MENJELANG perayaan 450 tahun masuknya agama Katolik ke Indonesia, sekitar Juli mendatang, Keuskupan Malang, Jawa Timur, tertimpa musibah. Di Pengadilan Negeri Malang, lewat pertengahan bulan lalu, Hakim Djumiran H. Sutrisno menyatakan bahwa Yayasan Karmel (YK) dan Keuskupan telah melakukan onrechtmatige daad - perbuatan melawan hukum. Putusan itu "sangat tidak adil, sangat menyinggung umat," ujar Vikaris Jenderal Keuskupan, Dr. P. Go. Ceritanya dimulai dari kerja sama YK dengan PT Peni Puni (PP) milik The Tjwan Tie (TTT), sekitar medio 1960-an. PP, antara lain, berkewajiban menyalurkan beras untuk karyawan YK yang tersebar di Malang, Besuki, dan Madura. Sayangnya, pada 1966 PP mengalami kemelut, sehingga perlu meminjam duit. Pinjaman diperoleh dari YK dengan mengagunkan seonggok harta: 1 gelang emas bermata 12 biji berlian, 1 tusuk konde emas, 1 giok hijau + 13 biji berlian, 1 liontin emas bermata 5 berlian, 1 liontin emas bermata 35 biji berlian, 6 pasang giwang emas bermata berlian, dan 4 cincin emas bermata berlian. TTT wafat pada 1971. Maka, muncullah Setia Budi Tedjosukmana, alias The Tiong Hauw (TTH), kedua di antara sembilan putra TTT, mewakili ahli waris Mendiang. Dia menggugat YK, Ketua YK, dan Keuskupan yang, konon, tak bisa mengembalikan harta itu. Gugatan dilancarkan meialui Pengacara Harijanto di Pengadilan Negeri Malang, sejak Maret 1983. Mengapa Keuskupan sampai terlibat? Konon ada "bukti": sehelai surat Keuskupan yang merestui kerja sama YK dengar PP. Jumlah pinjaman itu sendiri tak lagi jelas. Menurut penggugat, tak lebih dari Rp 434.509 Mendiang TTT sudah mencicil Rp 258.590. Tapi utang itu dibebani bunga 15%, bahkan ada pula perhitungan bunga berbunga bila pembayaran terlambat. Tapi Siswandhi, kuasa tergugat, mengatakan bahwa utang TTT Rp 11 juta. "Mestinya, perkara ini gugur demi hukum," kata Ketua Peradin Malang, yang sudah 20 tahun berpraktek pengacara itu. Soalnya, ketika sidang berlangsung, September 1983, TTH dilaporkan meninggal. Adapun istrinya, menurut harian Jawa Pos, Surabaya tidak tahu-menahu dan tidak berkepentingan dengan soal gugatan harta itu. "Lho, kok ya diteruskan perkara itu," keluh Siswandhi. Harta itu, menurut penggugat, bernilai RP 150 juta. Setelah dikalikan dengan perkiraan bila dijadikan modal, jumlahnya menjadi RP 1,28 milyar. "Itu sebabnya kami menuntut kerugian Rp 1 milyar." uiar Harijanto. Pengadilan memutuskan YK dan Keuskupan membayar tiap bulan 2% dari Rp 150 juta, terhitung sejak 28 Juni 1976, sampai dilaksanakannya keputusan perkara itu. Uskup Malang, Mgr. F.X. Hadi Sumarta O. Carm., tampak menahan diri di depan wartawan. Dalam misa malam, Ahad pekan lalu, ia hanya mengimbau umat agar "tenang dan damai menghadapi musibah yang menimpa Keuskupan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini