AKSI-AKSI unjuk rasa kini marak lagi, setelah mereda selama bulan puasa. Pegawai negeri, buruh pabrik, petani, dan bahkan karyawan rumah sakit tak ketinggalan. Aksi protes yang disebut terakhir ini melanda Rumah Sakit Griya Husada di Jalan Bubutan Nomor 93, Surabaya. Beberapa waktu lalu, karyawan Griya Husada menggebrak dengan alasan menuntut pesangon. Kemudian, serombongan pria kekar mengenakan rompi hitam ikut berunjuk rasa. Mereka bahkan menduduki halaman depan rumah sakit.
Orang-orang yang bukan karyawan rumah sakit itu juga menggelar berbagai spanduk seram, yang di antaranya bertuliskan "Rumah Sakit dalam Sengketa", "Izin Prakteknya Dicabut", dan "Tidak Terima Pasien". Beberapa pasien yang hendak berobat dan membutuhkan perawatan darurat diusir begitu saja oleh rombongan pengunjuk rasa.
Pihak pengelola rumah sakit, Yayasan Bina Kesehatan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB), menduga "serangan" para lelaki berompi hitam itu berkaitan dengan upaya seorang pengusaha di Semarang bernama Tomi Jo. Tomi bermaksud mengambil rumah sakit itu, yang diklaim telah dibelinya seharga Rp 7,18 miliar pada 1994.
Namun, pihak pengelola rumah sakit tidak memenuhi tuntutan pengusaha ini karena sampai sekarang urusan dengan Tomi masih menjadi perkara yang disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. Sengketa itu pula yang memperburuk kondisi keuangan Rumah Sakit Griya Husada dan mencuatkan demonstrasi karyawan.
Dulu, rumah sakit yang didirikan oleh beberapa misionaris Belanda pada 1931 itu merupakan bangunan bergengsi. Gedungnya berlantai dua dan berbentuk huruf O, mirip hotel-hotel tua ala Eropa. Pekarangan tengahnya yang luas dihiasai sebatang pohon mangga tua.
Rumah sakit itu semula bernama Mardi Santosa dan hanya diperuntukkan bagi wanita bersalin. Dalam perkembangannya kemudian, rumah sakit itu memiliki 125 tempat tidur untuk pasien, yang kebanyakan dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Di situ juga ada Sekolah Perawat dan Akademi Kebidanan.
Beberapa kali Rumah Sakit Griya Husada memperoleh penghargaan terbaik. Namun, ketika dikelola Yayasan Bina Kesehatan GPIB, rumah sakit itu terbelit perkara dengan Tomi Jo. Sejak saat itu pula kinerja manajemennya merosot dan jumlah pasiennya menurun menjadi sekitar 40 orang sehari.
Menurut pengacara Tomi Jo, Sudiman Sidabuke, kliennya adalah pemilik sah rumah sakit tersebut. Katanya, ayah Tomi, Jo Boen Hui, pada 23 Desember 1994 telah membelinya seharga Rp 7,18 miliar dari GPIB. Sertifikat tanah rumah sakit pun telah dibaliknamakan, dari GPIB kepada Tomi. Dua tahun sudah berlalu, GPIB tetap tak menyerahkan rumah sakit kepada Tomi.
Sikap GPIB, kata kuasa hukumnya, Nyonya Sutanti, bukan tanpa alasan. Soalnya, jual-beli antara Jo Boen Hui dan GPIB mengandung banyak kejanggalan. Menurut Sutanti, jual-beli itu berlangsung dari Hui kepada Hui juga. Hui bertindak sebagai pembeli sekaligus penjual dengan mengatasnamakan Ketua Sinode GPIB, Olbers Eduardus Christian Wuwungan.
Selain itu, ada akta tertanggal 15 Desember 1994 tentang ruilslag (tukar-menukar tanah) antara Hui dan Wuwungan. Dalam perjanjian ruilslag itu, Hui akan menukar tanah dan bangunan Rumah Sakit Griya Husada dengan bangunan rumah sakit baru di Jalan Dukuhpakis, Surabaya.
Rumah sakit baru itu memang sudah dibangun oleh Hui, tapi sarananya ternyata amat jelek. Kualitas airnya tak bagus, sementara pembuangan limbahnya merembes ke permukiman penduduk, sehingga jalannya ditutup warga sekitar yang melancarkan protes. Tanahnya juga masih terbelit sengketa antara Hui dan seorang pengusaha di Surabaya: Jabah Soekarno.
Berdasarkan semua alasan itu, GPIB justru menuding Tomi yang tidak melaksanakan perjanjian ruilslag secara utuh. Namun, Sudiman menganggap argumentasi GPIB itu cuma akal-akalan untuk merumitkan urusan. "Tak ada perjanjian ruilslag antara Hui dan GPIB," katanya.
Sudiman menduga dalih GPIB muncul lantaran tanah di Dukuhpakis akan dilelang oleh Bank Mandiri akibat terkena kredit macet. Dengan demikian, tentu GPIB tak mau terpukul dua kali: Griya Husada diambil Tomi dan tanah Dukuhpakis dieksekusi bank. Sudiman juga mengaku bahwa Tomi tak mengenal orang-orang berompi hitam yang mengintimidasi Griya Husada.
Mana yang benar: Tomi atau GPIB? Jawabannya serahkan ke pengadilan. Yang jelas, Griya Husada juga tersandung soal perizinan. Sampai kini, rumah sakit itu cuma mengantongi rekomendasi selama setahun dari Kota Madya Surabaya. Kalau karena sengketa lalu kondisi keuangannya terus memburuk, rumah sakit yang selama ini konsisten menolong rakyat kecil itu pastilah terabaikan. Inilah juga yang dikhawatirkan A.H.L. Louwing, Ketua Musyawarah Pelayanan GPIB Jawa Timur.
Hp.S., Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini