Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joko lahir di Sanggau, Kalimantan Barat, pada 27 Agustus 1950. Setelah lulus dari Stamford College, Singapura, Joko berwiraswasta di Jakarta. Namanya kalah populer ketimbang taipan yang lain, tapi bisnisnya maju pesat. Mulia Tower, Mulia Center, dan Plaza 89 adalah beberapa gedung yang dibangunnya. Ia juga mengembangkan industri gelas keramik.
Seiring dengan itu, Joko pun berkiprah di dunia politik. Bersama dengan Marimutu Manimaren dan Setya Novanto, dia ikut memperkuat jajaran bendahara Golkar. Ia mengaku punya akses ke orang-orang kuat semasa pemerintahan Habibie.
Pada suatu saat, dari seorang rekan bankir, Joko mendengar kesulitan Rudy Ramli dalam menagih piutang Bank Bali kepada Bank Umum Nasional, Bank Tiara, dan BDNI. Maklum, ketiga bank tersebut sudah dinyatakan beku operasi alias masuk kotak dan harus dirawat oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Joko lantas menawarkan jasa untuk menagih piutang itu. Rudy setuju. Maka, dibuatlah perjanjian cessie tanggal 11 Januari 1999 antara Bank Bali dan PT EGP.
Tapi yang meneken kontrak itu Setya Novanto, teman baik Joko yang juga menjabat direktur utama PT EGP. Setya amat diperlukan dalam bisnis ini karena nama Joko tersangkut kasus Bank Rakyat Indonesia.
Alih-alih menghindar, ternyata kontrak cessie yang berkomisi amat besar itu membuat Joko terjerat kasus Bank Bali. Akibatnya, Joko sempat ditahan polisi dan beberapa kali ditahan oleh Kejaksaan Agung. Bahkan, setelah menang di praperadilan melawan Kejaksaan Agung, pada 25 Januari 2000, Joko ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang.
Joko tampaknya sangat terpukul. Tatkala pengacaranya, O.C. Kaligis, mengunjunginya di LP Cipinang, Joko melampiaskan kekesalannya. "Pak OC, saya punya perusahaan dengan sekitar 36 ribu pegawai. Di masa krisis ekonomi, jangankan mem-PHK, saya malah menaikkan gaji mereka . Betapa pedihnya mereka bila membayangkan penahanan saya," tutur Joko.
Ia pun melanjutkan, "Pada cessie itu, Rudy Ramli telah berjanji membebaskan saya dari segala macam tuntutan hukum. Mengapa sekarang saya sendiri yang menjadi sasaran penahanan? Mengapa yang lainnya, Rudy Ramli cs., sengaja dibebaskan jaksa?"
Tak jelas apa jawaban Kaligis, tapi kini Joko lega. Hakim melepaskannya, bahkan ia pun dibebaskan dari status sebagai tahanan kota. Namun, pembebasan Joko kontan dikecam masyarakat. Putusan itu pun disinyalir berbau suap. Kepada Wenseslaus Manggut dari TEMPO, Joko memprotes tudingan itu. Berikut cuplikan wawancara dengan Joko.
Banyak yang menyangsikan putusan pengadilan yang melepaskan Anda. Bagaimana menurut Anda?
Pembebasan saya itu merupakan hasil upaya hukum. Itulah bukti bahwa hukum memang masih berdiri tegak. Sejak awal, saya sudah merasa yakin bahwa kasus itu adalah perkara perdata, bukan tindak pidana korupsi. Karena itu, saya juga merasa sangat yakin bahwa saya akan menang di pengadilan.
Kabarnya, itu lantaran Anda memainkan uang di pengadilan?
Yah , kalau orang seperti Arifin Panigoro bebas, kok nggak diributin. Oka Masagung bebas, karena kasusnya dinilai sebagai perkara perdata, juga nggak diribut-ributin. Sofjan Wanandi juga bebas, tak pernah dipersoalkan. Kenapa kalau Joko Tjandra, kok, jadinya saban hari pasti masuk koran? Itu kan cara membangun opini publik secara sepihak. Seolah-olah saya ini layak digiring ke penjara. Sampai-sampai hakimnya juga dituduh macam-macam. Kasusnya kan sudah jelas perdata.
Tapi perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT EGP kan banyak mengandung kejanggalan? Misalnya, .
Maaf, deh. Saya sudah bilang, saya lagi ingin tenang dulu. Maaf.
Joko berkali-kali meminta agar pertanyaan seputar kasus Bank Bali tak diperpanjang. Pengacaranya, O.C. Kaligis, juga menandaskan bahwa Joko masih terbebani kasus Bank Bali, sehingga kini mau menenangkan diri. Bicara soal cessie, Kaligis menegaskan bahwa masalah itu semata-mata perkara perdata, menyangkut kontrak bisnis biasa, bukan pidana, apalagi korupsi. Sebab, Joko mencairkan piutang itu berdasarkan kesepakatan dengan Rudy Ramli.
Pencairan itu pun, menurut Kaligis, dilakukan berdasarkan nota dinas tanggal 22 April 1999 dari Kepala BPPN Glenn Yusuf. Setelah itu, keluar surat persetujuan dari Menteri Keuangan Bambang Subianto. "Kalau saja Glenn Yusuf tak mengeluarkan nota dinas, mungkin skandal Bank Bali tak terjadi," kata Kaligis pula. Pengacara ini cenderung menilai bahwa kasus Bank Bali berlatar belakang politik yang bertujuan menggulingkan B.J. Habibie. "Joko Tjandra itu hanya kambing hitam," ujar Kaligis pula.
"Kasusnya lebih tepat disebut the spacegoat scenario (skenario pengambinghitaman)."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo