Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

In-Absentia Atau Nyanyian Seriosa

Masalah pengadilan in-absentia dalam kasus pabrik damaitex di semarang mendapat perhatian dari menteri kehakiman. pengadilan tinggi semarang menerima permohonan banding terdakwa.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VB. da Costa, anggota Komisi III/DPR, menemukan lagi sebuah "kartu buruk" lembaga peradilan. Ia menunjuk proses sebuah perkara pidana di Pengadilan Negeri Semarang yang dianggapnya "tidak fair". Pekan lalu da Costa terbang ke Semarang untuk "melihat-lihat" lebih jauh keadaan di sana. Perkara bermula dari sengketa sesama keturunan Cina dari Hokcia di sana. Pabrik Tekstil Damaitex di Jalan Simongan (Semarang) dari P.T.Damai milik Sutanto Djaja, terlibat utang besar. Ke-69 kreditur, sambil menuduh perusahaan itu sengaja tak mau membayar utang, serentak menagih. Mereka menuntut Rp 1,3 milyar. Sutanto kewalahan. Ia terdesak oleh cara penyelesaian yang ditentukan para krediturnya. Yaitu: P.T. Damai harus menyerahkan Damaitex berikut semua perlengkapannya. Dengan begitu utang boleh dianggap lunas. Untuk menunjukkan itikad baik Sutanto menerima cara penyelesaian demikian. Untuk itu ia memberi kuasa kepada Panitia 7 -- yang dibentuk para kreditur -- untuk melakukan tindakan pendahuluan. Tapi dua hari kemudian, kreditur langsung menduduki dan mengambil alih pabrik itu. Pimpinan pabrik, Hendra, anak Sutanto, dipaksa meneken sebuah surat perjanjian penyerahan Damaitex. Kemudian diteruskan pembuatan akte pengunduran para direktur dan penyerahan seluruh saham kepada para kreditur. Bersembunyi Sutanto terpepet dan angkat kaki dari pabrik yang telah dibangunnya sejak 1961. "Padahal nilai semuanya itu," seperti pernah dikatakan Sutanto, "jauh lebih banyak dari yang mereka anggap sebagai utang kami. " Itu pun belum cukup. Sebab, ternyata, sebuah gudang yang berisi peralatan mesin pabrik tekstil lain milik Sutanto, Sinar Pantja Djaja (SPD), juga diincar para kreditur. Alasannya, gudang berikut isinya, seperti pernah dikatakan salah seorang direktur baru yang kini berkuasa, Tan A Tong, merupakan bagian dari P.T. Damai yang juga harus diserahkan sebagai pembayaran utang. Karena Sutanto menolak, pimpinan Damai yang baru mengadukannya dengan alasan telah melakukan kejahatan penggelapan dan penipuan. Kali ini Sutanto -- yang merasa dituduh menggelapkan harta bendanya sendiri -- bertahan. Ia dan anaknya, Hendra, mengadu balik ke polisi: menuduh wakil para krediturnya, Hoo Gwan Kang dan Hoo Liong Tiauw menduduki dan mengambil alih pabrik secara paksa. Pengadilan berlangsung segera. Bahkan pengaduan Sutanto yang diajukan belakangan, beberapa waktu sesudah lawannya mengadu, ternyata disidangkan duluan. Putusannya? Gwan Kang dan Liong Tiauw, para terdakwa, dibebaskan setelah jaksa menuntut bebas pula. Setelah masalah itu beres barulah Sutanto dan Hendra diadili. Dan sejak permulaan sidang Hendra, melalui pembelanya, telah mengingatkan hakim akan sesuatu yang ganjil, ia tak pernah diperihsa -- baik oleh polisi maupun jaksa -- sebagai terdakwa. Suatu hal tidal lazim, memang. Berkas yang ada di muka hakim, katanya, adalah hasil polisi ketika memeriksanya sebagai saksi terhadap perkara pertama yang diadukannya (TMPO, 1 April 1978). Walaupun Hendra bersikeras menunjukkan hal-hal yang ganjil --kemungkinan terjadi pemalsuan berita-acara pemeriksaan oleh petogas hukum -- Hakim Nyonya T.A. Soedjadi yang memimpin sidang, tetap melanjutkan pemeriksaan. Melihat gelagat demikian Sutanto dan Hendra tak mau lagi menghadiri sidang. Ayah dan anak ini bersembunyi. Sidang pengadilan terhenti? Ternyata tidak. Hakim melanjutkan pemeriksaan dan memutuskan perkara tanpa hadirnya terdakwa. Walaupun perkara penggelapan & penipuan bukanlah perkara pelanggaran (yang bisa diputus secara verstek) atau subversi dan ekonomi (yang bisa diadili in-absentia). Sebab, menurut majelis hakim, walaupun tanpa terdakwa perkara "tidak seharusnya dibiarkan berhenti sebagai perkara yang 'tergantung' tanpa batas waktu.' Pengadilan berpendapat, pemeriksaan dan putusan tanpa hadirnya terdakwa, "tidak merupakan hal yallg mustahil dapat dilakukan ataupun hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum." Walaupun diakui oleh majelis hakim praktek semacam itu tak pernah terjadi 'sepanjang sejarah peradilan....." Dan Sutanto Djaja dijatuhi hukuman 3 tahun penjara. Sedang anaknya, Hendra, kena 4 tahun. Tapi kedua terdakwa -- yang dimintakan banding oleh pengacaranya -- lebih suka menghindar. Hanya Sutanto (kini 60 tahun), yang sedikit-sakitan, akhirnya tak kuat lama bersembunyi. Begitu kembali dari Singapura, sekitar 8 bulan setelah vonis pengadilan, ia ditangkap dan langsung masuk bui. Hanya Hendra yang hingga kini tetap buron. Melalui pembelanya Sutanto mengadu ke berbagai instansi penegak hukum meminta perhatian. Menteri Kehakiman Moedjono ada memberikan perharian dan meminta penjelasan dari pengadilan. Pengadilan Tinggi di Semarang. April lalu, malah menerima permohonan banding terdakwa dan memerintahkan agar Pengadilan Negeri Semarang membuka persidangan untuk memeriksa dan memutus kembali perkara Sutanto dan Hendra -- tentu saja dengan keharusan hadirnya para rerdakwa. Putusan Pengadilan Tinggi yang demikian, menurut da Costa, lumayan juga. Bahkan, cukup baik dibandingkan dengan sikap Mahkamah Agung yang menurut da Costa menyetujui pemeriksaan perkara tanpa hadirnya terdakwa. Padahal menurut da Costa, cara peradilan serupa itu bertentangan dengan Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14/1970) yang menyatakan: "Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya tertuduh..." Pengadilan Negeri Semarang belum menentukan kapan hendak membuka kembali perkara tertuduh Kasus Damaitex. Pengacara tertuduh, Woerjanto, mengajukan permohonan agar susunan majelis hakim diganti. Sedangkan ketua Majelis Hakim yang lama, Nyonya Soedjadi, tidak bersedia memberi komentar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus