Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jejak Jenderal di Suap Lelang

Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar suap di balik lelang proyek ratusan miliar rupiah di Badan Keamanan Laut. Ada jejak keterlibatan jenderal.

26 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU setengah jam Eko Susilo Hadi menyendiri di ruang kerjanya, lantai satu gedung lama Badan Keamanan Laut (Bakamla), Pasar Baru, Jakarta Pusat, Rabu siang dua pekan lalu. Padahal Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla ini seharusnya bergabung dengan rekan-rekannya untuk geladi resik upacara di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Kepada atasannya, Eko meminta izin tak hadir dalam persiapan ulang tahun Bakamla tersebut dengan dalih pergi ke pemakaman saudara.

Selepas zuhur, keheningan di ruangan Eko terpecahkan. Dua tamu utusan PT Melati Technofo Indonesia, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta, datang menghampiri dia. Mereka mengantarkan paket berisi uang dolar Amerika Serikat dan Singapura senilai Rp 2 miliar. Setelah menuntaskan misi, Hardy dan Adami bergegas kembali ke parkiran. Namun tim satuan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi yang sudah mengintai langsung menyergap keduanya.

Tim KPK lainnya segera naik ke ruangan Eko. Ditangkap dengan uang yang masih tergeletak di atas meja, Eko tak bisa berkutik. "Petugas KPK langsung menghitung uang itu, disaksikan seorang pegawai Bakamla," kata Sekretaris Utama Bakamla Agus Setiadji pada Kamis pekan lalu. Setelah bukti di tangan, tim KPK menyeret Eko dan dua pegawai swasta itu ke kantor pusat lembaga antirasuah di Jalan H R. Rasuna Said, Jakarta.

Setelah pemeriksaan intensif, KPK menetapkan Eko sebagai tersangka penerima suap. Adapun Hardy dan Adami dijerat pasal pemberi suap. Lembaga antikorupsi ini juga menetapkan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah sebagai tersangka pemberi suap. Jumat malam pekan lalu, suami artis lawas Inneke Koesherawati itu ditahan KPK setelah diperiksa sembilan jam.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pemberian suap itu berkaitan dengan tender proyek yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016. "Terkait dengan pengadaan alat monitoring satelit," tutur Agus. Menurut dia, uang sogok tersebut hanya sebagian kecil dari total kesepakatan Eko dengan Fahmi sebesar Rp 15 miliar, setara dengan 7,5 persen dari nilai proyek Rp 202 miliar.

Eko adalah pegawai Kejaksaan Agung yang telah empat tahun bertugas di Bakamla. Ia merangkap jabatan sebagai Pelaksana Tugas Sekretaris Utama Bakamla sejak Mei sampai 9 Desember 2016. Kewenangan Sekretaris Bakamla antara lain menjadi kuasa pengguna anggaran. Perencanaan proyek pengadaan barang dan jasa, lelang, serta penentuan pemenang tender berada di bawah naungan kuasa pengguna anggaran.

Selama tujuh bulan menjadi kuasa pengguna anggaran, Eko menangani lelang tiga pengadaan alat pengawasan satelit. Pertama, tender backbone coastal surveillance system senilai Rp 400 miliar. Pemenang lelang adalah CMI Technology. Kedua, proyek pengadaan long range camera plus tower Rp 102 miliar yang dimenangi PT Zhasa Putra Deratama. Terakhir, pengadaan alat monitoring satelit Bakamla dengan pemenang PT Melati Technofo. Nah, dalam lelang terakhir, Eko diduga mengatur spesifikasi alat monitoring satelit agar klop dengan barang yang ditawarkan PT Melati Technofo.

Pengadaan semua alat sistem pengawasan itu untuk menunjang tugas Bakamla dalam patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia. Peralatan itu rencananya akan ditempatkan di berbagai titik. Pengoperasian alat monitor itu akan terintegrasi dengan semua stasiun pemantau yang bisa diakses dari Pusat Informasi Maritim di Bakamla.

Penandatanganan perjanjian dengan tiga pemenang tender berlangsung pada pertengahan Oktober lalu. Dari Bakamla, yang meneken perjanjian adalah salah satu pejabat yang merupakan jenderal bintang satu TNI.

Sejumlah penegak hukum memastikan Eko tak bekerja sendiri. Menurut mereka, pemberian Rp 2 miliar itu juga bukan yang pertama. Fahmi Darmawansyah telah mengucurkan sekitar Rp 3 miliar. Duit Rp 1 miliar diduga mengalir ke pejabat lain di lingkungan Bakamla.

Menurut para penegak hukum, pejabat tersebut awalnya mengelak ketika dimintai konfirmasi tentang penerimaan uang suap itu. Namun penyidik KPK mengantongi jejak transfer kepada istrinya sekitar Rp 25 juta. Ketika disodori bukti tersebut, pejabat ini mati kutu.

Tak mau terseret begitu saja, petinggi Bakamla tersebut membawa-bawa nama atasannya. Kepada penyidik KPK, ia berdalih mengambil besel karena Kepala Bakamla Laksamana Madya Ari Sudewo juga menerima "bingkisan" dari Fahmi. Namun penyidik KPK masih mendalami kebenaran pengakuan perwira ini. Karena itu, penyidik menyita seluruh dokumen tender di Bakamla selama 2016. "Suap ini juga baru dari satu proyek," ujar salah satu penegak hukum tersebut.

Kepala Bakamla Laksamana Madya Ari Sudewo membantah menerima duit dari pemenang tender. Jenderal bintang tiga ini mengklaim selalu menolak ketika ada peserta lelang yang mencoba memberi dia uang. Menurut Ari, pengusaha biasanya "titip pesan" melalui Eko selaku Pelaksana Tugas Sekretaris Utama. "Mau beri duit kan usaha mereka. Saya tak mau," kata Ari. "Saya selalu bilang, 'Yang saya butuhkan barang yang sesuai dengan spek dan administrasi beres'." Ketika dimintai konfirmasi, Eko memilih bungkam. "Tanya ke penyidik saja," ujarnya Kamis pekan lalu.

Ari menambahkan, lelang PT Melati Technofo dilakukan melalui lembaga pengadaan secara elektronik. Perencanaan lelang pun mendapat asistensi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. "Dari enam kegiatan pada 2016, hanya tiga yang jalan," kata Ari. Ihwal dugaan keterlibatan anggota Tentara Nasional Indonesia, Ari mendukung KPK untuk mengusutnya hingga tuntas.

Tempo menyambangi kantor PT Melati Technofo di Jalan Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan, pada Kamis pekan lalu. Di depan rumah toko empat lantai tanpa papan nama perusahaan itu terparkir mobil Nissan Livina dan BMW seri 320i.

Tulisan "Technofo" berwarna perak metalik menempel di dinding di belakang meja resepsionis. Dua pria yang berjaga di meja itu mengatakan bosnya tak ada di kantor. "Tidak ada orang di sini," kata mereka kompak. Selebihnya, apa pun yang ditanyakan Tempo, kedua pria yang tak mau memberitahukan namanya itu selalu menjawab, "Tidak tahu."

Linda Trianita, Danang Firmanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus