Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hamid Awaludin*
PEMILIHAN langsung kepala daerah Nanggroe Aceh Darussalam selesai dengan damai. Ada keributan kecil di beberapa tempat, tapi sebagaimana daerah lain di Indonesia yang menggelar pilkada, percikan seperti ini senantiasa muncul di antara gelombang air yang besar.
Beberapa lembaga survei lewat hitung cepat memprediksi pasangan calon gubernur-wakil gubernur yang diusung Partai Aceh, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf, memenangi pemilihan. Mereka meraup suara lebih dari separuh jumlah pemilih. Jika hitung cepat itu akurat, pasangan ini memenangi pemilihan dalam satu putaran.
Yang mengejutkan, mereka mengalahkan calon gubernur inkumben, Irwandi Yusuf, yang menggandeng Muhyan Yunan. Pasangan yang terakhir diperkirakan hanya meraih kurang dari 30 persen suara. Kemenangan telak pasangan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf di luar prediksi sebagian orang yang semula menggadang-gadang sang petahana. Irwandi Yusuf disebut-sebut memiliki modal kampanye yang besar karena dekat dengan "Jakarta".
Tapi ternyata modal itu tak cukup untuk mengambil hati warga Aceh. Salah satu faktor kemenangan Zaini-Muzakkir adalah karena Irwandi yang tidak lagi menjabat gubernur pada saat kampanye sehingga jaringan birokrasi pemerintahan tidak bisa dipakainya. Di sinilah letak signifikansi dan urgensi putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan adanya perpanjangan masa pendaftaran calon. Perpanjangan tersebut melebihi masa kepemimpinan Irwandi sebagai gubernur.
Pasangan Zaini-Muzakkir menang justru karena muncul anggapan bahwa Irwandi "orang yang diinginkan Jakarta". Warga Aceh belum terbiasa dengan isu "persahabatan dengan Jakarta". Suasana psikologis yang sama juga menyebabkan Irwandi terpilih lima tahun lalu. Selain itu, ada soal isu miring tentang pemerintahan Irwandi selama ini yang "sarat dengan bau tak sedap". Sebagai penantang petahana, pasangan Zaini-Muzakkir diuntungkan oleh isu seperti itu.
Ada yang beranggapan Irwandi tetap merupakan simbol pergerakan melawan Jakarta. Itu benar, meski karisma Irwandi jauh lebih rendah dibanding Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Zaini, dalam struktur organisasi pergerakan, adalah menteri luar negeri, sementara Muzakkir panglima perang.
Lima tahun lalu, Irwandi menang melawan kelompok Zaini-Muzakkir karena lawannya bukanlah personifikasi the real pergerakan, melainkan kandidat ring kedua, yakni Hasbi Abdullah. Selain itu, kelompok Zaini tidak pernah menskenariokan diri melawan Irwandi karena mereka percaya Irwandi akan tunduk pada keputusan organisasi untuk mendukung Hasbi Abdullah. Perencanaan politik kubu Zaini meleset.
Faktor lain yang memenangkan Zaini-Muzakkir adalah tema kampanye. Selama kampanye, Zaini-Muzakkir lebih banyak mengusung tema sederhana: menjalankan butir-butir kesepakatan Memorandum of Understanding Helsinki dan menjaga perdamaian. Zaini Abdullah tidak mengumbar janji tentang ekonomi, pembangunan, atau kesejahteraan.
Bagi warga Aceh, damai adalah segalanya. Sejak perjanjian damai Helsinki ditandatangani lebih enam tahun silam, warga Aceh sudah menikmati perdamaian. Bagi mereka, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf adalah personifikasi perdamaian. Sebagai tokoh utama gerakan—Zaini mendesain gerakan para kombatan, sementara Muzakkir komandan lapangan—keduanya adalah jaminan atas terlaksananya perdamaian Aceh. Persepsi ini tidak melekat pada diri Irwandi dan calon lainnya.
Efektivitas mesin organisasi Partai Aceh juga menentukan kemenangan Zaini-Muzakkir. Keduanya berhasil mentransformasikan Partai Aceh menjadi sebuah partai dengan struktur organisasi dan sistem komando yang ketat. Perpaduan janji untuk melanggengkan perdamaian serta kemampuan mengelola mesin kampanye dan kedisiplinan partai membawa hasil yang baik.
Bagi pemerintah pusat, kehadiran Zaini dan Muzakkir sebagai gubernur dan wakil gubernur akan memudahkan Jakarta mengkomunikasikan mereka, mensosialisasi program pembangunan, juga ikhtiar lain menyembuhkan luka Nanggroe Aceh Darussalam.
Yang harus diantisipasi adalah baik Zaini maupun Muzakkir tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman mengelola pemerintahan, baik yang bersifat administrasi maupun keuangan. Pemerintah pusat harus memberi bimbingan. Bagaimanapun, orang Aceh percaya, tajak beutroh takalon beudeuh, beek rugo meuh saket hate. Pilihan yang bijak dan mandiri tidak akan menimbulkan sesalan di kemudian hari.
*) Juru runding pemerintah dalam perjanjian Helsinki, 2005
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo