Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ajun Inspektur Dua Kus Hendratma menggeber sepeda motor bebeknya. Jumat malam dua pekan lalu itu, bapak tiga anak tersebut bermaksud menuju markasnya, Kepolisian Sektor Pondok Aren, yang terletak di kawasan Jalan Graha Pondok Arena, Tangerang Selatan.
Lima ratus meter sebelum Kus tiba di markas, di depan Masjid Bani Umar, dua pria berboncengan mengendarai sepeda motor Yamaha Mio merah memepet pria 44 tahun itu dari sisi kiri. Jam menunjukkan sekitar pukul 21.30. Kendati tak lagi banyak kendaraan lalu-lalang, Kus tak sadar bahaya tengah mengancamnya.
Berada dalam jarak tak lebih dua meter dari Kus, tiba-tiba pria yang membonceng mengeluarkan pistol dan mengarahkannya ke kepala polisi itu. Peluru melesat, menembus bagian kepala belakangnya. Kus tak sempat menoleh ke arah sepeda motor bernomor polisi D-6632-WD yang memepetnya. Dia roboh, tertelungkup di aspal. "Ia meninggal di tempat," kata Inspektur Satu Simin Syahroni, polisi yang tengah piket di markasnya malam itu.
Malam itu Kus hendak menghadiri apel Operasi Cipta Kondisi—operasi untuk melakukan razia keamanan menjelang Hari Kemerdekaan—di markasnya. Saat itu, tak jauh dari masjid, tiga reserse dan seorang informan sedang berada di dalam mobil Toyota Avanza hitam. Brigadir Ahmad Maulana, Ajun Inspektur Satu Rinto, Ajun Inspektur Satu Marzuki, dan Ozan baru pulang dari patroli dan menuju markas. "Begitu melihat Kus jatuh, mereka langsung mengejar pelaku," ujar Simin.
Maulana menyetir mobil, Rinto duduk di sebelahnya. Marzuki dan Ozan duduk di jok tengah. Sambil tancap gas, Maulana dan Rinto menembaki pelaku. Tapi kedua pria itu membalas. Tembak-menembak pun terjadi sekitar lima menit. Tak mau buronnya lepas, seratus meter menjelang Markas Pondok Aren, Maulana menabrakkan mobil ke sepeda motor penembak Kus. Sepeda motor itu terpental ke bahu jalan.
Selesai menabrak, Maulana tak mampu mengendalikan mobilnya. Avanza itu oleng, menubruk pohon, lantas terguling ke kiri. Maulana, yang berada di sisi kanan mobil, keluar lebih dulu karena pintu mobil lainnya rusak dan terjepit. Tanpa diduga, seorang pelaku yang sempat terseret di aspal berdiri dan dengan tenang berjalan mendekati Maulana. Mengarahkan senjatanya ke arah Maulana dan, dor, dalam jarak sekitar dua meter ia menembakkannya. Maulana roboh bersimbah darah. Tewas.
Saat itu, tiba-tiba melintas seorang anggota satuan pengamanan mengendarai sepeda motor Honda Supra Fit bernomor B-6620-SFS. Salah seorang pelaku langsung menyetop dan berpura-pura membutuhkan pertolongan. Saat sepeda motor berhenti, anggota satpam itu ditodong pistol dan sepeda motornya dirampas. Seorang tukang bakso, Jamaludin, yang berada tak jauh dari lokasi, mengira terjadi pencurian sepeda motor. Ia mengambil batu dan melempar dua "pencuri" tersebut. "Motor mereka sempat oleng, lalu kabur ke arah Bintaro," ucap Jamal. Lemparannya, kata Jamal, mengenai salah satu paha pelaku. Menurut Simin Syahroni, sebelum pelaku kabur, rekan Maulana sempat menembak salah satu dari mereka. "Tapi mungkin tak fatal."
"Peristiwa Tangerang" itu membuat jajaran polisi di Ibu Kota melipatgandakan pengamanan di semua markas mereka. Kabar bakal ada penembakan serupa beredar kencang di kalangan polisi. Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya, misalnya, menambah jumlah aparat provos bersenjatakan laras panjang di setiap pos penjagaan pintu gerbangnya. Pengendara sepeda motor wajib membuka helm dan diperiksa tasnya jika masuk. Demikian pula terhadap mobil. Bagasi mesti dibuka dan melalui pemeriksaan dulu sebelum masuk.
Pengamanan paling mencolok terlihat di sejumlah kepolisian resor sekitar Jakarta. Berbeda dengan biasanya, kini setiap pintu masuk markas dijaga provos berbadan tegap sambil menenteng senjata laras panjang jenis M-16. Seorang reserse berpangkat perwira menengah di sebuah polres mengatakan, pekan lalu, mereka mendapat suplai belasan pucuk M-16 dari Polda Metro Jaya. "Sejak penembakan polisi, kami diperintahkan meningkatkan keamanan," ujarnya. Hingga akhir pekan lalu, tak pernah terlihat polisi lalu lintas bertugas sendirian di jalan raya.
Pekan lalu beredar kabar Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo mengeluarkan tiga rekomendasi kepada anak buahnya. Pertama, mereka diminta tak menggunakan seragam saat pergi dan pulang bekerja. Kedua, dilarang menggunakan sepeda motor saat dinas malam. Yang terakhir, apel malam ditiadakan hingga situasi kembali kondusif. Itu semua berkaitan dengan penembakan di Tangerang. Tapi, kepada Tempo, Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno menyatakan kabar itu tak benar. "Tidak ada perintah itu," katanya.
SUDAH dua bulan ini kepolisian memang "diteror" penembak tak dikenal. Pada 27 Juli subuh lalu, anggota Satuan Lalu Lintas Polres Jakarta Pusat, Ajun Inspektur Dua Patah Saktiyono, ditembak di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat, Tangerang Selatan, saat menuju kantornya. Peluru menembus punggungnya. Saktiyono selamat meski sempat sekarat. Pada 7 Agustus subuh, Ajun Inspektur Satu Dwiyatno tewas ditembak di Jalan Ciputat Raya, Tangerang Selatan, saat menuju kantornya di Kepolisian Sektor Cilandak, Jakarta Selatan. Dua hari sebelumnya, bom panci meledak di Vihara Ekayana, Jakarta Barat.
Teror tak berhenti. Pada 13 Agustus, anggota Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Andreas Tulam, ditembak senjata airsoft gun di depan rumahnya di Perumahan Banjar Wijaya, Cipete, Tangerang. Peluru gotri hanya mengenai dinding dan jendela kaca rumah Andreas. Dari rangkaian teror ini, belum satu pun kasus yang bisa dipecahkan polisi. "Rangkaian teror ini ada kesamaan modus, tapi pengungkapannya butuh waktu," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar.
Sempat ada titik terang penelusuran kasus ini. Sepeda motor Yamaha Mio yang ditinggalkan pelaku penembak Kus Hendratma dan Maulana diketahui pernah "singgah" di tangan Iwan Pariadi, 44 tahun. Dua pekan lalu Iwan ditangkap di rumahnya di Cijeruk Hilir, Kota Tasikmalaya. Aktivis Front Pembela Islam ini sampai kini masih diinterogasi penyidik Detasemen Khusus 88 Antiteror. Kepada penyidik, Iwan menyangkal terlibat penembakan dan menyatakan sepeda motor itu sudah lama "lepas" dari tangannya. Densus sendiri kesulitan melacak siapa saja tangan yang pernah "memegang" sepeda motor itu.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai mengatakan rentetan penembakan ini bukan kriminal biasa. "Ini kerjaan teroris," katanya. Semua proyektil dan selongsong peluru yang ditemukan dalam rentetan itu ada kemiripan dengan penembakan-penembakan sebelumnya. Hipotesis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengerucut ke satu hal: penembakan ini diduga didalangi kelompok Abu Omar dan Abu Roban.
Markas Besar Kepolisian pun berpendapat sama. Para penembak diperkirakan berasal dari jaringan lama yang berkaitan dengan Abu Omar dan Roban. Meski bukti yang dimiliki polisi belum kokoh, karakteristik teror yang dilakukan Abu Omar dan Roban mirip dengan rentetan penembakan polisi kemarin, yaitu menggunakan pistol dan sepeda motor. Uji balistik dari selongsong dan proyektil peluru kaliber 9 milimeter yang dilakukan pekan lalu memiliki kemiripan. "Ada kecocokan peluru dengan kelompok Abu Omar dan Roban," ucapnya.
Abu Omar ditangkap pada 4 Juli 2011 karena membawa belasan pistol dan senapan dari Filipina. Ia divonis 10 tahun penjara dan kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Omar membawahkan tiga kelompok besar. Tiap kelompok dipimpin Abu Roban, Qodrat, dan Ahmad Sofyan. Setelah Omar ditangkap, anak buah ketiga kelompok ini kocar-kacir. Abu Roban tewas saat digerebek Densus 88 pada Mei lalu. Qodrat juga ditembak mati. Sedangkan Sofyan ditangkap dan kini ditahan di Cipinang.
Ihwaldugaan peran Omar itu, pengacara Omar, Asludin Hatjani, menolak berkomentar. Dihubungi akhir pekan lalu, dia menyatakan tengah berduka karena salah seorang anggota keluarganya meninggal.
Dengan tewasnya Roban dan Qodrat serta dibuinya Sofyan dan Abu Omar, tak berarti jaringan ini berhenti bergerak. Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah Nasir Abbas melihat ada tren baru pada kelompok-kelompok kecil yang dibangun murid-murid Abu Omar. Masing-masing bergerak tanpa perintah langsung pemimpin dengan cara sendiri-sendiri. "Jihad tidak lagi dilihat sebagai fardu kifayah (kewajiban yang bisa diwakilkan), tapi fardu ain (kewajiban individu). Caranya terserah," kata Nasir.
Beberapa sumber Tempo yang dekat dengan sisa-sisa kelompok Abu Omar juga membenarkan tren jihad fardliyah (jihad individu) ini. Sementara pendahulu mereka beraksi dengan kepemimpinan terpusat, kini generasi baru teroris menggunakan prinsip jihad inisiatif sendiri, bisa individu atau dalam kelompok kecil tanpa menunggu komando. Niat mereka tetap mendirikan negara Islam dan musuh utama mereka pemerintah. Cara ini dianggap paling efektif karena dengan demikian aparat keamanan kesulitan mendeteksi mereka karena jumlahnya lebih banyak dan antarsel tak saling kenal.
Menurut pengamat teroris, Solahuddin, polisi dijadikan sasaran mereka karena dianggap sebagai ansharut thoghut alias pasukannya musuh Islam. Lalu ada penyebab lain. Mereka ingin membalaskan dendam para teroris yang mati di tangan polisi. Sampai kini, sejak 2010, jumlah teroris yang tewas tercatat 67 orang. Adapun polisi yang tewas mencapai 29 orang. "Mereka tak akan berhenti melanjutkan dendam hingga jumlah tewas sama banyaknya," ucap Solahuddin.
Dari Poso, muncul kabar salah satu pentolan teroris "Jaringan Poso", Santoso turun gunung dan berada di sekitar Jakarta. Sumber Tempo di kepolisian bercerita, kabar soal adanya Santoso di Ibu Kota juga sudah beredar di kalangan anggota Densus 88 Antiteror. Para bekas mujahidin Indonesia barat dan timur, kata sumber itu, kini tengah menyiapkan aksi besar, mirip Komando Jihad—kelompok teroris yang berafiliasi dengan Negara Islam Indonesia—pimpinan Warman pada 1980-an.
Itu sebabnya, kepolisian kini meningkatkan kesiagaan dan pasukan Densus diterjunkan "mengendus" keberadaan dan kegiatan mereka. Seusai aksi terakhir pembantaian terhadap dua polisi Tangerang itu, diperkirakan "sel-sel" tersebut masih akan menciptakan teror. "Mereka tak akan pernah habis dan berhenti," ujar sumber itu.
Mustafa Silalahi, Fransisco Rosarians, Maria Rita, Joniansyah (Tangerang Selatan), Candra Nugraha (Tasikmalaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo