Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jejak Gestavo di Bulungan

Tawuran pelajar dua sekolah unggulan di Jakarta memakan korban jiwa. Tak cukup diatasi dengan ikrar perdamaian.

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belasan remaja berseragam abu-abu-putih itu berpelukan dengan mata berkaca-kaca. Hening pun sejenak menyaput ruang pertemuan kantor Wali Kota Madya Jakarta Selatan, Kamis pagi pekan lalu. Beberapa detik sebelumnya, perwakilan siswa dari dua sekolah menengah atas yang terlibat tawuran maut baru saja membacakan ikrar perdamaian.

Di depan pimpinan sekolah dan pejabat pemerintah, mereka berjanji mengakhiri kekerasan antarsekolah dan antarsiswa di sekolah masing-masing. "Jika melanggar ikrar ini, kami bersedia menerima sanksi," kata Ketua Osis SMA Negeri 6 Ahmad Arliansyah dan Ketua OSIS SMA Negeri 70 Canrika Sagitasari, mengakhiri pembacaan naskah perdamaian. Siswa SMA 70 lantas menyerahkan bunga mawar putih kepada rekan mereka dari SMA 6 sebagai simbol perdamaian.

Tiga hari sebelumnya, Alawy Yusianto Putra meregang nyawa di dekat bundaran Bulungan, Jakarta Selatan. Sempat dibawa ke rumah sakit, remaja 15 tahun itu tak tertolong. Menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Alawy menjadi korban tewas ke-16 dari 130 kali tawuran yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya sejak awal tahun ini.

Direktur Pendidikan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Supriatno mengatakan ikrar perdamaian ini baru langkah awal untuk mengakhiri tradisi tawuran antarsiswa sekolah yang bertetangga itu. "Hilangkan cara hidup primitif dan premanisme," kata Totok setelah menyaksikan dan turut meneken naskah perdamaian.

l l l

Terik matahari membakar kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. Belasan murid SMA Negeri 6 dengan lahapnya menyantap nasi gulai di tikungan sekitar bundaran tugu Bulungan. Alawy, siswa kelas X, ada dalam kelompok siswa yang sedang rehat setelah menjalani hari terakhir ulangan awal semester gasal itu.

Selesai makan siang, Alawy dan kawan-kawan berjalan melintasi toko serba ada di depan pedagang nasi gulai, menuju sekolah mereka di Jalan Mahakam. Tiba-tiba, dari arah Jalan Bulungan, puluhan siswa SMA Negeri 70 berlari mengejar mereka. "Mereka membawa batu, balok kayu, dan senjata tajam," kata seorang pedagang, sebut saja namanya Karti, yang biasa mangkal di sekitar Bulungan.

Bukannya langsung berlari, sebagian kawan Alawy malah berbalik meladeni kelompok penyerangnya. Dua kawanan pelajar itu pun terlibat aksi saling lempar dan saling kejar. Kalah jumlah dan persiapan, dalam tempo hanya sekitar dua menit, siswa SMA Negeri 6 terdesak. Mereka berlarian ke arah restoran cepat saji, tak jauh dari lokasi tawuran.

Tapi nahas bagi Alawy. Sewaktu berlari, dia terkena sabetan senjata tajam dari belakang. Alawy terkapar bersimbah darah, dengan luka di dadanya. Beberapa temannya juga terluka, meski tak separah luka Alawy. Sempat diboyong ke Rumah Sakit Muhammadiyah, Kebayoran Baru, siang itu juga Alawy mengembuskan napas terakhirnya.

Tawuran Senin siang itu bukan kejadian tanpa pangkal. Jumat pekan sebelumnya, siswa kedua sekolah juga bentrok di Gelanggang Olahraga Bulungan. Waktu itu siswa SMA Negeri 70 yang kalah jumlah dan persiapan. Salah seorang siswa SMA Negeri 70 dipukuli dengan pecahan botol hingga terluka di kepalanya.

Meski ada kejadian pendahuluan, faktanya pengelola sekolah dan petugas keamanan gagal mencegah kejadian yang lebih buruk. Polisi baru datang beberapa menit setelah tawuran maut berakhir. Dari lokasi kejadian, polisi menemukan sebilah celurit berdarah. Bukti itu pun diperoleh polisi dari guru dan petugas keamanan toko yang berupaya melerai tawuran. Setelah diuji di laboratorium, celurit itu menjadi petunjuk utama penyebab kematian Alawy. Bercak darah pada celurit identik dengan darah di pakaian Alawy.

Setelah memeriksa sejumlah saksi mata dan korban, Kepolisian Resor Jakarta Selatan berfokus mengorek keterangan dari siswa SMA Negeri 70. Tahap awal, pengurus sekolah menyerahkan data sepuluh siswanya kepada polisi. Sebagian besar dari mereka duduk di kelas X. Kepala SMA 70 Saksono Lilik Susanto mengatakan, sewaktu tawuran, kesepuluh nama itu diduga berada di garis terdepan.

Di antara kesepuluh nama itu, sehari setelah kejadian, polisi menetapkan seorang siswa sebagai tersangka. Dialah Fitra Rahmadani alias Doyok, 19 tahun. Dalam catatan Bidang Kesiswaan, Fitra pernah dua kali tidak naik kelas. Salah satunya sewaktu dia masih duduk di sekolah menengah pertama. "Di kelas, dia susah menangkap pelajaran." Setelah tak naik kelas, kata Lilik, prestasi Fitra pun kian melorot.

Sehari-hari Fitra tak tinggal bersama ayah dan ibu kandungnya. Orang tua Fitra, pengusaha mebel, tinggal di Bali. Adapun dia tinggal bersama saudaranya di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Bila sedang tak betah tinggal bersama saudara, Fitra tinggal di rumah kos. "Dia sering pindah-pindah," kata Lilik.

Di SMA 70, siswa tinggal kelas seperti Fitra disebut "veteran". Karena teman seangkatannya sudah lulus, Fitra, yang semestinya lulus pada 2012, bergabung dengan adik angkatannya. Angkatan yang bakal lulus pada 2013 itu menamakan diri Gestavo. Di sekolah berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional ini ada kebiasaan lama: sejak tahun pertama, dengan restu para seniornya, setiap angkatan memiliki nama berbeda.

Meski prestasi akademiknya di bawah rata-rata, Fitra segera menjadi pentolan di angkatan Gestavo. "Dia jadinya paling senior," kata seorang siswa SMA 70 yang tak mau disebut namanya. "Kalau tubir (ribut), dia termasuk yang paling berani." Catatan di bagian kesiswaan pun menunjukkan "keberanian" Fitra. Pada 2011, misalnya, dia pernah beberapa hari ditahan polisi karena terlibat tawuran.

Gestavo juga muncul di YouTube. Dalam sebuah rekaman video ulang tahun yang diunggah ke situs itu, misalnya, anak-anak Gestavo tampak unjuk gigi. Selain mendokumentasikan pesta ulang tahun, video itu menampilkan rekaman tawuran dan anggota Gestavo yang terluka. Keterangan gambar video itu seram: "Demi menjaga kekompakan dan nama besar angkatan, anggota Gestavo siap berkorban."

Gesit menetapkan tersangka, polisi tak bisa langsung menciduk Fitra. Polisi baru menangkap anak dari lima bersaudara itu empat hari setelah kejadian. Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat mengatakan Fitra ditangkap di tempat kos saudaranya di kawasan Condongcatur, Yogyakarta.

Menurut Wahyu, Fitra kabur pada hari yang sama setelah tawuran maut itu. Sewaktu akan ditangkap Kamis pagi pekan lalu, Fitra dijemput dua orang. Polisi curiga mereka akan membawa kabur Fitra ke arah Banyuwangi, Jawa Timur. Karena itu, selain memboyong Fitra ke Jakarta, polisi menahan empat orang yang diduga membantu pelarian Fitra.

Polisi akan menjerat Fitra dengan pasal berlapis, yakni Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan, Pasal 351 tentang penganiayaan yang menyebabkan orang meninggal, dan Pasal 170 tentang pengeroyokan. Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara.

Nazarudin Lubis, kuasa hukum yang ditunjuk keluarga, membantah anggapan Fitra akan melarikan diri. Menurut dia, Fitra pergi ke Yogya karena bingung. Dia menginap di rumah saudaranya untuk menenangkan diri. "Dia hanya di situ, tidak ke mana-mana," kata Nazarudin.

Meski Fitra sudah tertangkap, tawuran maut di Bulungan itu masih membuat deg-degan sejumlah orang tua. Ikrar perdamaian, menurut mereka, harus dilanjutkan upaya lebih nyata. "Dulu ada deklarasi serupa, tapi tawuran terus berulang," kata seorang ibu, sebut saja namanya Rieska, yang anaknya duduk di kelas X SMA 70. Untuk mengakhiri mata rantai kekerasan di sekolah itu, kata dia, "Guru, orang tua, alumni, dan aparat harus kompak."

Jajang Jamaludin, Afrilia Suryanis, Aditya Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus