Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT di Hotel Lor In, Sentul, Bogor, pada 21 Februari lalu awalnya berjalan adem-ayem. Tapi semua undangan sejak awal tampaknya mafhum ini bukan rapat biasa. Agenda utamanya: menyusun gugatan perdata terhadap 14 perusahaan kayu di Riau. Dalam rapat sebelumnya, pembahasan kasus yang sama diwarnai perdebatan cukup seru.
Profesor Bambang Hero Saharjo mendapat giliran pertama memaparkan data pembalakan hutan di Provinsi Riau. Dia menguraikan dugaan pelanggaran izin oleh 14 perusahaan kayu, kerusakan lingkungan, dan potensi kerugian negara. Peserta rapat dari Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kejaksaan Agung menyimak penjelasan sang Profesor hingga selesai.
Ketegangan langsung terasa saat guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor itu menyelesaikan paparannya. Utusan Kementerian Kehutanan langsung mempersoalkan uraian Bambang yang menyinggung soal izin perusahaan di sana. Menurut mereka, perusahaan di Riau bekerja berdasarkan izin dari pemerintah. "Perusahaan tak bisa disalahkan," kata sumber Tempo menirukan ucapan pihak Kehutanan.
Sang utusan menambahkan, dalam merencanakan gugatan perdata, Kementerian Lingkungan, yang mewakili pemerintah, tak perlu mengutak-atik lagi urusan perizinan. Katanya, pemerintah berfokus saja menuntut ganti rugi atas kerusakan lingkungan.
Selaku "tuan rumah", Deputi V Bidang Penataan Hukum Lingkungan Hidup Sudaryono mencoba menengahi. Dia segera merujuk pada kesimpulan rapat sebelumnya. Pada rapat 17 Januari 2012 di Kementerian Lingkungan disepakati gugatan tak akan menelanjangi cara keluarnya izin pemanfaatan hutan. Yang akan dibedah: adakah kewajiban perusahaan yang tercantum dalam dokumen perizinan tersebut dijalankan atawa tidak.
Setelah penjelasan Sudaryono, suasana rapat lebih cair. Diskusi pun kembali mengalir. Di pengujung rapat, peserta menyepakati sejumlah hal, termasuk "pintu masuk" gugatan dan peran setiap lembaga. Meski begitu, perdebatan yang sempat muncul tetap dicatat dalam risalah rapat setebal tiga halaman.
Kawasan hutan tropis di Provinsi Riau kini botak di banyak tempat. Dari 9 juta hektare hutan alam yang pernah ada, yang tersisa tinggal sekitar 3 juta hektare. Kerusakan hutan bukan hanya karena pembalakan liar. "Hutan juga rusak karena penebangan dengan izin yang menyalahi aturan," kata Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Muslim pekan lalu.
Perizinan bermasalah itu bertaburan sejak akhir 1990-an. Terutama seiring dengan perluasan otonomi daerah, izin pemanfaatan hasil hutan memang diserahkan kepada bupati. Perusahaan kayu yang akan digugat Kementerian Lingkungan merupakan penikmat berkah otonomi itu. Mereka mendapat izin pada awal 2000-an dari empat bupati di Riau: Bupati Pelelawan, Siak, Indragiri Hilir, dan Indragiri Hulu.
Selama bertahun-tahun, perusahaan itu menikmati gurihnya duit hasil penjualan kayu alam. Mereka menjadi pemasok utama bahan bubur kertas untuk dua perusahaan raksasa, yaitu PT Riau Andalan Pulp and Paper, anak Grup Raja Garuda Mas milik taipan Sukanto Tanoto, dan PT Indah Kiat Pulp and Paper dari kelompok Sinar Mas milik Eka Tjipta Wijaya.
Kenyamanan para cukong kayu Riau sedikit terusik ketika pemerintah pusat mengevaluasi perizinan pemanfaatan hutan pada 2005. Kala itu pemerintah mengharuskan verifikasi atas izin diterbitkan bupati. Selanjutnya, Kementerian Kehutanan yang menentukan izin mereka diperpanjang atau tidak.
Tapi gebrakan Jakarta itu bukan tanpa celah. Direksi Riau Andalan, misalnya, meminta dispensasi melalui Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Pada 17 Juli 2006, Menteri Kehutanan M.S. Kaban mengeluarkan dispensasi bagi delapan perusahaan yang izinnya sedang diverifikasi untuk tetap beroperasi.
Perusahaan kayu di Riau baru dibuat "panas-dingin" ketika Kepala Kepolisian Daerah Riau Brigadir Jenderal Sutjiptadi menggeber perburuan pembalak liar sepanjang 2007. Pada Maret tahun itu, misalnya, Polda Riau menangkapi truk berisi jutaan kubik kayu gelondongan. Belakangan terungkap bahwa 14 perusahaan pemilik kayu yang ditengarai melakukan pembalakan itu adalah mitra Riau Andalan dan Indah Kiat.
Sembari terus mengusut dugaan pembalakan liar oleh 14 perusahaan, Sutjiptadi juga melaporkan dugaan korupsi perizinan pemanfaatan hutan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan Sutjiptadi itu kemudian menyeret Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar serta dua mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau, Syuhada Tasman dan Asral Rachman, ke penjara.
Nah, ketika Sutjiptadi merambah ke urusan perizinan, reaksi keras datang dari Kementerian Kehutanan. Menteri Kaban saat itu berkukuh bahwa yang paling berwenang memberi dan mengevaluasi izin adalah Kementerian Kehutanan. Dia meminta Kepala Kepolisian RI dan Presiden mengevaluasi sepak terjang Sutjiptadi dan kawan-kawan.
Setelah Sutjiptadi digantikan oleh Brigadir Jenderal Hadiatmoko, perjalanan pengusutan kasus illegal logging di Polda Riau tersendat. Berkas perkara 14 perusahaan yang dibuat polisi sampai 17 kali dikembalikan jaksa. Akhirnya, pada Desember 2008, Polda Riau mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Dasarnya, antara lain, keterangan saksi ahli dari Kementerian Kehutanan bahwa izin 14 perusahaan itu tidak bermasalah.
Keputusan polisi menghentikan penyidikan mendapat reaksi keras dari aktivis lingkungan dan gerakan antikorupsi. Mereka menggelar demonstrasi di Riau dan Jakarta. Tapi protes jalanan itu tak membawa hasil maksimal. Berkas perkara illegal logging tak kunjung keluar dari laci meja polisi.
Untuk meningkatkan daya tekan, jaringan aktivis lantas membentuk Koalisi Anti Mafia Hutan. Mereka melaporkan berbagai kejanggalan di balik penghentian penyidikan kasus 14 perusahaan kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
Cara ini rupanya lebih efektif. Pada 7 Juni 2011, Satuan Tugas menggelar rapat koordinasi di Pekanbaru, Riau. Rapat dihadiri perwakilan Markas Besar Polri, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kementerian Kehutanan, Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan.
Keesokan harinya, Satuan Tugas mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Mereka mendorong polisi membuka kembali penyidikan kasus pembalakan liar, mendukung KPK mengusut dugaan korupsi di balik penghentian penyidikan, dan meminta Kementerian Lingkungan mengajukan gugatan perdata.
Sayangnya, rekomendasi Satuan Tugas tak otomatis jalan. Ketua Satuan Tugas Kuntoro Mangkusubroto dua kali mengirim surat kepada Polri, Jaksa Agung, dan Menteri Lingkungan Hidup. Surat melayang pada 8 Agustus dan 20 Desember 2011. Sampai Presiden membubarkan Satuan Tugas pada 31 Desember 2011, upaya membuka lagi pengusutan 14 perusahaan belum menunjukkan titik terang.
Kementerian Lingkungan Hidup baru menjawab kedua surat itu pada 24 Januari 2012. Karena Satuan Tugas tak ada lagi, jawaban dikirim kepada Kuntoro selaku Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan.
Dalam surat itu, Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya menerangkan, kementeriannya terus mengkaji bukti perbuatan melawan hukum oleh 14 perusahaan. Untuk menyiapkan gugatan perdata, Kementerian Lingkungan juga terus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Kementerian Kehutanan. Sumber Tempo menyebutkan nilai gugatan, karena mencakup soal cost recovery, bisa mencapai puluhan triliun rupiah.
Kepada Tempo, Kambuaya memastikan pemerintah tidak akan membiarkan kasus dugaan perusakan lingkungan di Riau terus mengendap. "Itu tidak bisa dihentikan begitu saja, karena banyak masalah," ujarnya. Ihwal dukungan Kementerian Kehutanan yang masih lonjong, Kambuaya optimistis bakal menjadi bulat. "Kami terus berjuang dan berkoordinasi."
Adapun PT Riau Andalan, salah satu perusahaan yang pernah disebut-sebut menerima kayu hasil pembalakan liar itu, menolak mengomentari rencana gugatan tersebut. Kepada Tempo, Kepala Komunikasi Korporat Riau Andalan Pamungkas Trishadiatmoko mengatakan hubungan perusahaannya dengan para pemasok bahan bubur kertas itu murni kerja sama bisnis biasa. "Kami pastikan setiap transaksi sesuai dengan aturan. Soal bagaimana mereka menjalankan bisnisnya, tanyakan saja kepada mereka," kata Pamungkas.
Jajang Jamaludin, prihandoko
Jalan Panjang Memburu Pembalak
Terungkap pada 2007, pengusutan kasus dugaan pembalakan hutan oleh 14 perusahaan di Riau belakangan dihentikan polisi. Kini Kementerian Lingkungan Hidup akan membuka lagi kasus itu dengan menggugat perusahaan ke jalur perdata.
Maret 2007
Kepolisian Daerah Riau, di bawah komando Brigadir Jenderal Sutjiptadi, menangkap 90 truk dan menyita 2 juta meter kubik kayu log tanpa dokumen resmi. Barang bukti itu terlacak milik 14 perusahaan pemasok kayu ke Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP).
Perusahaan itu:
- PT Merbau Pelalawan Lestari
- PT Mitra Kembang Selaras
- PT Madukoro
- PT Citra Sumber Mandiri
- PT Bukit Betabuh Sei Indah
- PT Nusa Prima Manunggal
- PT Inhil Hutan Pratama
- PT Ruas Utama Jaya
- PT Arara Abadi
- PT Suntara Gajah Pati
- PT Anugerah Bumi Sentosa
- PT Bina Duta Laksana
- PT Rimba Mandau Lestari
- PT Wana Rokan Bonai Perkasa
April 2008
Polda Riau melaporkan dugaan korupsi pemberian izin terhadap 14 perusahaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Oktober 2008
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis bersalah Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar dan menghukumnya 11 tahun penjara.
12 Desember 2008
Polda Riau, di bawah Brigadir Jenderal Hadiatmoko, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas 13 perusahaan.
Juni 2009
Polda Riau kembali mengeluarkan SP3 untuk satu perusahaan yang awalnya diyakini bisa dilimpahkan ke pengadilan.
22 April 2010
Koalisi Anti Mafia Hutan melaporkan dugaan korupsi dan mafia hutan Riau kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH).
7-8 Juni 2011
Satgas PMH merekomendasikan penyidikan kasus 14 perusahaan Riau dibuka kembali dan menyarankan pemerintah menggugat secara perdata 14 perusahaan.
8 Agustus 2011
Satgas PMH mengirimkan surat kepada Kepala Polri, Jaksa Agung, Menteri Lingkungan Hidup, dan KPK. Satgas mempertanyakan tindak lanjut hasil rapat koordinasi di Pekanbaru.
20 Desember 2011
Satgas kembali mengirimkan surat kepada Kepala Polri, Jaksa Agung, Kementerian Lingkungan Hidup, dan KPK, mempertanyakan hal yang sama.
24 Januari 2012
Kementerian Lingkungan Hidup mengirim surat kepada Ketua Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Kuntoro Mangkusubroto. Intinya menjelaskan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup masih mempelajari bukti perbuatan melawan hukum dan kerugian negara akibat perusakan lingkungan oleh 14 perusahaan.
Mereka yang Dijerat
Asral Rahman, Kepala Dinas Kehutanan Riau
Syuhada Tasman, Kepala Dinas Kehutanan Riau
Arwin A.S., Bupati Siak
Burhanuddin Husin, Kepala Dinas Kehutanan Riau
Nilai Kerugian Negara
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum pernah menaksir kerugian negara akibat kerusakan hutan di Riau mencapai:
dari nilai kayu yang hilang
dari nilai kerusakan lingkungan
Pada 2006, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan panduan perhitungan ganti kerugian. Komponen yang dihitung:
Kerugian ekologis
per meter kubik (perkiraan 2007)
Pembuatan tempat penampungan air (reservoir) berkapasitas 401 meter kubik per hektare lahan.
Pengaturan tata air.
Pengendalian erosi dan limpasan air.
Pemulihan tanah rusak.
Pendaur ulang unsur hara.
Pengurai limbah.
Pemulihan keanekaragaman hayati.
Pemulihan sumber daya genetik.
Pelepasan karbon (359 ton per hektare).
Contoh Kasus
PT Madukoro, Pelalawan
8.900 hektare Luas lahan
Kerugian
Berhenti Lantaran Beda Persepsi
WAKTU tiga tahun tak membuat para pegiat lingkungan dan antikorupsi turun semangat menuntut pembukaan kembali kasus perusakan hutan di Riau. Kamis pekan lalu, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) kembali menyerukan tuntutan itu dari Jakarta. "Kasus ditutup bukan karena kurang bukti, tapi karena tidak seriusnya aparat," kata Koordinator Jikalahari Muslim dalam jumpa pers yang mereka gelar di sebuah tempat di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Muslim dan kawan-kawan menghujat surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kepolisian Daerah Riau pada 12 Desember 2008. Polisi melakukan tutup buku perkara yang melibatkan 14 perusahaan setelah berkasnya 17 kali dikembalikan jaksa.
Dalam kasus itu, selain menahan jutaan kubik kayu dan alat angkut milik perusahaan, polisi sebelumnya telah menetapkan 18 tersangka. Mereka adalah para direktur perusahaan dan pejabat Dinas Kehutanan Riau. Polisi menjerat tersangka dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ancaman hukumannya untuk kejahatan ini maksimal 10 tahun penjara.
Alasan penghentian penyidikan, antara lain, perbedaan persepsi antara polisi dan jaksa. Karena itu, menurut polisi, kecil kemungkinan kasus tersebut bakal diteruskan ke pengadilan. Polisi pun menyebutkan keterangan dua saksi ahli dari Kementerian Kehutanan, Bejo Santosa dan Bambang Winoto. Kedua pejabat di Kementerian Kehutanan itu menyatakan 14 perusahaan yang disidik mengantongi izin yang sah dari pemerintah.
Jikalahari dan ICW tak hanya mengecam penghentian penyidikan. Mereka juga mengundang ahli dan praktisi hukum untuk menguji keputusan polisi. Kesimpulan mereka, alasan polisi menghentikan penyidikan sangat lemah. "Karena tidak jelas, tidak lengkap, dan tidak cermat," kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho.
Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah membeberkan kejanggalan perintah penghentian penyidikan itu. Satuan Tugas menyebutkan kesaksian ahli dari Kementerian Kehutanan tidak layak jadi pertimbangan polisi dan jaksa. Selain tidak berkompeten, mereka memiliki konflik kepentingan karena masih bagian dari lembaga pemberi izin.
Kesaksian para ahli Kementerian Kehutanan, menurut Satuan Tugas, juga tak bernilai setelah Mahkamah Agung memutus Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar bersalah. Mahkamah menghukum Azmun 11 tahun penjara karena kesalahan dia dalam memberi izin pemanfaatan hasil hutan.
Atas dasar pertimbangan itu, Satuan Tugas telah dua kali menyurati Kepala Kepolisian RI. Intinya, meminta penyidikan perkara 14 perusahaan di Riau dibuka kembali. Namun polisi tak menunjukkan tanda-tanda akan membuka lagi kasus itu. "Mana bisa kami cabut SP3?" kata juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Saud Usman. Pencabutan SP3 hanya mungkin dilakukan bila ada yang mengajukan gugatan praperadilan. "Itu pun harus dimenangkan pengadilan."
Jajang Jamaludin, Itsman MP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo