergantung' tanpa batas
waktu.'
Pengadilan berpendapat, pemeriksaan dan putusan tanpa hadirnya
terdakwa, "tidak merupakan hal yallg mustahil dapat dilakukan
ataupun hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum." Walaupun diakui oleh majelis hakim praktek semacam itu
tak pernah terjadi 'sepanjang sejarah peradilan....."
Dan Sutanto Djaja dijatuhi hukuman 3 tahun penjara. Sedang
anaknya, Hendra, kena 4 tahun. Tapi kedua terdakwa -- yang
dimintakan banding oleh pengacaranya -- lebih suka menghindar.
Hanya Sutanto (kini 60 tahun), yang sedikit-sakitan, akhirnya
tak kuat lama bersembunyi. Begitu kembali dari Singapura,
sekitar 8 bulan setelah vonis pengadilan, ia ditangkap dan
langsung masuk bui. Hanya Hendra yang hingga kini tetap buron.
Melalui pembelanya Sutanto mengadu ke berbagai instansi penegak
hukum meminta perhatian. Menteri Kehakiman Moedjono ada
memberikan perharian dan meminta penjelasan dari pengadilan.
Pengadilan Tinggi di Semarang. April lalu, malah menerima
permohonan banding terdakwa dan memerintahkan agar Pengadilan
Negeri Semarang membuka persidangan untuk memeriksa dan memutus
kembali perkara Sutanto dan Hendra -- tentu saja dengan
keharusan hadirnya para rerdakwa.
Putusan Pengadilan Tinggi yang demikian, menurut da Costa,
lumayan juga. Bahkan, cukup baik dibandingkan dengan sikap
Mahkamah Agung yang menurut da Costa menyetujui pemeriksaan
perkara tanpa hadirnya terdakwa.
Padahal menurut da Costa, cara peradilan serupa itu bertentangan
dengan Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (UU No. 14/1970) yang menyatakan: "Pengadilan
memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya
tertuduh..."
Pengadilan Negeri Semarang belum menentukan kapan hendak membuka
kembali perkara tertuduh Kasus Damaitex. Pengacara tertuduh,
Woerjanto, mengajukan permohonan agar susunan majelis hakim
diganti. Sedangkan ketua Majelis Hakim yang lama, Nyonya
Soedjadi, tidak bersedia memberi komentar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini