Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saldi Isra*
Ibarat lintasan balap, dalam penentuan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, koalisi partai politik pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mengambil alih balapan di tikungan terakhir. Pengambilalihan itu diraih melalui voting dengan suara mayoritas menerima formulasi tambahan atas Pasal 7 ayat 6 Undang-Undang Nomor 22/2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012.
Semula, dengan karakter norma pasal 7 ayat 6 asli, pemerintah tidak dimungkinkan melakukan "penyesuaian" harga tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, pada tikungan terakhir, partai koalisi (minus PKS) "menerobos" pembatasan itu dengan menyerahkan pertimbangan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi kepada pemerintah. Merujuk pada hasil perubahan, pasal 7 ayat 6 huruf a menyediakan katup pengaman untuk menyesuaikan harga berdasarkan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP).
Pasal tambahan ini menyatakan, apabila terjadi kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen ICP, pemerintah dapat menyesuaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan kebijakan pendukungnya. Hadirnya formula ini sekaligus menjadi kunci pembuka larangan menaikkan harga sebagaimana tercantum dalam pasal 7 ayat 6. Banyak kalangan menilai, penyediaan katup baru itu sekaligus strategi sejumlah partai politik koalisi memindahkan "beban" kenaikan harga ke pangkuan pemerintah.
Meski drama politik di DPR dapat dikatakan tuntas, formula baru yang dihasilkan masih menyisakan sejumlah persoalan pelik. Selain hiruk-pikuk internal partai koalisi pendukung Presiden Yudhoyono, buat sebagian pihak yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, kehadiran dan substansi pasal 7 ayat 6 huruf a menyisakan masalah hukum yang serius. Mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pun menjadi pilihan yang tak terhindarkan untuk menguji konstitusionalitas pasal tambahan ini.
Belakangan muncul isu lain, yaitu menyangkut kehadiran pasal 18c, yang menyediakan alokasi dana tambahan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dari Rp 1,3 triliun menjadi Rp 1,6 triliun. Penambahan jumlah aliran dana yang mencapai angka Rp 300 miliar memunculkan sinyalemen adanya upaya tukar guling antara pasal 7 ayat 6 huruf a dan pasal 18c.
Rentankah pasal tambahan yang memberi jalan bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi? Pertama, kita perlu menilik lebih dulu ihwal kewenangan dalam merevisi Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Secara konstitusional, revisi Undang-Undang APBN tak dapat dikatakan hanya wewenang eksklusif antara DPR dan pemerintah. Dalam hal ini, Pasal 22D ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan Dewan Perwakilan Daerah menyampaikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang APBN. Dengan pengaturan demikian, baik pada proses pembahasan APBN maupun APBN Perubahan, pertimbangan dari DPD menjadi keniscayaan untuk diperhatikan DPR dan pemerintah.
Terkait dengan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak ini, jauh hari sebelum DPR melaksanakan sidang paripurna (30 Maret lalu), DPD telah menyampaikan pertimbangan kepada DPR. Dari proses internal yang terjadi di tetangga sebelah DPR, para senator di DPD berpendirian, menaikkan harga di tengah perekonomian rakyat yang belum kuat merupakan pilihan yang tidak bijak dan sekaligus tak tepat. Karena itu, Rapat Paripurna DPD (15 Februari) menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.
Seperti berteriak di tengah gurun pasir, pertimbangan DPD tak mampu mengubah keinginan pemerintah dan mayoritas partai politik di barisan koalisi. Padahal menegasikan pertimbangan DPD sama saja dengan menolak konstruksi yuridis Pasal 22D ayat 2 UUD 1945. Secara yuridis konstitusional, menisbikan pertimbangan DPD tentunya menimbulkan masalah formalitas yang serius dalam proses kehadiran pasal 7 ayat 6 huruf a. Pemahaman begitu muncul karena UUD 1945 meletakkan proses kehadiran Undang-Undang APBN sebagai ujung dari proses tiga dimensi yang melibatkan DPR, pemerintah, dan DPD.
Banyak kalangan percaya, jika dari awal DPR dan pemerintah membuka diri dan berbesar hati menerima pandangan DPD, penolakan terbuka dari berbagai komponen masyarakat tak akan membesar. Karena proses bernegara yang diwadahi UUD 1945 tak mampu mengubah rencana pemerintah dan mayoritas partai politik DPR, "lembaga perwakilan jalanan" menjadi pilihan tak terhindarkan. Di atas itu semua, mengabaikan DPD sama saja dengan merusak salah satu bentuk formalitas mendasar yang seharusnya dipenuhi dalam proses perubahan Undang-Undang APBN.
Perdebatan formalitas lain yang tak kalah mendasarnya adalah masalah pembahasan bersama. Sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat 2 UUD 1945, setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Konstruksi Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 meletakkan secara jelas bahwa DPR dan pemerintah (baca: presiden) harus memberikan persetujuan bersama dalam pembahasan rancangan undang-undang.
Sebagai pihak yang diharuskan memberikan persetujuan bersama, posisi pemerintah dan DPR setara dan sama kuat. Melihat riwayat kehadiran pasal 7 ayat 6 huruf a, pada salah satu sisi, pemerintah memang datang dengan suara yang tidak terbelah. Namun, di sisi lain, suara internal DPR tak bulat karena partai politik di luar barisan koalisi menolak tawaran formulasi pasal 7 ayat 6 huruf a. Partai politik yang menolak beranggapan bahwa formula yang ditawarkan lebih merupakan akal-akalan untuk tetap menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi.
Meski demikian, masalah prosedural yang lebih substansial tak terletak pada penolakan partai di luar barisan koalisi, tapi lebih pada ketidakhadiran mereka saat forum lobi membahas kemungkinan untuk menerima formulasi tambahan pasal 7 ayat 6. Secara formal prosedural, sebagaimana ditentukan Undang-Undang Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baik pada pembicaraan tingkat satu maupun pembicaraan tingkat dua, ada kewajiban menyampaikan pendapat mini fraksi-fraksi. Pertanyaannya: adakah ketiga fraksi di luar partai koalisi menyampaikan pendapat mini? Kalau ada, kapan pendapat mini tersebut disampaikan dalam pembahasan?
Melihat situasi yang berkembang selama perdebatan formula pasal 7 ayat 6 huruf a, jangankan untuk memberikan pendapat mini, ketiga fraksi tersebut justru menolak hadir dalam forum lobi. Bahkan, sebelum menggunakan voting untuk menentukan dukungan atas formula pasal 7 ayat 6 huruf a, tak ada penyampaian laporan mengenai pendapat mini fraksi-fraksi yang menolak. Yang kita saksikan, mengakhiri drama dengan cara voting dan setelah itu memberikan kesempatan bagi wakil pemerintah untuk menyampaikan pendapat akhir.
Dari bentangan fakta itu, bagaimana memberikan basis argumentasi bahwa proses persetujuan bersama saat menghadirkan pasal 7 ayat 6 huruf a dapat dibenarkan secara formal-prosedural? Barangkali, pertanyaan formal-prosedural tak begitu relevan sekiranya semua fraksi hadir di dalam forum lobi.
Di luar potensi cacat prosedural, secara substansial, pasal 7 ayat 6 huruf a berbeda dengan semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-I/2003. Ketika membatalkan Pasal 28 ayat 2 dan 3 UU Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas, Mahkamah menyatakan menyerahkan penentuan harga bahan bakar minyak pada mekanisme pasar dan mengabaikan kepentingan masyarakat tertentu adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Merujuk pada logika putusan itu, dibukanya ruang untuk menaikkan harga bahan bakar minyak karena harga minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan lebih dari 15 persen, dapat dikatakan menghidupkan kembali Pasal 28 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 12/2001. Dengan logika demikian, misalnya, sulit membantah bahwa kehadiran pasal 7 ayat 6 huruf a tidak bertentangan dengan semangat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Berdasarkan catatan itu, pemerintah dan partai politik pendukung koalisi harus mampu menjelaskan dan membangun argumentasi bahwa kehadiran pasal 7 ayat 6 huruf a bebas dari barter (kompromi), tidak mengabaikan soal prosedural dan substansi UUD 1945. Tanpa itu, sulit mengatakan bahwa sesungguhnya tak ada persoalan konstitusional yang serius. Karena itu, demi keabsahan konstitusional pula, pasal 7 ayat 6 huruf a harus lolos dari tikungan lain yang lebih tajam, yaitu mampu melewati pengujian di Mahkamah Konstitusi.
*) Guru besar hukum tata negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo