LELAKI setengah umur itu bergulat dengan tahi kelelawar.
Bersama para pekerja lain, ia keluar-masuk gua di pegunungan
yang tandus dan sepi itu. Bongkahan kotoran kelelawar yang sudah
memfosil, bercampur dengan lapisan batu gamping di lantai dan
dinding gua, dikorek untuk dijadikan pupuk.
Hambali, 52 tahun, pensiunan sersan TNI-AD itu memang hafal
sudut-sudut kawasan itu. Di awal masa perang kemerdekaan dulu,
ia bergerilya di sana. Kini ia "menambang" tahi kelelawar di
sana dengan alat sederhana sebuah alat penumbuk dan alat
penyaring. Bongkah tahi itu setelah ditumbuk halus, disaring dan
dijemur, menjadi pupuk alam yang bagus.
Letak "pabrik" Hambali di Desa Wegil, lereng Gunung Ngemada
Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati Jawa Tengah.
Kendaraan bermotor bisa ke sana lewat jalan besar Pati-Purwodadi
sampai Sukolilo sepanjang 35 km. Belok ke barat, sampailah di
Wegil. Belun lama ini Pjs. Ketua Badan Koordinasi Pennaman
Modal (BKPM), Ismail Saleh, meninjau ke sana.
Bagi Ismail Saleh, kawasan itu juga tak asing, sebab ia memang
orang sana. Ayahnya bekas kepala Dinas Kehutanan Sukolilo. Hari
itu ia tak segan-segan keluar-masuk gua. Tentu tak semua gua
yang jumlahnya 35 itu dimasukinya. Nama gua itu macam-macam: Gua
Katok, Gua Bima, Gua Watuhong. "Ada pula Gua Ismail," kata
Ismail Saleh sambil tertawa.
Sebelumnya tak seorang menduga di gua-gua itu terpendam harta
melimpah. Adalah Hambali, orang pertama yang memanfaatkan
berkah tahi kelelawar itu. "Kalau tanaman yang dirabuk dengan
pupuk ini masih diserang wereng, saya bersedia digantung," kata
Hambali kepada TEMPO. "Dan saya jamin, kepiting 80% mati, sedang
orong-orong atau semut 100% mati," tambahnya.
Bahkan menurut Ismail Saleh, selain pupuk tersebut berkhasiat
menyuburkan dan menggemburkan tanah, juga mampu melestarikan
tanah. "Sebaliknya pupuk buatan pabrik malah membuat tanah jadi
dangkal dan keras," tambahnya.
Tandus
Semua itu ternyata telah dibuktikan petani-petani yang pernah
mencoba pupuk Hambali. Menurut para petani di Bredes (Ja-Teng)
selain anti wereng, pupuk itu telah meningkatkan hasil panen
dari 4 ton/ha menjadi 12 ton/ha.
Pupuk asal Wegil, selain mampu melipatgandakan hasil panen dan
mempercepat masa berbuah, menurut penelitian juga bisa
memperpadat isi bulir padi. Lebih dari itu juga dapat
dipergunakan sebagai rabuk tanaman keras seperti kelapa,
cengkih, kopi, jeruk, mangga, apel. Cukup banyak petani di Jawa
Tengah yang sudah mencoba pupuk tahi kelelawar itu. Tapi petani
kawasan Pati sendiri belum ada yang memesan.
Menurut Ismail Saleh, hal itu mungkin karena petani di sana
sangat miskin hingga tak mampu membelinya. Penduduk Wegil
sendiri yang jumlahnya 2.500 jiwa, selama ini hanya
menggantungkan hidup dari hasil palawija. Tidak banyak yang
bertanam padi. Daerah itu memang tandus. Sebagian besar
berbukit-bukit keras, sebagian lagi berawa-rawa.
Untuk sementara, Hambali memang hanya melayani pembeli yang
membayar kontan. Sehari menghasilkan 1,3 toh, pupuk itu ia jual
Rp 35/kg. Tapi setelah harga bahan bakar minyak naik id pun
menyesuaikannya menjadi Rp 50/kg. Sebulan produksinya laku
sekitar 10-15 ton, Hambali mempekerjakan 27 orang.
Untuk mengolah kotoran kelelawar itu Hambali mendirikan PT Pupuk
Alam Indonesia dengan modal Rp 17,5 juta plus kredit Rp 1,5 juta
dari BRI Pati dan modal lain dari teman-temannya. Izin
eksplorasi ia peroleh pada 1976 untuk areal 600 ha, dua hektar
di antaranya tanah miliknya sendiri.
Ketika meninjau Wegil, Ismail Saleh memang berjanji akan
membantu usaha llambali yang sedang minta kredit dari pemerintah
Rp 645 juta. "Kalau setelah diteliti nanti ternyata perusahaan
itu memenuhi syarat, akan saya salurkan lewat PMDN," kata Ismail
Saleh kepada TEMPO pekan lalu.
Perusahaan Baru
Tapi sejak 16 April usaha Hambali m,mdc k. Direktorat Teknik
Pertambangan Ditjen Pertambangan Umum mengingatkan bahwa izin
eksplorasi Hambali habis masa berlakunya. Padahal Hambali merasa
sudah memperpanjangnya untuk setahun. "Saya dilarang berusaha,
tapi sekarang muncul perusahaan baru," katanya. Di areal konsesi
Hambali sudah sebulan ini muncul perusahaan baru: CV Utusan
Masyarakat dari Jepara. Kini ia menggeser penambangan tahi
kelelawar ke areal agak ke timur seperti rekomendasi peneliti
Direktorat Geologi.
Menurut Ir. Mangara Simanjuntak, Direktur Teknik Pertambangan,
Hambali kini tengah mengajukan permohonan izin untuk areal baru
itu. "Setelah diproses, nanti Dirjen yang mengeluarkan izin.
Hambali mengira untuk arcal baru bisa memakai izin lama. Jadi
sebenarnya tidak ada larangan eksplorasi sejauh mengambil hahan
mentah dari lokasi yang sudah diberl izin," tambah Mangara.
Menunggu izin baru, Hambali kini tak lagi mengorek tahi
kelelawar. Para pekerjanya hanya menggiling bongkah fosil itu
yang memang sudah lama menumpuk di luar gua. Namun ia masih
optimistis karena katanya kini ia sudah menemukan jenis pupuk
baru yang lebih hebat. "Bisa menghasilkan gabah 17 ton/ha,
bahannya terdiri atas 16 mineral dari darat dan laut," katanya.
Apa saja mineral itu? "Masih rahasia," jawabnya singkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini