Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pupuk Hambali Di Gunung Ngemada

Pupuk anti wereng & bisa meningkatkan hasil panen, diolah dari kotoran kelelawar, di desa wagil, pati, ja-teng, oleh hambali. areal konsesinya harus berdasarkan ijin ditjen pertambangan, sehingga selalu berubah.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI setengah umur itu bergulat dengan tahi kelelawar. Bersama para pekerja lain, ia keluar-masuk gua di pegunungan yang tandus dan sepi itu. Bongkahan kotoran kelelawar yang sudah memfosil, bercampur dengan lapisan batu gamping di lantai dan dinding gua, dikorek untuk dijadikan pupuk. Hambali, 52 tahun, pensiunan sersan TNI-AD itu memang hafal sudut-sudut kawasan itu. Di awal masa perang kemerdekaan dulu, ia bergerilya di sana. Kini ia "menambang" tahi kelelawar di sana dengan alat sederhana sebuah alat penumbuk dan alat penyaring. Bongkah tahi itu setelah ditumbuk halus, disaring dan dijemur, menjadi pupuk alam yang bagus. Letak "pabrik" Hambali di Desa Wegil, lereng Gunung Ngemada Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati Jawa Tengah. Kendaraan bermotor bisa ke sana lewat jalan besar Pati-Purwodadi sampai Sukolilo sepanjang 35 km. Belok ke barat, sampailah di Wegil. Belun lama ini Pjs. Ketua Badan Koordinasi Pennaman Modal (BKPM), Ismail Saleh, meninjau ke sana. Bagi Ismail Saleh, kawasan itu juga tak asing, sebab ia memang orang sana. Ayahnya bekas kepala Dinas Kehutanan Sukolilo. Hari itu ia tak segan-segan keluar-masuk gua. Tentu tak semua gua yang jumlahnya 35 itu dimasukinya. Nama gua itu macam-macam: Gua Katok, Gua Bima, Gua Watuhong. "Ada pula Gua Ismail," kata Ismail Saleh sambil tertawa. Sebelumnya tak seorang menduga di gua-gua itu terpendam harta melimpah. Adalah Hambali, orang pertama yang memanfaatkan berkah tahi kelelawar itu. "Kalau tanaman yang dirabuk dengan pupuk ini masih diserang wereng, saya bersedia digantung," kata Hambali kepada TEMPO. "Dan saya jamin, kepiting 80% mati, sedang orong-orong atau semut 100% mati," tambahnya. Bahkan menurut Ismail Saleh, selain pupuk tersebut berkhasiat menyuburkan dan menggemburkan tanah, juga mampu melestarikan tanah. "Sebaliknya pupuk buatan pabrik malah membuat tanah jadi dangkal dan keras," tambahnya. Tandus Semua itu ternyata telah dibuktikan petani-petani yang pernah mencoba pupuk Hambali. Menurut para petani di Bredes (Ja-Teng) selain anti wereng, pupuk itu telah meningkatkan hasil panen dari 4 ton/ha menjadi 12 ton/ha. Pupuk asal Wegil, selain mampu melipatgandakan hasil panen dan mempercepat masa berbuah, menurut penelitian juga bisa memperpadat isi bulir padi. Lebih dari itu juga dapat dipergunakan sebagai rabuk tanaman keras seperti kelapa, cengkih, kopi, jeruk, mangga, apel. Cukup banyak petani di Jawa Tengah yang sudah mencoba pupuk tahi kelelawar itu. Tapi petani kawasan Pati sendiri belum ada yang memesan. Menurut Ismail Saleh, hal itu mungkin karena petani di sana sangat miskin hingga tak mampu membelinya. Penduduk Wegil sendiri yang jumlahnya 2.500 jiwa, selama ini hanya menggantungkan hidup dari hasil palawija. Tidak banyak yang bertanam padi. Daerah itu memang tandus. Sebagian besar berbukit-bukit keras, sebagian lagi berawa-rawa. Untuk sementara, Hambali memang hanya melayani pembeli yang membayar kontan. Sehari menghasilkan 1,3 toh, pupuk itu ia jual Rp 35/kg. Tapi setelah harga bahan bakar minyak naik id pun menyesuaikannya menjadi Rp 50/kg. Sebulan produksinya laku sekitar 10-15 ton, Hambali mempekerjakan 27 orang. Untuk mengolah kotoran kelelawar itu Hambali mendirikan PT Pupuk Alam Indonesia dengan modal Rp 17,5 juta plus kredit Rp 1,5 juta dari BRI Pati dan modal lain dari teman-temannya. Izin eksplorasi ia peroleh pada 1976 untuk areal 600 ha, dua hektar di antaranya tanah miliknya sendiri. Ketika meninjau Wegil, Ismail Saleh memang berjanji akan membantu usaha llambali yang sedang minta kredit dari pemerintah Rp 645 juta. "Kalau setelah diteliti nanti ternyata perusahaan itu memenuhi syarat, akan saya salurkan lewat PMDN," kata Ismail Saleh kepada TEMPO pekan lalu. Perusahaan Baru Tapi sejak 16 April usaha Hambali m,mdc k. Direktorat Teknik Pertambangan Ditjen Pertambangan Umum mengingatkan bahwa izin eksplorasi Hambali habis masa berlakunya. Padahal Hambali merasa sudah memperpanjangnya untuk setahun. "Saya dilarang berusaha, tapi sekarang muncul perusahaan baru," katanya. Di areal konsesi Hambali sudah sebulan ini muncul perusahaan baru: CV Utusan Masyarakat dari Jepara. Kini ia menggeser penambangan tahi kelelawar ke areal agak ke timur seperti rekomendasi peneliti Direktorat Geologi. Menurut Ir. Mangara Simanjuntak, Direktur Teknik Pertambangan, Hambali kini tengah mengajukan permohonan izin untuk areal baru itu. "Setelah diproses, nanti Dirjen yang mengeluarkan izin. Hambali mengira untuk arcal baru bisa memakai izin lama. Jadi sebenarnya tidak ada larangan eksplorasi sejauh mengambil hahan mentah dari lokasi yang sudah diberl izin," tambah Mangara. Menunggu izin baru, Hambali kini tak lagi mengorek tahi kelelawar. Para pekerjanya hanya menggiling bongkah fosil itu yang memang sudah lama menumpuk di luar gua. Namun ia masih optimistis karena katanya kini ia sudah menemukan jenis pupuk baru yang lebih hebat. "Bisa menghasilkan gabah 17 ton/ha, bahannya terdiri atas 16 mineral dari darat dan laut," katanya. Apa saja mineral itu? "Masih rahasia," jawabnya singkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus