Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH penyakit menggerogoti dirinya yang kini menginjak 75 tahun. Ketika Tempo mengunjungi rumahnya di Jalan Panjaitan, Purbalingga, Jawa Tengah, pekan lalu, Slamet Wongso, lelaki itu, tengah tergolek di dipan. Ia sulit berjalan.
Pria yang memiliki enam cucu itu mesti menyeret kakinya jika menapak. Punggungnya selalu terasa perih. Demikian perihnya sehingga ia merasa lebih nyaman jika tak memakai baju. "Bekas penyiksaan masa lalu, sekarang baru terasa sakitnya," katanya. Slamet mengaku dalam enam tahun terakhir beberapa penyakit menghampirinya. Selain merasa perih di punggung, dia juga kerap mengalami sesak napas dan sakit di ulu hati.
Slamet adalah satu dari ratusan ribu bekas tahanan politik golongan C yang masih hidup. Kisahnya bermula saat dia diterima bekerja di Lembaga Penafsiran Potret Udara Departemen Agraria pada 1959. Karena prestasinya bagus, ia mendapat beasiswa belajar di Lembaga Keratonan Solo.
Pada Juni 1964, ia diangkat menjadi pegawai negeri dengan pangkat CC II-1. Karena ia dinilai cerdas dan rajin, tawaran belajar ke jenjang yang lebih tinggi diterimanya. "Saat itu saya belum memikirkan pacar, yang penting belajar dan belajar."
Namun peristiwa 30 September 1965 mengubah nasibnya. Meski tak berafiliasi dengan ormas atau Partai Komunis Indonesia, ia dituduh antek PKI. Menurut dia, tudingan itu hanya karena dirinya mengagumi Proklamator Sukarno, yang ingin negara ini tidak bergantung pada kekuatan asing.
Penyebab lain, menurut dugaannya, peristiwa pada pagi pertengahan Desember 1965. Saat itu, ia menghajar temannya yang memperkosa seorang anggota Gerwani. "Saya tidak terima perbuatan asusila itu. Bajunya langsung saya tarik dan saya pukul dua kali di mulutnya," ujarnya.
Dua hari kemudian, bersama temannya, Sobari, dia diperintahkan ke Jakarta untuk mengikuti pendidikan militer. Semua barangnya, termasuk dokumen surat keputusan pengangkatan sebagai pegawai negeri, dibawa. Ia ke Jakarta naik kereta.
Di Stasiun Gambir, ia dijemput dua tentara. Dengan sebuah sedan, bersama Sobari, dia dibawa ke sebuah gedung di Jalan Gunung Sahari 99, Jakarta Pusat, tepat di sebelah markas Angkatan Laut. Ternyata ia dijebloskan ke tahanan. Slamet marah besar, tapi tak berdaya.
Hari itu juga penyiksaan dimulai. Satu per satu penghuni kamar dijemput tentara dan dikembalikan ke kamar tahanannya dengan darah di sekujur tubuh. Giliran Slamet pun tiba. Ia diinterogasi seorang perwira yang mencecarnya perihal pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat. Menjawab tak tahu, ia dihantam popor senjata. Hantaman itu berulang-ulang selama dua jam.
Dari tahanan di Gunung Sahari, Slamet dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta Timur. Di sini ia juga kerap mendapat penyiksaan. Setelah berganti-ganti penjara, Slamet akhirnya dipindahkan ke penjara Ambarawa, Jawa Tengah. Pada 22 Desember 1971, Slamet dibebaskan. Selama itu, tak ada proses hukum yang dilaluinya.
Kembali ke dunia bebas bukan berarti kehidupannya lebih baik. Dia ditolak di kampung halamannya karena dicap "orang PKI". Sempat ikut seorang pendeta di Semarang dan bekerja di pabrik rokok Gading Mas Import Tobbaco, pada 1975 ia hijrah ke Lampung. Di sini ia merasa lebih bebas karena tak ada yang tahu masa lalunya. KTP-nya juga tak ada embel-embel "ET" alias eks tahanan politik seperti teman-temannya di Jawa.
Di Lampung, Slamet menikahi Kustiati hingga dikaruniai lima anak. Kepada anak-anaknya, Slamet tak pernah menceritakan ia bekas tahanan politik. Dia tak mau anak-anaknya bernasib seperti anak kakaknya yang dikeluarkan dari pekerjaan karena masalah ini. "Saya baru tahu masa lalu Bapak setelah selesai kuliah pada 1997," ujar Ukky, anak tertua Slamet.
Untuk mencari tahu ihwal status pegawai negerinya, Slamet berkali-kali pergi ke bekas kantornya untuk menanyakan. Namun tak ada jawaban. Gajinya sebagai pegawai negeri Rp 100 ribu terakhir diterimanya pada 1965. SK pemberhentiannya sebagai PNS tak pernah diterimanya, begitu juga pensiun yang menjadi haknya. Ia pernah menghitung-hitung total utang negara ditambah kerugian non-material kepadanya. "Jika ditotal mencapai Rp 10,8 miliar," katanya.
Slamet tak tahu apakah negara akan membayar utangnya. Yang jelas, ia gembira mendengar Mahkamah Agung menyatakan keputusan presiden tentang perlakuan terhadap mereka yang dulu dimasukkan ke golongan C itu tidak sah karena melanggar undang-undang.
Febrian (Jakarta), Aris Andrianto (Purbalingga)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo